Budak Asal Persia yang Akhirnya Hafal Al-Quran dan Menjadi Ahli Hadis
loading...
A
A
A
Rufai bin Mihraan berjuluk Abu al-Aliyah adalah ulama, penghafal Al-Quran dan muhadditsin (ahli hadis). Beliau termasuk tabi’in yang paling tahu tentang Kitabullah, paling paham terhadap hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, paling banyak kadar pemahamannya terhadap Alquran al-Aziz dan paling mendalami maksud dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Buku “Mereka adalah Para Tabi’in” karya Dr Abdurrahman Ra’at Basya , mengungkap sejarah hidup Abu Al-‘Aliyah penuh dengan sikap teladan dan kemuliaan, melimpah dengan nasihat dan pelajaran yang berharga.
Rufai bin Mihraan lahir di Persia. Di negeri itu pula beliau tumbuh besar. Ketika kaum muslimin masuk ke negeri Persia untuk mengeluarkan penduduknya dari kegelapan menuju cahaya, Rufai termasuk salah satu pemuda yang jatuh ke tangan kaum muslimin yang penyayang, lalu dibawa ke pangkuan mereka yang sarat dengan kebaikan dan kemuliaan.
Kemudian beberapa saat dia dan juga yang lain memperhatikan keluhuran Islam, lalu membandingkan dengan apa yang mereka anut sebagai penyembah berhala, akhirnya mereka masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Kemudian mereka mulai mempelajari Kitabullah, mereka pun haus akan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tawanan
Rufai bercerita tentang apa yang beliau alami:
Aku dan beberapa orang dari kaumku menjadi tawanan mujahidin, kemudian kami menjadi budak bagi sekelompok kaum muslimin di Bashrah. Tidak berapa lama kemudian akhirnya kami beriman kepada Allah dan tertarik untuk menghafalkan Kitabullah.
Di antara kami ada yang menebus dirinya kepada majikannya dan ada yang tetap berkhidmat kepada majikannya.
Saya adalah salah satu di antara mereka. Pada mulanya kami mengkhatamkan Al-Quran setiap malam sekali, namun hal itu sangat memberatkan kami. Lalu kami sepakati untuk mengkhatamkan dua malam sekali, namun itu masih terasa berat. Kemudian kami sepakat mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali, namun masih berat juga kami rasakan karena harus banyak bekerja siang harinya dan begadang di malam harinya.
Kemudian kami menemui sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeluhkan keadaan kami yang harus begadang semalam untuk tilawah Kitabullah.
Mereka berkata, “Khatamkan setiap Jumat sekali.”
Maka kami pun mengerjakan apa yang mereka sarankan. Kami membaca Al-Quran pada sebagian malam dan bisa tidur sebagian malam dan setelah itu kami tidak merasakan keberatan.
Rufai bin Mihraan dimiliki oleh seorang majikan wanita dari Bani Tamim. Dia adalah seorang majikan yang teguh, cerdas, dan terhormat juga jiwanya penuh dengan takwa dan keimanan. Rufai membantunya pada sebagian siang dan istirahat pada sebagian siang lain. Beliau pergunakan waktu senggangnya untuk membaca dan menulis. Beliau pergunakan untuk memperdalam ilmu agama tanpa sedikit pun mengganggu tugas-tugasnya.
Suatu hari Jumat, Rufai’ berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian meminta izin kepada majikannya untuk pergi. Majikannya berkata, “Hendak kemanakah kamu wahai Rufai?
Rufai menjawab, “Saya hendak ke masjid.”
Majikannya bertanya, “Masjid manakah yang kamu maksud?”
Jawabnya, “Masjid Jami’”
Majikannya berkata, “Kalau begitu marilah berangkat bersamaku.”
Maka keduanya berangkat ke masjid lalu masuk masjid seperti yang lain. Namun Rufai belum memahami apa tujuan majikannya.
Ketika kaum muslimin telah berkumpul, majikan Rufai angkat bicara, “Saksikanlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memerdekakan budakku ini (Rufai) karena mengharap pahala Allah, memohon ampunan dan ridha-Nya. Dan bahwasanya tidak layak seseorang menempuh suatu jalan melainkan jalan yang baik.”
