Khubaib bin Adi: Pahlawan yang Syahid di Kayu Salib

Kamis, 02 September 2021 - 12:14 WIB
loading...
Khubaib bin Adi: Pahlawan yang Syahid di Kayu Salib
Khubaib bin Adi menjadi mata-mata kaum muslimin pasca Perang Badar. Ia syahid bersama 7 sahabat Nabi dalam misi ini. Ilustrasi/istt
A A A
Dia adalah Khubaib bin 'Adi . la seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk sahabat Anshar. la sering bolak-balik kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasalam (SAW) sejak beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul 'alamin. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh dan berhati mulia.

la adalah sebagai yang dilukiskan oleh Hassan bin Tsabit, penyair Islam sebagai berikut:"

"Seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang-orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tak dapat ditawar-tawar".



Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan orang, terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlawan gagah perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin 'Adi. Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di perang Badar tewas di ujung pedangnya. Ia adalah seorang pemimpin Quraisy yang bernama al-Harits bin’Amir bin Naufal.

Setelah pertempuran selesai dan sisa-sisa pasukan Quraisy yang kalah kembali ke Mekkah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka.

Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Islam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu:
Khubaib bin Adi.

Orang-orang Islam telah kembali ke Madinah dari perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka yang baru. Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat beribadah, dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang 'abid dan kerinduan seorang 'asyik.

Demikianlah ia beribadat menghadap Allah dengan sepenuh hatinya ...berdiri sholat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta memahasucikan Allah pagi dan petang.

Pada suatu hari Rasulullah SAW bermaksud hendak menyelidiki rahasia orang-orang Quraisy, hingga dapat mengetahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru. Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari para sahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin mereka diangkat oleh Nabi, 'Ashim bin Tsabit.

Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekkah. Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang-orang Islam dan mengikuti jejak mereka dari belakang.

Pasukan Bani Haiyan hampir saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma berjatuhan di atas pasir. Biji-biji itu dipungut oleh sebagian di antara orang-orang ini, lalu mengamatinya berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka: "Biji-biji itu berasal dari Yatsrib - nama lain dari Madinah. Ayuh, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana mereka berada."

Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari jauh rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari itu.



'Ashim, pemimpin penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, lalu diperintahkannya kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak bukit yang tinggi. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat.

Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Kesepuluh orang ini menoleh kepada pemimpin mereka 'Ashim bin Tsabit al-Anshari r. a.

Rupanya ia menyatakan: "Adapun aku, demi Allah aku tak akan turun, mengemis perlindungan orang musyrik ... ! Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu.. .!"

Dan segeralah para pernanah yang seratus orang itu menghujani mereka dengan anak panah.

Pemimpin mereka 'Ashim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagai dijanjikan. Maka turunlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang sahabatnya.

Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya. Mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan ’Ashim dan teman-temannya, maka gugurlah ia pula menemui syahid seperti yang diinginkannya.

Dan demikianlah, kedelapan orang yang terbilang di antara orang-orang Mu'min yang paling tebal keimanannya, paling teguh menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Allah dan Rasul, telah menunaikan darma bakti mereka sampai mati.



Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi Zaid, berusaha melepaskan tail ikatan mereka, tapi tidak berhasil karena buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah durhaka itu ke Mekkah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak.

Keluarga Harits bin Amir yang tewas di perang Badar, dapat mengingat nama ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak. Untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Mekkah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di perang Badar.

Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja terhadapnya tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur hingga tembus ke bagian atas badannya.

Khubaib telah menyerahkan dirinya sepenuhnya, menyerahkan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir hidupnya kepada Allah Rabbul'alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada beribadat dengan jiwa yang teguh, keberanian yang tangguh disertai sakinah atau ketenteraman yang telah dilimpahkan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu karang dan melebur ketakutan. Allah selalu besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah.

