Surat Yasin: Para Rasul dan Penyeru yang Tak Disebut Namanya (1)
loading...
A
A
A
Dalam Al-Qur'an, Surat Yasin ayat 20,Allah SWT menyebutkan seseorang yang menyeru kaumnya untuk mengikuti para rasul Allah namun nama maupun identitas sang penyeru itu disamarkan.
Allah SWT berfirman:
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul itu.” (QS Yasin : 20)
Kisah bermula ketika dua orang utusan datang kepada suatu kaum. Dalam Surat Yasin ayat 13-14, Allah SWT berfirman:
Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepadanya; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang lalu mereka mendustakan keduanya; maka Kami kuatkan dengan yang ketiga, lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami kepada kamu adalah utusan-utusan.”
Melalui ayat ini, Allah SWT memberikan perumpamaan yang kondisinya mirip dengan kaum kafir Makkah kala itu. Bahwa pernah ada kaum seperti penduduk Makkah yang mengingkari Rasulullah SAW pada masa sebelum-sebelumnya.
Kaum-kaum yang dimaksud sudah didatangkan beberapa utusan secara bergantian, namun mereka tetap ingkar. Adapun kaum kafir yang ada pada Rasulullah SAW , mereka adalah kaum yang sudah berabad-abad lamanya mendengar satu persatu utusan datang pada satu kaum di negeri-negeri sekitar mereka.
Sedang terakhir, Allah SWT mengutus langsung makhluk yang paling mulia di jagad penciptaan sebagai rasul-Nya untuk menyampaikan kebenaran. Maka ayat di atas mengandung pesan yang relevan bagi masyarakat Arab kala itu.
Terkait utusan-utusan yang dimaksud dalam ayat tersebut, beberapa mufasir ada yang berpendapat bahwa mereka adalah beberapa orang rasul Allah yang tidak sebutkan namanya. Sedang sebagian pendapat lainnya mengatakan bahwa mereka adalah murid-murid atau utusan Nabi Isa AS .
Prof Dr M Quraish Shihab , dalam Tafsir Al Misbah agaknya lebih condong pada pendapat kedua. Namun, beliau menilai, bahwa bukan itu substansi dari ayat di atas. Akan tetapi dari ayat tersebut Allah SWT ingin menyampaikan bahwa tidak ada paksaan bagi siapapun untuk mengikuti seruan yang telah diberikan.
Dalam ayat tersebut jelas terlihat, bahwa upaya pada pendakwah, hanya sebatas menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling baik. Bahkan dalam ayat tersebut Allah menunjukkan bahwa ketika satu utusan ditolak, maka datang utusan selanjutnya, sebagai penguat, sampai kebenaran tersebut terang benderang dan terlihat nyata disaksikan oleh diri mereka.
Namun setelah kuat bukti kebenaran tersebut, maka tugas para penyampai risalah selesai. Semuanya dikembalikan kepada Allah SWT. Dan para utusan tersebut tidak diperintah untuk memaksakan apalagi memerangi orang-orang yang ingkar tersebut.
Menurut Quraish Shihab, kata ‘azzazna terambil dari kata ‘azza dan ya’azzu yang berarti menguatkan dan mengukuhkan. Ayat ini merupakan salah satu bukti bagi ketetapan Allah menyangkut kebebasan beragama.
Anda baca, kendati Allah telah mengukuhkan rasul-rasul guna meyakinkan masyarakat tentang kebenaran mereka, namun Allah tidak memaksa mereka untuk percaya. Memang tugas para penganjur kebaikan, hanya penyampaian, bukan pemaksaan, karena Tuhan hanya menerima keimanan yang tulus,.. sehingga setiap orang dipersilakan memilih jalan yang dikehendakinya.
Dalam Surat Yasin 15-17, selanjutnya Al Quran mengisahkan:
Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan ar-Rahman tidak menurunkan sesuatu pun; tidak lain kamu hanyalah berdusta.”
Mereka berkata: “Tuhan kami mengetahui bahwa kami adalah utusan-utusan kepada kamu dan tugas kami tidak lain kecuali penyampaian dengan jelas.” (QS Yasin: 15-17)
Terkait dengan tafsir atas ayat tersebutt, khususnya menyangkut penyebutan ar-Rahman oleh orang-orang kafir tersebut, M. Quraish Shihab mengutip pendapat Allamah Thabathaba’i sebagai berikut:
“Bahwa penyebutan kata ar-Rahman untuk menunjuk Tuhan, karena memang para penyembah berhala mengakui Tuhan, dan sifat-sifatnya yang indah seperti penciptaan, kekuasaan dan rahmat.