Lalu dia menoleh kepada Rufai dan berdoa kepada Allah:
“Ya Allah aku menjadikan ia sebagai tabungan di sisi-Mu di hari di mana tiada manfaatnya harta dan anak-anak.”
Ketika selesai salat, Rufai telah berjalan sendiri sedangkan majikannya telah berjalan sendiri pula.
Sejak hari itu Rufai bin Mihraan sering bolak-balik ke Madinah al-Munawarah. Beliau sempat bertemu dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu beberapa saat sebelum wafatnya. Beliau juga beruntung dapat bertemu dengan amirul mukminin (Umar bin Khaththab), belajar Al-Quran kepadanya dan salat di belakangnya.
Periwayat Hadis
Di samping berkutat dengan Kitabullah, Rufai yang julukannya adalah Abu al-Aliyah ini juga akrab dengan hadis-hadis Rasulullah. Sehingga beliau berusaha mendengarkan riwayat hadis dari para tabi’in yang beliau temui di Bashrah. Akan tetapi muncul keinginan kuat dalam jiwanya untuk lebih dari itu. Maka seringkali beliau meluangkan waktu untuk pergi ke Madinah untuk mendengar hadis langsung dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tiada pembatas antara dirinya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan satu orang atau dua orang saja.
Beliau meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan para sahabat yang lain.
Abu al-Aliyah tidak hanya mencukupkan diri mengambil hadis di Madinah al-Munawarah saja. Namun beliau tidak segan-segan memburu hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di manapun ia berada. Jika dikatakan kepada beliau ada seseorang yang berilmu, maka beliau tarik kekang kendaraannya kendati jauh jaraknya, walaupun membutuhkan waktu yang lama. Jika beliau telah sampai, beliau salat di belakang orang yang dituju. Jika beliau mendapatkan salat tidak sungguh-sungguh dan tidak konsisten dengan sunah, tidak memperhatikan hak-hak salat, maka beliau berpaling sambil bergumam, “Sesungguhnya orang yang meremehkan salat tentulah untuk urusan yang selainnya lebih meremehkan. Lalu beliau mengambil perbekalannya dan kembali pulang." (Bersambung)
Buku “Mereka adalah Para Tabi’in” karya Dr Abdurrahman Ra’at Basya , mengungkap sejarah hidup Abu Al-‘Aliyah penuh dengan sikap teladan dan kemuliaan, melimpah dengan nasihat dan pelajaran yang berharga.
Rufai bin Mihraan lahir di Persia. Di negeri itu pula beliau tumbuh besar. Ketika kaum muslimin masuk ke negeri Persia untuk mengeluarkan penduduknya dari kegelapan menuju cahaya, Rufai termasuk salah satu pemuda yang jatuh ke tangan kaum muslimin yang penyayang, lalu dibawa ke pangkuan mereka yang sarat dengan kebaikan dan kemuliaan.
Kemudian beberapa saat dia dan juga yang lain memperhatikan keluhuran Islam, lalu membandingkan dengan apa yang mereka anut sebagai penyembah berhala, akhirnya mereka masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Kemudian mereka mulai mempelajari Kitabullah, mereka pun haus akan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tawanan
Rufai bercerita tentang apa yang beliau alami:
Aku dan beberapa orang dari kaumku menjadi tawanan mujahidin, kemudian kami menjadi budak bagi sekelompok kaum muslimin di Bashrah. Tidak berapa lama kemudian akhirnya kami beriman kepada Allah dan tertarik untuk menghafalkan Kitabullah.
Di antara kami ada yang menebus dirinya kepada majikannya dan ada yang tetap berkhidmat kepada majikannya.
Saya adalah salah satu di antara mereka. Pada mulanya kami mengkhatamkan Al-Quran setiap malam sekali, namun hal itu sangat memberatkan kami. Lalu kami sepakati untuk mengkhatamkan dua malam sekali, namun itu masih terasa berat. Kemudian kami sepakat mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali, namun masih berat juga kami rasakan karena harus banyak bekerja siang harinya dan begadang di malam harinya.