Pada suatu kali salah seorang puteri Harits datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar rumahnya, tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak, memanggil dan mengajak orang Mekkah menyaksikan keajaiban, katanya:

"Demi Allah saya melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya, sedang ia terikat teguh pada besi, padahal di Makkah tak ada sebiji anggur pun, Saya kira itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada Khubaib."

Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami sahabat dan saudaranya Zaid bin Ditsinnah r.a. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat sarafnya, serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah merangkulnya dengan menurunkan sakinah dan rahmat-Nya.

Terus mereka menguji keimanannya dan membujuknya dengan janji pembebasan seandainya ia mau mengingkari Muhammad dan sebelum itu Tuhannya yang telah diimaninya.

Tetapi usaha mereka tak ubahnya seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya.

Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat kematiannya. Mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menemui ajalnya.

Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta izin kepada mereka untuk sholat dua rakaat.
Mereka mengizinkannya, dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar-menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya.

Khubaib pun shalatlah dua rakaat dengan khusu', tenang, dan hati yang pasrah. Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya, lemak manisnya iman. Maka ia mencintakan kiranya ia terus shalat, terus shalat dan shalat lagi. Tetapi kemudian ia berpaling ke arab algojonya, lain katanya kepada mereka: "Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niscaya akan kulanjutkan lagi shalatku...!"

Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arah langit lain mohonnya: "Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka, musnahkan mereka sampai binasa... !"

Kemudian diamat- amatinya wajah mereka, disertai suatu keteguhan tekad lain berpantun:

Mati bagiku tak menjadi masalah...
Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah
Dengan jalan apapun kematian itu terjadi
Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi
Ku berserah menyerah kepada-Nya...
Sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya

Kaum kafir Quraisy telah menyiapkan pelepah-pelepah tamar untuk membuat sebuah salib besar. Setelah itu menyandarkan Khubaib di atasnya, dengan mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnya.

Orang-orang musyrik itu jadi buas dengan melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu roma. Para pemanah bergantian melepaskan panah-panah mereka.

Kekejaman yang di luar batas ini sengaja dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya karena tersalib.

Khubaib tak memicingkan matanya, dan tak pernah kehilangan sakinah yang mena'ajubkan. Ia yang telah memberi cahaya kepada wajahnya. Anak-anak panah bertancapan ke tubuhnya dan pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya.

Di kala itu salah seorang pemimpin Quraisy mendekatinya sambil berkata: "Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal'afiat bersama keluargamu?"

Tenaga Khubaib pulih kembali, dengan suara laksana angin kencang ia berseru kepada para pembunuhnya: "Demi Allah tak sudi aku bersama anak isteriku selamat menikmati kesenangan dunia, sedang Rasulullah kena musibah walau oleh sepotong duri...!"

Kalimat dan kata-kata hebat yang menggugah ini pulalah yang telah diucapkan oleh teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah sewaktu mereka hendak membunuhnya. Kata-kata yang mempesona itu yang telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang sehingga menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Islam mempertepukkan bedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya itu:

"Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain, seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad."

Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan kebuasan.

Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekkah, ke sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan permusuhan. Dan tinggaliah tubuh yang syahid itu dijaga oleh sekelompok para algojo bersenjata tombak dan pedang.

Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di atas pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arah langit sambil berdua kepada Tuhannya Yang Maha Besar, katanya:

"Ya Allah kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami... !"

Do'anya itu diperkenankan oleh Allah. Sewaktu Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang kuat, memberitahukan bahwa para sahabatnya dalam bahaya dan terbayanglah kepadanya tubuh salah seorang mereka sedang tergantung di awang-awang.

Dengan segera beliau SAW memerintahkan sahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam, yang segera menunggang kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah sampailah mereka ke tempat yang dimaksud. Maka mereka turunkanlah mayat sahabat mereka Khubaib, sementara tempat suci di bumi telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan tanah yang lembab penuh berkah.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1530 seconds (0.1#10.140)