Hanya saja mereka berbeda dalam penafsiran maknanya. Di samping itu mereka juga percaya bahwa Tuhan telah melimpahkan wewenang pengelolaan dan pengaturan kepada makhluk-makhluk-Nya yang dekat kepada-Nya, seperti para malaikat dan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah.
Tuhan yang mereka namai ar-Rahman di sini adalah Tuhan dari segala tuhan. Bisa jadi juga — tulis Thabathaba’i lebih jauh — bukan kata ar-Rahman yang mereka ucapkan. Penyebutan kata itu di sini oleh al-Qur’an bertujuan menggambarkan betapa besar rahmat dan santunan Allah kepada mereka menghadapi pengingkaran mereka terhadap kebenaran yang demikian jelas.”
Dalam kisah ini, para rasul tersebut tidak mengajukan argumentasi atau bukti indrawi berupa mukjizat yang dapat meyakinkan masyarakat tersebut tentang bukti kerasulan mereka.
Hal ini mirip dengan yang dilakukan olah Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah mengajukan sebuah mukjizat seperti nabi-nabi terdahulu untuk meyakinkan kaumnya.
Quraish Shihab mengatakan bahwa “Hal ini – atau kali ini – agaknya karena mereka bertujuan untuk menyatakan bahwa sebenarnya kami tidak membutuhkan keimanan kalian, tidak juga upah atau imbalan dari kalian. Yang penting bagi kami adalah penyampaian tuntunan Allah, dan cukuplah bagi kami bahwa Dia telah mengetahui bahwa kami adalah rasul-rasul yang telah melaksanakan tugasnya.” (Bersambung)
Allah SWT berfirman:
وَجَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِيۡنَةِ رَجُلٌ يَّسۡعٰى قَالَ يٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِيۡنَۙ
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul itu.” (QS Yasin : 20)
Kisah bermula ketika dua orang utusan datang kepada suatu kaum. Dalam Surat Yasin ayat 13-14, Allah SWT berfirman:
وَاضۡرِبۡ لَهُمۡ مَّثَلًا اَصۡحٰبَ الۡقَرۡيَةِ ۘ اِذۡ جَآءَهَا الۡمُرۡسَلُوۡنَۚ
اِذۡ اَرۡسَلۡنَاۤ اِلَيۡهِمُ اثۡنَيۡنِ فَكَذَّبُوۡهُمَا فَعَزَّزۡنَا بِثَالِثٍ فَقَالُـوۡۤا اِنَّاۤ اِلَيۡكُمۡ مُّرۡسَلُوۡنَ
Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepadanya; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang lalu mereka mendustakan keduanya; maka Kami kuatkan dengan yang ketiga, lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami kepada kamu adalah utusan-utusan.”
Melalui ayat ini, Allah SWT memberikan perumpamaan yang kondisinya mirip dengan kaum kafir Makkah kala itu. Bahwa pernah ada kaum seperti penduduk Makkah yang mengingkari Rasulullah SAW pada masa sebelum-sebelumnya.
Kaum-kaum yang dimaksud sudah didatangkan beberapa utusan secara bergantian, namun mereka tetap ingkar. Adapun kaum kafir yang ada pada Rasulullah SAW , mereka adalah kaum yang sudah berabad-abad lamanya mendengar satu persatu utusan datang pada satu kaum di negeri-negeri sekitar mereka.
Sedang terakhir, Allah SWT mengutus langsung makhluk yang paling mulia di jagad penciptaan sebagai rasul-Nya untuk menyampaikan kebenaran. Maka ayat di atas mengandung pesan yang relevan bagi masyarakat Arab kala itu.
Terkait utusan-utusan yang dimaksud dalam ayat tersebut, beberapa mufasir ada yang berpendapat bahwa mereka adalah beberapa orang rasul Allah yang tidak sebutkan namanya. Sedang sebagian pendapat lainnya mengatakan bahwa mereka adalah murid-murid atau utusan Nabi Isa AS .
Prof Dr M Quraish Shihab , dalam Tafsir Al Misbah agaknya lebih condong pada pendapat kedua. Namun, beliau menilai, bahwa bukan itu substansi dari ayat di atas. Akan tetapi dari ayat tersebut Allah SWT ingin menyampaikan bahwa tidak ada paksaan bagi siapapun untuk mengikuti seruan yang telah diberikan.
