Begini Nasab Anak Hasil Perselingkuhan Perempuan yang Bersuami
loading...
A
A
A
Yang dimaksud dengan kata al-firâsy di sini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW pernah bersabda:
الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ
"Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami). [HR al-Bukhâri dalam Kitabul Farâid, Bab al-Walad Lil Firâsy Hurratan kânat au Amatan, lihat Fathul Bâri,12/32]
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di menyatakan: “Ketika seorang wanita telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak wanita, kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi milik pemilik firâsy. (al-Fatâwâ as-Sa’diyah hal. 552).
Beliau menambahkan: “Dengan adanya kepemilikan firâsy ini, maka keserupaan fisik atau pengakuan seseorang dan lainnya sudah tidak dianggap”
Selanjutnya, apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua keadaan: Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta nasabnya dinasabkan ke ibunya.
Jika wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan, maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya.
Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan anak zina, namun tetap dinasabkan kepada ibunya.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW pernah bersabda:
الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ
"Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami). [HR al-Bukhâri dalam Kitabul Farâid, Bab al-Walad Lil Firâsy Hurratan kânat au Amatan, lihat Fathul Bâri,12/32]
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di menyatakan: “Ketika seorang wanita telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak wanita, kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi milik pemilik firâsy. (al-Fatâwâ as-Sa’diyah hal. 552).
Beliau menambahkan: “Dengan adanya kepemilikan firâsy ini, maka keserupaan fisik atau pengakuan seseorang dan lainnya sudah tidak dianggap”
Selanjutnya, apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua keadaan: Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta nasabnya dinasabkan ke ibunya.
Jika wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan, maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya.
Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan anak zina, namun tetap dinasabkan kepada ibunya.
(mhy)