Tanpa Ada Wabah Covid-19 Pun, Kematian Itu Mutlak Adanya

Selasa, 13 Juli 2021 - 11:50 WIB
loading...
Tanpa Ada Wabah Covid-19...
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
A A A
Ustaz TGH Dr Miftah Al-Banjari
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat

Hari ini semakin banyak orang meninggal dunia, entah itu ulama atau orang biasa, entah orang kaya atau orang tak berpunya. Baik itu pejabat maupun rakyat jelata, baik itu orang tua atau muda, baik mulanya masih sehat afiat atau memang sudah sakit sekarat. Semua berpulang kembali pada hakikat asal sesungguhnya.

Sejak wabah virus Covid-19 melanda, banyak nyawa yang telah tiada. Virus atau wabah penyakit hanyalah sekian kecil dari asbab atau penyebab kematian. Sebab, tanpa ada wabah penyakit pun kematian itu mutlak adanya.

Di tengah manusia begitu sibuk dengan pencapaian-pencapaian keduniawiannya, lalai dan lupa akan tujuan hidup sesungguhnya, Allah Ta'ala tampakkan bahwa dunia itu tidak lebih berharga dari sepotong sayap nyamuk.

Benar sabda Rasulullah SAW : "Sekiranya dunia itu berharga di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan setetes air pun pada orang-orang yang kafir terhadap-Nya."

Tapi itu tadi, dunia masih terlihat cantik dan indah di mata pengagumnya. Diibaratkan perempuan tua renta, dia masih terlihat seksi menggoda nan mempesona dengan polesan dan dandanannya. Masih begitu banyak orang yang berebut dengan menghalalkan segala cara untuk memilikinya, mempertaruhkan hidupnya demi dunia fana, meski harus menggadaikan harga diri dan keimanannya.

Padahal hakikat dunia itu sama sekali tak berharga, sama sekali tak bernilai, jika roh berlepas dari jasad, mulut tersumpal tanah liang lahat, tak ada yang tersisa, terkecuali hanya sebatas penyesalan demi penyesalan tiada akhir.

Dulu, sebelum wabah melanda, orang begitu bangga dengan prestasi, karier, jabatan, kepangkatan, penghasilan, dan segala kesuksesan yang diraih. Maka, lihatlah hari ini hanya sebatas lockdown wilayah saja, banyak orang yang merasa kehilangan rasa kebanggaannya, berkeluh kesah, terlebih dihantui rasa ketakutan ancaman terjangkiti virus yang mewabah mematikan itu.

Bagi orang mau yang merenung melihat kondisi semacam ini maka akan tampak jelas bahwa Allah sedang memperlihatkan pada manusia-manusia yang sibuk mengejar pencapaian dunia bahwa dunia yang mereka kejar tak lebih dari sebatas fatamorgana belaka.

Sejak 20 hingga 50 tahun lalu, para pengamat global telah memprediksikan di atas tahun 2020-an dunia benar-benar berubah semakin maju dan canggih pencapaian, itu prediksi manusia. Namun, Allah punya kehendak lain.

Secara faktanya hari ini, dunia telah mengalami reset global, dunia stagnan dan seakan kembali ke titik nol. Negara-negara yang dulunya bangga dengan kemajuan negaranya pun kini telah tengah sibuk menangani wabah di negerinya masing-masing.

Terlepas apakah pandemi ini sebagai dampak dari sebuah konspirasi global atau memang murni wabah virus, faktanya hari ini hampir semua negara-negara mengalami stagnan, bahkan kelumpuhan dari berbagai sektor, terlebih bidang ekonomi.

Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar, gerai-gerai makro bisnis yang telah menggurita pun harus tutup dan menyatakan bisnis mereka pailit, belum lagi pengusaha kelas menengah yang tidak sedikit langsung dibuat ambruk seketika.

Saya diceritakan oleh seorang sahabat tentang koleganya yang pada masa kejayaannya telah memiliki 8 gerai butik di Bandung, memiliki showroom mobil, mempunyai usaha bisnis lain dengan banyak karyawan, terlebih aset properti seperti rumah megah, mobil mewah berkelas serta aset lainnya. Namun, apa yanh terjadi ketika wabah pandemi tak kunjung reda dalam masa lebih dari setahun ini?

Semua bisnisnya tutup, karyawan di PHK, semua aset terjual. Bahkan, lebih menyakitkan dari itu, si pengusaha harus terpaksa meringkuk di sel penjara karena ia masih menanggung ratusan miliar utang di Bank yang tidak mampu dilunasinya. Inilah salah satu kisah nyata dari dampak wabah pandemi yang lebih mengerikan dari virus Covid itu sendiri.

Dengan alasan mencegah dan menekan penyebaran wabah Covid, pemerintah melakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau Lockdown sektoral yang diduga masih tinggi tingkat penyebaran wabahnya.

Langkah ini mungkin dinilai tepat dan solutif yang harus diambil saat ini. Tujuannya, tentu baik atas nama kemaslahatan dan kepentingan bersama. Kita bisa memahami itu. Meskipun ada pihak-pihak yang memang memiliki berkepentingan dibalik bencana kemanusiaan ini agar pandemi ini terus menerus tiada akhir.

Tapi, adakah dampak lain yang juga tak kalah menyakitkan?Ya, ada! Dampaknya bahkan tak kalah miris. Atas kebijakan pemerintah pula, ada banyak orang yang dilarang beraktivitas, pedagang dibatasi berjualan, tukang ojek atau sopir taksi tak bisa leluasa mencari nafkah, PHK terjadi dimana-mana, pada saat yang sama, tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat dan orang yang kelaparan makin banyak.

Pada akhirnya, orang mati bukan lagi disebabkan wabah Covid dengan segala variannya, tapi disebabkan oleh tekanan stres, komplikasi penyakit, dan beban hidup di perkotaan yang makin kompleks. Inilah kondisi fakta yang banyak oleh saudara-saudara kita yang hidup di perkotaan hari ini.

Kembali pada topik utama di atas bahwa dunia memang sedari awalnya disebut sebagai "Daarul Balwaa" (Negeri Wabah) akan benar-benar menyadarkan kita tentang fakta hari ini bahwa kenyataan itu memang benar adanya. Ya, memang jauh semenjak zaman Azali, tanpa adanya pandemi Covid dan sejenisnya pun kita memang telah terlahir di bumi ini sebagai negeri wabah.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1632 seconds (0.1#10.140)