Hamzah bin Abdul Muthalib: Bersama Roh Para Syuhada di Perut Burung
loading...
A
A
A
Hamzah bin Abdul Muthalib , paman Nabi SAW, syahid dalam perang Uhud . Kini ruh atau roh para syuhada itu berada dalam perut burung hijau. Mereka mendatangi surga dan bertengger di lentera-lentera dari emas.
Setelah syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib, Rasulullah SAW bersabda, “Hamzah adalah sayyid (pemimpin) para syuhada di hari Kiamat.” (HR al-Hakim).
Syaikh Mahmud al-Mishri dalam kitabnya Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan hadis ini bahkan sudah pernah disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW sendiri kepada Hamzah semasa dia masih hidup.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga disebutkan bersabda di depan jenazah Hamzah, “Melimpahlah atasmu rahmat ar-Rahim. Akulah saksi bagimu di hadapan al-Hakim. Engkaulah pendekar penyambung silaturahmi, berbuat kebaikan, pembela yang dizalimi."
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa setelah Perang Uhud usai, Rasulullah SAW bersabda:
Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam Perang Uhud, Allah menjadikan ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau yang mendatangi sunga-sungai di surga, memakan buah-buahannya dan bertengger di lentera-lentera dari emas yang tergantung di bawah naungan ‘Arsy.
Ketika mereka mendapatkan makanan, minuman, dan tempat tinggal yang baik, mereka berkata, “Siapa yang menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami saat ini hidup di surga dalam keadaan diberi rizki, agar mereka tidak menolak untuk berangkat berperang dan bersikap menahan diri dari jihad.”
Allah berfirman, “Aku yang menyampaikan untuk kalian kepada mereka.”
(Periwayat berkata: Maka turunlah ayat):
“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali Imran : 169)
Hadits ini diriwatkan bu Dawud (No. 2520) dan al-Hakim (Vol 2, hlm 88, 297)..
Dalam kesempatan lain, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Masud:
Kami bertanya kepada Abdullah bin Masud rentang ayat ini (yaitu QS Ali Imran : 169). Maka dia berkata, “Kami juga pernah bertanya tentang hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, ‘Ruh-ruh mereka di dalam perut burung berwarna hijau. Ia mempunyai lentera-lentera yang bergantungan di ‘Arsy. Ia hilir-mudik di dalam surga sesuka-sukanya, kemudian ia bertengger di lentera-lentera tersebut.’
‘Lalu Rabb mereka melongok kepada mereka lalu berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’
‘Mereka menjawab,’Apa yang kami inginkan (lagi), sementara kami hilir mudik di surga sesuka kami?’
‘Lalu Allah melakukan hal itu kepada mereka sebanyak tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka akan terus ditanya, mereka berkata, ‘Ya Rabbi, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad kami sehingga kami terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.’
‘Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak lagi memendam hajat, maka mereka dibiarkan.’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (No. 1887) dari jalan al-A’masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq, dikutip oleh Adz-Dzahabi, Siyar A’laamin Nubalaa (Vol 1, hlm 179).
Tak Ada yang Menangisi Hamzah
Ibnu Ishaq dalam bukunya berjudul Sirat Rasul Allah, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A Guillaume, The Life of Muhammad (Oxford University Press: Karachi, 1967) memaparkan Rasulullah SAW dan para sahabat kemudian pulang ke Madinah. Di tengah perjalanan Rasulullah SAW mendengar tangisan dari para wanita. Ibnu Ishaq meriwayatkan:
Rasulullah SAW melewati salah satu permukiman Ansar, Bani Abdul-Asyhal dan Zafar, dan dia mendengar suara tangisan dan ratapan atas orang-orang yang wafat. Mata Rasulullah berkaca-kaca, dan beliau menangis dan berkata, “Tetapi tidak ada wanita yang menangisi Hamzah.”
Ketika Saad bin Muadz dan Usaid bin Hudair kembali ke permukiman, mereka memerintahkan wanita mereka untuk bergegas dan pergi dan menangisi paman Rasulullah (Hamzah).
Hakim bin Hakim bin Abbad bin Hunaif, yaitu seseorang dari Bani Abdul-Asyhal, mengatakan kepadaku, “Ketika Rasulullah mendengar mereka menangis untuk Hamzah di pintu masjidnya, beliau berkata, ‘Pulanglah; semoga Allah merahmati kalian; kalian telah benar-benar membantu dengan kehadiran kalian.’.”
Ja’far Subhani dalamAr-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW menuturkan dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa seorang wanita dari Bani Dinar yang telah kehilangan suami, ayah, dan saudaranya sedang duduk di antara kaum wanita sambil meneteskan air mata, sementara yang lain-lain meratap.
Kebetulan Rasulullah SAW bersama para sahabat lewat tak jauh dari kelompok wanita itu. Wanita yang sedang dilanda musibah itu menanyakan kepada orang-orang yang di dekatnya tentang keadaan Rasulullah SAW.
Semuanya menjawab, “Alhamdulillah, beliau baik-baik saja,” sambil menunjukkan Rasulullah kepadanya.
Ketika melihat wajah Rasulullah, wanita itu segera melupakan musibah yang menimpanya seraya mengatakan sesuatu dari lubuk hatinya, yang menciptakan suatu revolusi dalam pikiran orang-orang yang hadir di situ.
Dia berkata, “Wahai Nabi Allah! Segala kesulitan dan kesusahan menjadi mudah dijalanmu (yakni, apabila engkau masih hidup, kami menganggap setiap malapetaka yang menimpa kami tak berarti, dan kami mengabaikannya-pen).”
