Sumber Petaka Itu Bernama Lisan, Peringatan untuk Para Da'i

Senin, 26 Juli 2021 - 09:04 WIB
loading...
Sumber Petaka Itu Bernama Lisan, Peringatan untuk Para Dai
Ilustrasi/Ist
A A A
Rasulullah SAW sangat menaruh perhatian lebih terhadap ucapan (lisan) umatnya. Karena dengan lisanlah surga dan neraka seseorang ditentukan. Rasulullah SAW pernah menasehati Muadz Bin Jabal ra? "Maukah aku beritahu kepadamu tentang kunci semua perkara itu?" Jawab "ya, wahai Rasulullah."

Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, "Jagalah ini."

Aku bertanya "Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut disiksa karena apa yang kami katakan?"

Maka beliau bersabda, "Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang diseret mukanya atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya di dalam neraka selain ucapan lisan mereka. (HR Tirmidzi).



Beliau juga bersabda, "Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat." (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwasanya Umar bin Khattab pernah masuk kepada Abu Bakar Ash Shiddiq dan dia sedang memegang lisannya. Umar berkata padanya: "Cukup, semoga Allah ampuni dosamu".

Abu Bakar menjawab: “Lisan inilah yang menjerumuskanku ke dalam kebinasaan”. (Az Zuhd, hlm. 90 karya Ahmad bin Hanbal).

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul Cambuk Hai Sahabat Nabi mengingatkansahabat sekelas Abu Bakar Ash Shiddiq khawatir akan dosa lisannya, lantas bagaimana dengan lisan kita?

Bukankah kita harus lebih khawatir terhadap lisan kita yang kerapkali mengeluarkan kata-kata dosa? Rasulullah SAW bersabda:

“Paling banyak kesalahan anak Adam bersumber pada lisannya.” (HR. Thobaroni, Ibnu Asakir dll. Lihat As-Shohihah no. 53416)

Abu Bakar khawatir atas lisannya karena rasa takutnya kepada Allah, namun kita yang banyak dosa justru tidak khawatir terhadap lisan kita karena tipisnya rasa takut kita kepada Allah SWT.

Dalam banyak hadits ini, Nabi SAW menganjurkan kepada kita untuk mengucapkan ucapan yang baik atau diam.

Banyak sekali dalil dalil dalam Al-Qur’an dan sunnah yang memerintahkan kita untuk menjaga lisan dan tidak ada asal ngegas tanpa memikirkan secara matang dampaknya.

Sungguh betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang ditimbulkan oleh lisan yang tak bertulang sehingga menjadi faktor utama dicampakkannya ke api Neraka !!



Dan perlu diketahui bahwa seorang sebelum melontarkan sebuah ucapan, maka hendaknya mengecek empat aspek:

Pertama, tujuan dan niat. Baiknya niat menjadikan kata yang terucap dari lisan terasa sejuk dan mendatangkan kedamaian bagi orang yang mendengarnya. Apalah artinya kata-kata indah jika ternyata tersimpan dalam hatinya bisa dan racun yang mematikan.

Kedua, kandungan makna ucapan. Oleh karenanya seorang harus selektif dalam bertutur kata karena setiap huruf yang keluar dari lisan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, yang berdampak tentang nasib kelak di akherat.

Ketiga, kelembutan kata. utur kata yang lembut dan santun terbukti ampuh memikat hati dan meruntuhkan amarah yang berkobar-kobar dan berubah menjadi keakraban dan kasih sayang.

Keempat, efek ucapan. Bisa jadi ucapan kita benar, dikemas secara santun, dilandasi dengan niat yang baik, namun ternyata berdampak buruk akibatnya. Oleh karenanya, pertimbangkan baik-baik ucapan sebelum disampaikan agar tidak berujung pada malapetaka dalam hidup dan melukai perasaan saudara anda.

Point keempat ini perlu diperhatikan baik-baik, terutama bagi para dai dan penuntut ilmu agar kita tidak menghancurkan bangunan yang terbangun.

Imam Asy-Syathibi berkata: “Memikirkan buah suatu perbuatan adalah sangat penting dalam pandangan syari’at, baik perbuatan tersebut benar atau salah, sebab seorang alim tidak bisa menghukumi secara benar tentang suatu perbuatan kecuali setelah melihat buah yang dihasilkan dari perbuatan tersebut berupa kebaikan atau ke burukan”. 11

Syaikh Sulaiman Ar-Ruhali berkata: “Di antara fiqh menghadapai zaman fitnah:

Sesungguhnya keyakinan harus dibangun di atas ilmu, sedangkan ucapan dan penjelasan (kepada ummat) harus dibangun di atas kemaslahatan. Maka seorang muslim harus meyakini apa yang ditunjukkan oleh dalil dan apa yang ditetapkan oleh para ulama.

Adapun ucapan dan penjelasan kepada ummat maka harus didasarkan pada kemaslahatan.

Maka tidak disyariatkan bagi seorang muslim untuk mengucapakan setiap apa yang dia ilmui, akan tetapi dia harus menimbang, jika dengan mengucapkannya ada kemaslahatan maka dia mengucapkannya. Namun jika menurut maslahat, perkara tersebut harus diakhirkan maka dia pun harus mengakhirkannya dan menunda untuk mengatakannya”. (Fiqhul al-Fitan, Syeikh Dr. Sulaiman Ar-Ruhaily, hlm. 40-41).

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2187 seconds (0.1#10.140)