Ketika Abu Hanifah Kalah Berdebat dengan Bahlul
loading...
A
A
A
Suatu hari, Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi) mengajar di sebuah perguruan tinggi. Bahlul duduk di sebuah sudut ruangan, mendengarkan pelajaran Abu Hanifah.
Di tengah-tengah pelajarannya, Abu Hanifah berkata, "Imam Ja'far Shadiq mengatakan tiga hal yang aku tidak menyetujuinya. Pertama, Imam berkata bahwa Iblis akan dihukum dalam api neraka. Karena Iblis terbuat dari api, maka bagaimana mungkin api akan menyakitinya? Suatu benda tidak dapat tersakiti oleh benda lain yang sejenis.
Kedua, beliau berkata bahwa kita tidak dapat melihat Allah (dengan mata fisik). Namun, suatu keberadaan pastilah dapat dilihat. Oleh karena itu, Allah dapat dilihat dengan mata kita.
Ketiga, beliau berkata bahwa siapapun yang berbuat maka dirinya sendiri yang akan bertanggung jawab, dan akan ditanya tentang hal itu. Tetapi hal ini tidak terbukti. Maksudnya, apapun yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak Allah dan manusia tidak dapat mengusahakan apa yang ia lakukan".
Segera setelah Abu Hanifah berkata demikian, Bahlul mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah Abu Hanifah. Lemparan itu mengenai dahi Abu Hanifah dan membuatnya sangat kesakitan. Kemudian Bahlul lari. Murid-murid Abu Hanifah segera mengejar Bahlul dan menangkapnya. Karena Bahlul berhubungan dekat dengan Khalifah, mereka membawanya dan menceritakan seluruh kejadiannya.
Bahlul berkata, "Panggil Abu Hanifah, agar aku dapat memberikan jawabanku padanya."
Abu Hanifah pun dipanggil dan Bahlul lalu berkata padanya, "Apa kesalahan yang aku lakukan padamu?"
Abu Hanifah menjawab, "Kau melempar dahiku dengan gumpalan tanah, sehingga dahi dan kepalaku menjadi sakit sekali."
Bahlul bertanya lagi, "Dapatkah kau perlihatkan rasa sakitmu?"
Abu Hanifah menjawab, "Mana mungkin rasa sakit diperlihatkan?"
Bahlul lalu menjawab, "Pertama, kau sendiri berkata bahwa suatu keberadaan pasti dapat dilihat, sehingga kau mengkritik Imam Ja'far Shadiq dengan mengatakan bagaimana mungkin Allah itu ada tetapi tidak terlihat (mata fisik).
Kedua, kau salah ketika mengatakan bahwa gumpalan tanah itu memyakiti kepalamu. Karena gumpalan itu terbuat dari lumpur (campuran tanah dan air) dan kau juga terbuat dari lumpur. Jadi bagaimana bisa suatu benda menyakiti benda lain yang sejenis?
Ketiga, kau mengatakan bahwa seluruh perbuatan manusia adalah kehendak Allah. Jadi bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku bersalah, lalu menyerahkan aku pada khalifah, mengadukan aku, dan meminta hukuman untukku!"
Abu Hanifah mendengarkan jawaban Bahlul yang cerdas itu, dan dengan perasaan malu ia meninggalkan istana.
Di tengah-tengah pelajarannya, Abu Hanifah berkata, "Imam Ja'far Shadiq mengatakan tiga hal yang aku tidak menyetujuinya. Pertama, Imam berkata bahwa Iblis akan dihukum dalam api neraka. Karena Iblis terbuat dari api, maka bagaimana mungkin api akan menyakitinya? Suatu benda tidak dapat tersakiti oleh benda lain yang sejenis.
Kedua, beliau berkata bahwa kita tidak dapat melihat Allah (dengan mata fisik). Namun, suatu keberadaan pastilah dapat dilihat. Oleh karena itu, Allah dapat dilihat dengan mata kita.
Ketiga, beliau berkata bahwa siapapun yang berbuat maka dirinya sendiri yang akan bertanggung jawab, dan akan ditanya tentang hal itu. Tetapi hal ini tidak terbukti. Maksudnya, apapun yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak Allah dan manusia tidak dapat mengusahakan apa yang ia lakukan".
Segera setelah Abu Hanifah berkata demikian, Bahlul mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah Abu Hanifah. Lemparan itu mengenai dahi Abu Hanifah dan membuatnya sangat kesakitan. Kemudian Bahlul lari. Murid-murid Abu Hanifah segera mengejar Bahlul dan menangkapnya. Karena Bahlul berhubungan dekat dengan Khalifah, mereka membawanya dan menceritakan seluruh kejadiannya.
Bahlul berkata, "Panggil Abu Hanifah, agar aku dapat memberikan jawabanku padanya."
Abu Hanifah pun dipanggil dan Bahlul lalu berkata padanya, "Apa kesalahan yang aku lakukan padamu?"
Abu Hanifah menjawab, "Kau melempar dahiku dengan gumpalan tanah, sehingga dahi dan kepalaku menjadi sakit sekali."
Bahlul bertanya lagi, "Dapatkah kau perlihatkan rasa sakitmu?"
Abu Hanifah menjawab, "Mana mungkin rasa sakit diperlihatkan?"
Bahlul lalu menjawab, "Pertama, kau sendiri berkata bahwa suatu keberadaan pasti dapat dilihat, sehingga kau mengkritik Imam Ja'far Shadiq dengan mengatakan bagaimana mungkin Allah itu ada tetapi tidak terlihat (mata fisik).
Kedua, kau salah ketika mengatakan bahwa gumpalan tanah itu memyakiti kepalamu. Karena gumpalan itu terbuat dari lumpur (campuran tanah dan air) dan kau juga terbuat dari lumpur. Jadi bagaimana bisa suatu benda menyakiti benda lain yang sejenis?
Ketiga, kau mengatakan bahwa seluruh perbuatan manusia adalah kehendak Allah. Jadi bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku bersalah, lalu menyerahkan aku pada khalifah, mengadukan aku, dan meminta hukuman untukku!"
Abu Hanifah mendengarkan jawaban Bahlul yang cerdas itu, dan dengan perasaan malu ia meninggalkan istana.
(mhy)