Terpujilah ketabahan ini, dan terpujilah iman yang menyelamatkan orang dari kegoyahan sebagaimana jangkar mempertahankan kapal dari gelombang laut.
Setelah syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib, Rasulullah SAW bersabda, “Hamzah adalah sayyid (pemimpin) para syuhada di hari Kiamat.” (HR al-Hakim).
Syaikh Mahmud al-Mishri dalam kitabnya Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan hadis ini bahkan sudah pernah disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW sendiri kepada Hamzah semasa dia masih hidup.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga disebutkan bersabda di depan jenazah Hamzah, “Melimpahlah atasmu rahmat ar-Rahim. Akulah saksi bagimu di hadapan al-Hakim. Engkaulah pendekar penyambung silaturahmi, berbuat kebaikan, pembela yang dizalimi."
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa setelah Perang Uhud usai, Rasulullah SAW bersabda:
Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam Perang Uhud, Allah menjadikan ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau yang mendatangi sunga-sungai di surga, memakan buah-buahannya dan bertengger di lentera-lentera dari emas yang tergantung di bawah naungan ‘Arsy.
Ketika mereka mendapatkan makanan, minuman, dan tempat tinggal yang baik, mereka berkata, “Siapa yang menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami saat ini hidup di surga dalam keadaan diberi rizki, agar mereka tidak menolak untuk berangkat berperang dan bersikap menahan diri dari jihad.”
Allah berfirman, “Aku yang menyampaikan untuk kalian kepada mereka.”
(Periwayat berkata: Maka turunlah ayat):
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali Imran : 169)
Hadits ini diriwatkan bu Dawud (No. 2520) dan al-Hakim (Vol 2, hlm 88, 297)..
Dalam kesempatan lain, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Masud:
Kami bertanya kepada Abdullah bin Masud rentang ayat ini (yaitu QS Ali Imran : 169). Maka dia berkata, “Kami juga pernah bertanya tentang hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, ‘Ruh-ruh mereka di dalam perut burung berwarna hijau. Ia mempunyai lentera-lentera yang bergantungan di ‘Arsy. Ia hilir-mudik di dalam surga sesuka-sukanya, kemudian ia bertengger di lentera-lentera tersebut.’
‘Lalu Rabb mereka melongok kepada mereka lalu berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’
‘Mereka menjawab,’Apa yang kami inginkan (lagi), sementara kami hilir mudik di surga sesuka kami?’
‘Lalu Allah melakukan hal itu kepada mereka sebanyak tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka akan terus ditanya, mereka berkata, ‘Ya Rabbi, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad kami sehingga kami terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.’
‘Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak lagi memendam hajat, maka mereka dibiarkan.’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (No. 1887) dari jalan al-A’masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq, dikutip oleh Adz-Dzahabi, Siyar A’laamin Nubalaa (Vol 1, hlm 179).
Tak Ada yang Menangisi Hamzah
Ibnu Ishaq dalam bukunya berjudul Sirat Rasul Allah, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A Guillaume, The Life of Muhammad (Oxford University Press: Karachi, 1967) memaparkan Rasulullah SAW dan para sahabat kemudian pulang ke Madinah. Di tengah perjalanan Rasulullah SAW mendengar tangisan dari para wanita. Ibnu Ishaq meriwayatkan:
Rasulullah SAW melewati salah satu permukiman Ansar, Bani Abdul-Asyhal dan Zafar, dan dia mendengar suara tangisan dan ratapan atas orang-orang yang wafat. Mata Rasulullah berkaca-kaca, dan beliau menangis dan berkata, “Tetapi tidak ada wanita yang menangisi Hamzah.”
Ketika Saad bin Muadz dan Usaid bin Hudair kembali ke permukiman, mereka memerintahkan wanita mereka untuk bergegas dan pergi dan menangisi paman Rasulullah (Hamzah).
Hakim bin Hakim bin Abbad bin Hunaif, yaitu seseorang dari Bani Abdul-Asyhal, mengatakan kepadaku, “Ketika Rasulullah mendengar mereka menangis untuk Hamzah di pintu masjidnya, beliau berkata, ‘Pulanglah; semoga Allah merahmati kalian; kalian telah benar-benar membantu dengan kehadiran kalian.’.”
Ja’far Subhani dalamAr-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW menuturkan dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa seorang wanita dari Bani Dinar yang telah kehilangan suami, ayah, dan saudaranya sedang duduk di antara kaum wanita sambil meneteskan air mata, sementara yang lain-lain meratap.
Kebetulan Rasulullah SAW bersama para sahabat lewat tak jauh dari kelompok wanita itu. Wanita yang sedang dilanda musibah itu menanyakan kepada orang-orang yang di dekatnya tentang keadaan Rasulullah SAW.
Semuanya menjawab, “Alhamdulillah, beliau baik-baik saja,” sambil menunjukkan Rasulullah kepadanya.
Ketika melihat wajah Rasulullah, wanita itu segera melupakan musibah yang menimpanya seraya mengatakan sesuatu dari lubuk hatinya, yang menciptakan suatu revolusi dalam pikiran orang-orang yang hadir di situ.
Dia berkata, “Wahai Nabi Allah! Segala kesulitan dan kesusahan menjadi mudah dijalanmu (yakni, apabila engkau masih hidup, kami menganggap setiap malapetaka yang menimpa kami tak berarti, dan kami mengabaikannya-pen).”
Terpujilah ketabahan ini, dan terpujilah iman yang menyelamatkan orang dari kegoyahan sebagaimana jangkar mempertahankan kapal dari gelombang laut.
(mhy)