Surat Yasin Ayat 15-17: Dialog Utusan dengan Kaum Antokiah

Jum'at, 19 November 2021 - 16:09 WIB
loading...
Surat Yasin Ayat 15-17: Dialog Utusan dengan Kaum Antokiah
Surat Yasin ayat 15-17 menceritakan bagaimana dialog antara para utusan dengan penduduk Antokiah. (Foto/Ilustrasi : Dok. SINDOnews)
A A A
Surat Yasin ayat 15 -17 menceritakan bagaimana dialog antara para utusan dengan penduduk Antokiah. Kaum ini menolak kehadiran para utusan dengan dalih utusan itu juga manusia biasa: makan dengan makanan yang sama dan berperilaku laiknya manusia.



Allah SWT berfirman:

قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ () قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ
() لَمُرْسَلُونَ () وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ


Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”.

Mereka berkata: “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu”.
Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”. ( QS Yasin : 15-17 )

Berdasarkan narasi ayat ini, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menerangkan pola pikir penduduk Antokiah ini mirip dengan pola pikir kaum-kaum terdahulu yang mengingkari dakwah rasul mereka.

Ini misalnya tercermin dari ungkapan serupa dalam Al-Qur'an Surat At-Taghabun ayat 6 dan Surat Ibrahim ayat 10. "Mereka merasa sombong dan enggan tunduk kepada kebenaran serta hanya menilai seseorang dari segi lahiriyahnya saja, padahal esensi seseorang itu ada pada hatinya," tulisnya.

Laman Tafsir Al-Qur'an menjelaskan bahwa predikat nabi dan rasul atau utusan Allah SWT merupakan murni anugerah yang tiada campur tangan manusia di dalamnya. Ketika Allah SWT memuliakan seorang hamba, maka sungguh ia akan menjadi mulia, meski seluruh manusia merendahkan dan menghinanya.

Penyebutan kata ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) oleh penduduk Antokiah menunjukkan kepercayaan mereka pada adanya Allah SWT. Akan tetapi mereka mengingkari risalah dan kerasulan serta lebih memilih menyekutukan Allah Swt dengan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai wasilah.

At-Tabataba’i dalam Kitab Tafsirnya Al Mizan fi Tafsir Al Qur'an berpendapat diksi ini bisa juga berasal dari Allah, bukan ucapan asli penduduk Antokiah. Menunjukkan bagaimana kasih dan murahnya Allah SWT kepada penduduk Antokiah dengan masih memberi mereka nikmat hidup dan lain sebagainya, meskipun mereka mendustakan kebenaran.



Selanjutnya para utusan itu menjawab tuduhan tersebut dengan meyakinkan kaum Antokiah bahwa mereka benar-benar utusan dari Allah SWT dan bahwa tugas mereka hanyalah menyampaikan peringatan.

Pola ungkapan mereka pada ayat ke-16 itu menurut Ibn Asyur merupakan salah satu bentuk sumpah dalam tradisi Arab terdahulu.

Bila diperhatikan, kalimat inna ilaikum lamursalun di ayat ke-16 mirip dengan potongan ayat ke-14 yang berbunyi inna ilaikum mursalun. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah huruf taukid (penguat).

Pada ayat ke-14 hanya ada satu taukid yaitu inna, sementara pada ayat ke-16 selain inna juga ditambahkan lam taukid. Ini menurut az-Zuhaili bertujuan memberikan penekanan lebih pada ungkapan, sebab munculnya penolakan dan penyangkalan dari lawan bicara, yaitu kaum Antokiah.

Az-Zuhaili juga menilai ungkapan ini mengandung pesan tawakal. Seakan-akan mereka mengatakan, “Allah SWT mengetahui kami sebagai utusannya. Andaikan kami berbohong dengan mengatasnamakannya, maka Ia akan mengazab kami dengan pedih.



Sebaliknya, andaikan kami jujur, maka pasti Allah SWT akan menolong dan memenangkan kami atas kalian. Dan kelak kalian akan tahu siapa yang akan memperoleh kesudahan yang baik.”

Terkait ayat terakhir, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menafsirkan para utusan itu seakan-akan menyatakan bahwa mereka tidak memerlukan keimanan, upah dan imbalan dari kaumnya.

Mereka sudah merasa cukup ketika risalah dari Allah SWT telah disampaikan dan Allah SWT telah mengetahui bahwa mereka telah menunaikan tugasnya.

Adapun ‘penyampaian yang jelas’ dalam ayat ke-17 menurut Nawawi al-Bantani adalah bahwa utusan itu menyampaikan risalah dengan cara yang sangat jelas, dengan bahasa yang mudah dipahami kaumnya dan disertai mukjizat sebagai penguat.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3101 seconds (0.1#10.140)