As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi

Selasa, 02 November 2021 - 14:53 WIB
loading...
As-Samhah (1): Jangan...
Imam Shamsi Ali, Direktur/Imam Jamaica Muslim Center (kanan). Foto/Ist
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

Karakter dasar Umat ini adalah wasathiyah atau umat yang berkarakter pertengan (Middle Path Ummah). Kesimpulan ini diambil dari deskripsi Allah tentang Umat ini dalam kalam-Nya Surah Al-Baqarah ayat 143:

"Dan demikian Kami (Allah) jadikan kalian sebagai umat pertengahan untuk menjadi saksi bagi manusia".

Kata wasathiyah sendiri memiliki banyak arti dan defenisi. Sebagian menterjemahkannya dengan imbang. Sebagian pula mengartikannya dengan pertengahan. Dengan demikian "ummatan wasathan" dapat dipahami di antaranya sebagai umat yang menjaga keseimbangan dan umat yang konsisten di atas jalan tengah (tidak ekstrem).

Jika kita mencoba merenungi makna dari pertengahan atau "jalan tengah" maka akan timbul satu kata baru yang sesuai dengan karakter itu. Itulah kata toleransi yang di dalam bahasa Arab dikenal dengan kata "as-samhah". Sehingga dengan sendirinya toleransi sejatinya menjadi karakter dasar dari ummatan wasathan itu.

Toleransi itu Konsekuensi dari Perbedaan
Ada kekeliruan dalam memahami makna toleransi, khususnya toleransi antarumat beragama. Seolah toleransi itu dimaknai sebagai penyamaan atau memandang semua hal, termasuk semua agama sama. Pandangan seperti ini biasa dipahami sebagai pahaman pluralisme. Yang sesungguhnya juga tidak sesuai bahkan paradoks.

Ada dua kesalahan mendasar dari pemaknaan toleransi dan pluralisme dengan “penyamaan” semua hal (termasuk agama).

Pertama, toleransi itu hadir sebagai konsekuensi adanya keragaman (perbedaan). Jika perbedaan sudah tidak ada maka dengan sendirinya toleransi tidak lagi diperlukan. Maka memahami toleransi dengan “penyamaan” itu sebuah pemahaman paradoks.

Kedua, pluralisme adalah paham yang seharusnya mengakui adanya pluralitas (keragaman). Dan karenanya memahami pluralisme dengan "penyamaan" juga sebuah pemahaman yang paradoks.

Dengan demikian toleransi dan pluralisme tidak dipahami sebagai penyamaan semua agama-agama. Sebaliknya baik toleransi maupun paham pluralisme dipahami sebagai pengakuan adanya keragaman. Dan karena keragaman itulah kedua hal itu; sikap toleran dan paham pluralistik eksis dan diperlukan.

Bagaimana Harusnya Toleransi Dipahami?
Toleransi dipahami sebagai sebuah sikap bahkan prilaku yang tidak saja menyadari eksistensi perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia, termasuk perbedaan dalam beragama dan keyakinan. Tapi justeru memberi ruang kepada perbedaan itu untuk memiliki ruang (hak) yang sama.

Kata menyadari adanya perbedaan ini menjadi esensial karena secara prinsip Islam memang mengajarkan demikain. "Kalau sekiranya Allah berkehendak maka Dia jadikan kalian semua jadi satu umat (termasuk satu agama)."

Dan karenanya keyakinan tentang keragaman ini dalam pandangan Islam bukan sekedar nilai sosial. Tapi sebuah nilai agama (iman) yang meyakini kehendak (Takdir) Allah.

Selanjutnya kata memberi ruang yang sama juga menjadi bagian esensial dari ajaran agama. Bahwa adanya perbedaan mendasar dalam keyakinan dan praktek beragama masing-masing pemeluk agama tidak menjadikan Islam menutup mata kepada eksistensi dan hak dari pemeluk agama lain.

Karena itu, Surah Al-Kafirun dalam Al-Qur'an menyimpulkan makna toleransi sesungguhnya. Kesimpulan itu minimal ada pada tiga poin penting:

Pertama, bahwa keyakinan dan penyembahan itu bersifat pilihan hati masing-masing orang (personal). Dan karenanya tidak benar dan tidak bisa dibenarkan untuk menyamakan keyakinan dan penyembahan. "Laa a'budu maa ta'buduun" sebuah ungkapan yang tegas.

Kedua, sedemikian tegasnya Al-Qur'an dalam hal akidah dan penyembahan sehingga diulang-ulang dalam bentuk/tatanan kalimat yang berbeda. "Laa a’budi maa ta’buduun" menjadi "wa laa antum ‘aabiduuna maa a’budu". Lalu diulang lagi "wa laa ana aabidun maa abadtum". Dan akhirnya diulang bentuk kedua tadi sebagai penegasan dan peringatan.

Ketiga, walau sedemikian tegasnya akidah dan konsep ubudiyah dalam Islam, namun pada saat yang sama mengakui eksistensi agama. Bahkan lebih dari itu memberikan ruang yang sama dalam keyakinan dan peribadatan. Kalimat "Wa laa antum 'aabiduuna" itu sebuah ekspresi tegas tentang kebebasan beribadah dalam Islam. Sementara "lakum diinukum" itu sebuah Konsep tegas dalam kebebasan memilih agama (religious freedom).

Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa toleransi itu adalah menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang yang sama dengan ruang yang kita inginkan untuk kita sendiri. Tapi toleransi tidak akan pernah dipahami sebagai pembenaran (membenarkan) agama lain dan penyamaan (menyamakan) semua agama.

Pada tataran ini saja sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa Islam itu adalah agama toleran. Agama yang diyakini sebagai kebenaran bagi pemeluknya. Tapi pada saat yang saya menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang (kebebasan) kepada pemeluk agama lain untuk eksis dan melaksanakan agamanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1731 seconds (0.1#10.140)