Dalam ayat tersebut jelas terlihat, bahwa upaya pada pendakwah, hanya sebatas menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling baik. Bahkan dalam ayat tersebut Allah menunjukkan bahwa ketika satu utusan ditolak, maka datang utusan selanjutnya, sebagai penguat, sampai kebenaran tersebut terang benderang dan terlihat nyata disaksikan oleh diri mereka.
Namun setelah kuat bukti kebenaran tersebut, maka tugas para penyampai risalah selesai. Semuanya dikembalikan kepada Allah SWT. Dan para utusan tersebut tidak diperintah untuk memaksakan apalagi memerangi orang-orang yang ingkar tersebut.
Menurut Quraish Shihab, kata ‘azzazna terambil dari kata ‘azza dan ya’azzu yang berarti menguatkan dan mengukuhkan. Ayat ini merupakan salah satu bukti bagi ketetapan Allah menyangkut kebebasan beragama.
Anda baca, kendati Allah telah mengukuhkan rasul-rasul guna meyakinkan masyarakat tentang kebenaran mereka, namun Allah tidak memaksa mereka untuk percaya. Memang tugas para penganjur kebaikan, hanya penyampaian, bukan pemaksaan, karena Tuhan hanya menerima keimanan yang tulus,.. sehingga setiap orang dipersilakan memilih jalan yang dikehendakinya.
Dalam Surat Yasin 15-17, selanjutnya Al Quran mengisahkan:
قَالُوۡا مَاۤ اَنۡـتُمۡ اِلَّا بَشَرٌ مِّثۡلُـنَا ۙ وَمَاۤ اَنۡزَلَ الرَّحۡمٰنُ مِنۡ شَىۡءٍۙ اِنۡ اَنۡـتُمۡ اِلَّا تَكۡذِبُوۡنَ
قَالُوۡا رَبُّنَا يَعۡلَمُ اِنَّاۤ اِلَيۡكُمۡ لَمُرۡسَلُوۡنَ
وَمَا عَلَيۡنَاۤ اِلَّا الۡبَلٰغُ الۡمُبِيۡنُ
Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan ar-Rahman tidak menurunkan sesuatu pun; tidak lain kamu hanyalah berdusta.”
Mereka berkata: “Tuhan kami mengetahui bahwa kami adalah utusan-utusan kepada kamu dan tugas kami tidak lain kecuali penyampaian dengan jelas.” (QS Yasin: 15-17)
Terkait dengan tafsir atas ayat tersebutt, khususnya menyangkut penyebutan ar-Rahman oleh orang-orang kafir tersebut, M. Quraish Shihab mengutip pendapat Allamah Thabathaba’i sebagai berikut:
“Bahwa penyebutan kata ar-Rahman untuk menunjuk Tuhan, karena memang para penyembah berhala mengakui Tuhan, dan sifat-sifatnya yang indah seperti penciptaan, kekuasaan dan rahmat.
Hanya saja mereka berbeda dalam penafsiran maknanya. Di samping itu mereka juga percaya bahwa Tuhan telah melimpahkan wewenang pengelolaan dan pengaturan kepada makhluk-makhluk-Nya yang dekat kepada-Nya, seperti para malaikat dan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah.
Tuhan yang mereka namai ar-Rahman di sini adalah Tuhan dari segala tuhan. Bisa jadi juga — tulis Thabathaba’i lebih jauh — bukan kata ar-Rahman yang mereka ucapkan. Penyebutan kata itu di sini oleh al-Qur’an bertujuan menggambarkan betapa besar rahmat dan santunan Allah kepada mereka menghadapi pengingkaran mereka terhadap kebenaran yang demikian jelas.”
Dalam kisah ini, para rasul tersebut tidak mengajukan argumentasi atau bukti indrawi berupa mukjizat yang dapat meyakinkan masyarakat tersebut tentang bukti kerasulan mereka.
Hal ini mirip dengan yang dilakukan olah Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah mengajukan sebuah mukjizat seperti nabi-nabi terdahulu untuk meyakinkan kaumnya.
Quraish Shihab mengatakan bahwa “Hal ini – atau kali ini – agaknya karena mereka bertujuan untuk menyatakan bahwa sebenarnya kami tidak membutuhkan keimanan kalian, tidak juga upah atau imbalan dari kalian. Yang penting bagi kami adalah penyampaian tuntunan Allah, dan cukuplah bagi kami bahwa Dia telah mengetahui bahwa kami adalah rasul-rasul yang telah melaksanakan tugasnya.” (Bersambung)
(mhy)