Ketika Abu Hanifah Berdebat dengan Seorang Khawarij dan Kelompok Sesat
loading...
A
A
A
Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekadar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”
Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya dengan sekadar pengetahuan, niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya:
“Saya lebih baik daripadanya: “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Kemudian:
“Berkata iblis: ‘Ya tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan’.” (QS. Al-Hijr: 36)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.” (QS. Al-A’raf: 16)
Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka mayakini (kebenaran)nya.” (QS. An-Naml: 140
Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.
Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Quran dan adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”
Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya dengan sekadar pengetahuan, niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya:
“Saya lebih baik daripadanya: “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Kemudian:
“Berkata iblis: ‘Ya tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan’.” (QS. Al-Hijr: 36)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.” (QS. Al-A’raf: 16)
Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka mayakini (kebenaran)nya.” (QS. An-Naml: 140
Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.
Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Quran dan adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
(mhy)