Kemudian kami menemui sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeluhkan keadaan kami yang harus begadang semalam untuk tilawah Kitabullah.
Mereka berkata, “Khatamkan setiap Jumat sekali.”
Maka kami pun mengerjakan apa yang mereka sarankan. Kami membaca Al-Quran pada sebagian malam dan bisa tidur sebagian malam dan setelah itu kami tidak merasakan keberatan.
Rufai bin Mihraan dimiliki oleh seorang majikan wanita dari Bani Tamim. Dia adalah seorang majikan yang teguh, cerdas, dan terhormat juga jiwanya penuh dengan takwa dan keimanan. Rufai membantunya pada sebagian siang dan istirahat pada sebagian siang lain. Beliau pergunakan waktu senggangnya untuk membaca dan menulis. Beliau pergunakan untuk memperdalam ilmu agama tanpa sedikit pun mengganggu tugas-tugasnya.
Suatu hari Jumat, Rufai’ berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian meminta izin kepada majikannya untuk pergi. Majikannya berkata, “Hendak kemanakah kamu wahai Rufai?
Rufai menjawab, “Saya hendak ke masjid.”
Majikannya bertanya, “Masjid manakah yang kamu maksud?”
Jawabnya, “Masjid Jami’”
Majikannya berkata, “Kalau begitu marilah berangkat bersamaku.”
Maka keduanya berangkat ke masjid lalu masuk masjid seperti yang lain. Namun Rufai belum memahami apa tujuan majikannya.
Ketika kaum muslimin telah berkumpul, majikan Rufai angkat bicara, “Saksikanlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memerdekakan budakku ini (Rufai) karena mengharap pahala Allah, memohon ampunan dan ridha-Nya. Dan bahwasanya tidak layak seseorang menempuh suatu jalan melainkan jalan yang baik.”
Lalu dia menoleh kepada Rufai dan berdoa kepada Allah:
“Ya Allah aku menjadikan ia sebagai tabungan di sisi-Mu di hari di mana tiada manfaatnya harta dan anak-anak.”
Ketika selesai salat, Rufai telah berjalan sendiri sedangkan majikannya telah berjalan sendiri pula.
Sejak hari itu Rufai bin Mihraan sering bolak-balik ke Madinah al-Munawarah. Beliau sempat bertemu dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu beberapa saat sebelum wafatnya. Beliau juga beruntung dapat bertemu dengan amirul mukminin (Umar bin Khaththab), belajar Al-Quran kepadanya dan salat di belakangnya.
Periwayat Hadis
Di samping berkutat dengan Kitabullah, Rufai yang julukannya adalah Abu al-Aliyah ini juga akrab dengan hadis-hadis Rasulullah. Sehingga beliau berusaha mendengarkan riwayat hadis dari para tabi’in yang beliau temui di Bashrah. Akan tetapi muncul keinginan kuat dalam jiwanya untuk lebih dari itu. Maka seringkali beliau meluangkan waktu untuk pergi ke Madinah untuk mendengar hadis langsung dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tiada pembatas antara dirinya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan satu orang atau dua orang saja.
Beliau meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan para sahabat yang lain.
Abu al-Aliyah tidak hanya mencukupkan diri mengambil hadis di Madinah al-Munawarah saja. Namun beliau tidak segan-segan memburu hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di manapun ia berada. Jika dikatakan kepada beliau ada seseorang yang berilmu, maka beliau tarik kekang kendaraannya kendati jauh jaraknya, walaupun membutuhkan waktu yang lama. Jika beliau telah sampai, beliau salat di belakang orang yang dituju. Jika beliau mendapatkan salat tidak sungguh-sungguh dan tidak konsisten dengan sunah, tidak memperhatikan hak-hak salat, maka beliau berpaling sambil bergumam, “Sesungguhnya orang yang meremehkan salat tentulah untuk urusan yang selainnya lebih meremehkan. Lalu beliau mengambil perbekalannya dan kembali pulang." (Bersambung)
(mhy)