Keturunan Rasulullah SAW: Cucu Ali bin Abu Thalib yang Banyak Julukan
loading...
A
A
A
TAHUN itu, tamatlah riwayat kekaisaran Persia. Yazdajurd , kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan, sementara seluruh harta, prajurit dan istana menjadi tawanan kaum muslimin. Semuanya diangkut ke Madinah Al-Munawarah .
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu. Di antara tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri kaisar Yazdajurd.
Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke baitul maal kaum muslimin. Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah. Air mata meleleh dari kedua pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib merasa iba melihatnya dan berharap semoga yang akan membeli para putri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”
Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan, “Para putri itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.”
Umar berkata, “Engkau benar, tapi bagaimana caranya?”
Ali berkata, “Umumkanlah harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membelinya.”
Saran Ali disetujui dan segera dilaksanakan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinan memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung masuk Islam dan bagus keislamannya. Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan diambil istri oleh Husain setelah tadinya berstatus budak.
Setelah itu dia tinggalkan segala sesuatu yang berkenaan dengan paganisme (penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para wanita menjadi “Ghazalah”.
Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendapatkan putri raja. Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.
Beberapa waktu kemudian, Allah pun memuliakan beliau dengan dikaruniai seorang anak yang tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib.
Hanya saja, kebahagiaan itu tidak lama dirasakan Ghazalah. Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus setelah melahirkan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dengan anaknya.
Selanjutnya anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita. Dia dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipelihara lebih baik daripada anaknya sendiri. Maka si kecil tumbuh tanpa mengenal orang lain selain budak wanita itu.
Menginjak usia remaja Ali bin Husain sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya sendiri. Madrasah yang kedua adalah masjid Nabawi Asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi tabi’in.
Mereka begitu semangat mendidik para putra sahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih serta riwayat hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan target dan obyek yang ditujunya.
Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati mereka dengan kecintaan, takut dan ketakwaan kepada Allah. Dan akhirnya mereka berhasil menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husain tidaklah terkait dengan sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang boleh dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang ada di dalamnya.
Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa terbang kerinduan beliau terhadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka, gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.
Dr Abdurrahman Ra’fat Basya dalam bukunya Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, menceritakan memasuki usia dewasa, Ali bin Husain tumbuh menadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketakwaan.
Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda bani Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketakwaannya, terhormat, luas pengetahuan dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya. Sampai-sampai setiap kali selesai wudhu terlihat wajahnya pucat seperti ketakutan. Bila ditanya tentang hal itu menjawab, “Duhai celaka, tidakkah kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan aku ajak bicara?”
Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberi julukan “Zainul ‘Abdin” (hiasan para ahli ibadah) dan julukan ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya. Selain itu karena sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai Assajad. Karena jiwanya yang bersih, dijuluki pula dengan “Az-Zakiy”. (Bersambung)
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu. Di antara tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri kaisar Yazdajurd.
Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke baitul maal kaum muslimin. Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah. Air mata meleleh dari kedua pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib merasa iba melihatnya dan berharap semoga yang akan membeli para putri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”
Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan, “Para putri itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.”
Umar berkata, “Engkau benar, tapi bagaimana caranya?”
Ali berkata, “Umumkanlah harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membelinya.”
Saran Ali disetujui dan segera dilaksanakan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinan memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung masuk Islam dan bagus keislamannya. Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan diambil istri oleh Husain setelah tadinya berstatus budak.
Setelah itu dia tinggalkan segala sesuatu yang berkenaan dengan paganisme (penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para wanita menjadi “Ghazalah”.
Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendapatkan putri raja. Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.
Beberapa waktu kemudian, Allah pun memuliakan beliau dengan dikaruniai seorang anak yang tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib.
Hanya saja, kebahagiaan itu tidak lama dirasakan Ghazalah. Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus setelah melahirkan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dengan anaknya.
Selanjutnya anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita. Dia dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipelihara lebih baik daripada anaknya sendiri. Maka si kecil tumbuh tanpa mengenal orang lain selain budak wanita itu.
Menginjak usia remaja Ali bin Husain sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya sendiri. Madrasah yang kedua adalah masjid Nabawi Asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi tabi’in.
Mereka begitu semangat mendidik para putra sahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih serta riwayat hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan target dan obyek yang ditujunya.
Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati mereka dengan kecintaan, takut dan ketakwaan kepada Allah. Dan akhirnya mereka berhasil menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husain tidaklah terkait dengan sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang boleh dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang ada di dalamnya.
Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa terbang kerinduan beliau terhadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka, gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.
Dr Abdurrahman Ra’fat Basya dalam bukunya Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, menceritakan memasuki usia dewasa, Ali bin Husain tumbuh menadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketakwaan.
Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda bani Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketakwaannya, terhormat, luas pengetahuan dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya. Sampai-sampai setiap kali selesai wudhu terlihat wajahnya pucat seperti ketakutan. Bila ditanya tentang hal itu menjawab, “Duhai celaka, tidakkah kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan aku ajak bicara?”
Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberi julukan “Zainul ‘Abdin” (hiasan para ahli ibadah) dan julukan ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya. Selain itu karena sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai Assajad. Karena jiwanya yang bersih, dijuluki pula dengan “Az-Zakiy”. (Bersambung)
(mhy)