Abu Ubaidah bin Jarrah (1): Memenggal Kepala Sang Ayah di Perang Badar

Jum'at, 30 April 2021 - 15:28 WIB
loading...
Abu Ubaidah bin Jarrah (1):  Memenggal Kepala Sang Ayah di Perang Badar
Ilustrasi/Ist
A A A
Wajahnya selalu berseri. Matanya bersinar. Tubuhnya tinggi kurus. Bidang bahunya kecil. Setiap mata senang melihat kepadanya. Dia selalu ramah tamah, sehingga setiap orang merasa simpati kepadanya.

Baca Juga: Abu Ubaidah Panglima Perang yang Syahid karena Wabah Tho’un
Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu’ (rendah hati) dan sangat pemalu. Tetapi bila menghadapi suatu urusan penting, dia sangat cekatan bagaikan singa jantan bertemu musuh. Dialah kepercayaan umat Muhammad. Namanya Amir bin ‘Abdillah bin Jarrah Al-Fihry Al-Qurasyi”, dipanggil “ Abu Ubaidah ”.

Abdullah bin Umar bin Khattab pernah bercerita tentang sifat sifat yang mulia, katanya: “Ada tiga orang Quraisy yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi akhlak dan sangat pemalu. Bila berbicara, mereka tidak pernah dusta. Dan apabila orang berbicara kepada mereka, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu ialah: Abu Bakar Shiddiq , Utsman bin Affan , dan Abu U’baidah bin Jarrah.”

Abu ‘Ubaidah termasük kelompok pertama masuk Islam. Dia masuk Islam di tangan Abu Bakar Shiddiq, sehari sesudah Abu Bakar masuk Islam. Waktu itu beliau menemui Rasulullah SAW bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf , Utsman bin Mazh’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Karena itu mereka tercatat sebagai tiang-tiang pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.



Dalam kehidupannya sebagai muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang keras dari kaum Quraisy terhadap kaum muslimin di Makkah, sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama-sama kaum muslimin yang mula-mula, merasakan tindakan kekerasan, kesulitan dan kesedihan, yang tak pernah dirasakan oleh pengikut agama-agama lain di muka bumi ini.

Walaupun begitu, dia tetap teguh menerima segala macam cobaan. Dia tetap setia dan membenarkan Rasulullah pada setiap situasi dan kondisi yang berubah-ubah. Bahkan ujian yang dialami Abu Ubaidah dalam perang Badar, melebihi segala macam kekerasan yang pernah kita alami.

Abu Ubaidah turut berperang dalam perang Badar. Dia menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya ke mana dia lari. Ada seorang prajurityang terus mengincar dan mengejar Abu Ubaidah dengan sangat beringas.

Abu Ubaidah berusaha menghindar dan menjauhkan diri agar tidak bertarung dengan orang itu. Namunprajurit itu tidak mau berhenti mengejarnya. Setelah lama berputar-putar akhirnya Abu Ubaidah terpojok. Dia waspada menunggu orang yang mengejarnya. Ketika orang itu tambah dekat kepadanya, dalam posisi yang sangat tepat, Abu Ubaidah mengayunkan pedangnya tepat di kepala lawan. Orang itu jatuh terbanting dengan kepala belah dua. Musuh itu tewas seketika ditangan Abu Ubaidah.



Musuh yang tewas di tangan Abu Ubaidah itu tak lain ialah Abdullah bin Jarrah ayah kandung Abu Ubaidah sendiri. Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya. Tetapi membunuh kemuysrikan yang bersarang dalam pribadi sang ayah.

Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah tersebut, Allah SWT berfirman: Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung. (QS Al-Mujadalah: 22)

Ayat di atas tidak menyebabkan Abu Ubaidah membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama. Orang yang mendapat gelar ‘kepercayaan umat Muhammad” ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan besi berani menarik logam di sekitarnya.



Muhammad bin Ja’far menceritakan, “Pada suatu ketika para utusan kaum Nasrani datang menghadap kepada Rasulullah. Kata mereka, “Ya, Aba Qasim! Kirimlah bersama kami seorang sahabat Anda yang Anda pandang cakap menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum muslimin.”

Jawab Rasulullah, ‘Datanglah nanti petang, saya akan mengirimkan bersama kalian “orang kuat yang terpercaya”

Kata ‘Umar bin Khaththab, “Saya pergi salat zhuhur lebih cepat dan biasa. Saya tidak ingin tugas itu diserahkan kepada orang lain, karena saya ingin mendapatkan gelar “orang kuat terpercaya”.

Sesudah selesai shalat zhuhur, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Saya agàk menonjolkan diri supaya Rasulullah melihat saya. Tetapi beliau tidak melihat lagi kepada kami. Setelah beliau melihat Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, beliau memanggil seraya berkata kepadanya, ‘Pergilah engkau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan.”

Maka pergilah Abu ‘Ubaidah dengan para utusan Nasrani tersebut, menyandang gelar “orang kuat yang terpercaya”. (Bersambung)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4047 seconds (0.1#10.140)