Kisah Turki Bin Abdullah Membangun Dinasti Saudi dari Puing-Puing
loading...
A
A
A
Turki bin Abdullah adalah pendiri Dinasti Saud II. Ia memulai kekuasaannya dari puing-puing setelah pada tahun 1818 dihancurkan oleh pasukan Mesir yang dipimpin oleh Ibrahim Pasha. Dinasti Saud II berdiri pada tahun 1824.
Bila Dinasti Saud I dibangun dan dipimpin oleh putra Muhammad ibn Saud dari anak yang bernama Abdul Aziz, kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Saud bin Abdul Aziz, dan berakhir pada masa Abdullah bin Saud yang dieksekusi di Ottoman.
Sedangkan Dinasti Saud II, mengambil jalur trah dari putra Muhammad ibn Saud yang lain, bernama Abdullah. Dan Turki adalah putra Abdullah. Turki bin Abdullah lahir pada 1755.
Kisah ini dimulai ketika Turki bin Abdullah berhasil menaklukkan Riyadh pada 1824, bekas ibu kota Dinasti Saud I dari tentara Mesir. Ia kemudian menjadikan Riyadh sebagai ibu kota kerajaannya.
Secara strategis, keputusan Turki untuk memulai pembangunan dinastinya dari tempat ini memang keputusan yang tepat, mengingat pertama, tempat ini adalah tempat dimulainya cita-cita besar kakeknya dengan Muḥammad ibn’Abd al-Wahhāb.
Kedua, tempat ini adalah ditempat tanah kelahirannya dan nenek moyangnya. Sehingga ketiga, di tempat ini basis dukungan tradisional ajaran Wahabi masih banyak tersisa, dan akan mudah diraih untuk memulai sebuah imperium.
Turki bin Abdullah sangat memahami posisi politiknya yang masih lemah di kawasan. Di barat, terdapat Mesir yang demikian cepat berkembang menjadi kekuatan besar di bahwa pimpinan Muhammad Ali Pasha.
Kekuatannya bahkan sudah bisa menantang Sultan Utsmaniyah pada masa itu.
Menilai konstalasi ini, Turki bin Abdullah memutuskan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan gubernur Utsmaniyah di Irak.
Hubungan yang baik ini menjadikannya memperoleh kedaulatan nominal darinya untuk menguasai Riyadh dan sekitarnya.
Dengan modal ini, ia kemudian menaklukan Al-Hasa, tempat yang pertama menentang dakwah kakeknya Muhammad Ibn Wahab, sehingga terusir dari kota kelahirannya.
Setelah menguasai tempat ini, Turki bin Abdullah mulai membangun satuan ketentaraan yang lebih besar, sehingga ia mampu menaklukkan suku-suku nomaden lainnya di sekitar wilayah kekuasaannya.
Eamonn Gearon dalam bukunya berjudul Turning Points in Middle Eastern History menyebutkan pada dekade yang sama, antara 1820-1830, perebutan pengaruh antara Mesir dengan Ottoman semakin memuncak.
Di tengah pertarungan para gajah ini, Turki bin Abdullah mengerti cara memosisikan diri. Dengan pelan tapi pasti Turki membangun dasar-dasar imperiumnya.
Meski tidak seagresif para pendahulunya, namun Turki tetap diilhami oleh nilai dasar perjuangan penduhulunya, untuk membersihkan ajaran agama Islam dari penyimpangan dan kekufuran.
Dengan nilai dasar ini, Turki bin Abdullah berhasil mengikat kembali ideologi perjuangan klan Saud II yang sempat pudar bersama hancurnya dinasti Saud I.
Sastra, perdagangan dan pertanian berkembang pada masa pemerintahannya, meski sempat ada beberapa kerugian akibat wabah kolera.
Imam Bukan Raja
Buya Hamka dalam bukunya berjudul "Antara Fakta dan Khayal Tuanku Roe" mengutip kitab Qalbu Jaziratil Arab (Jantung Jazirat Arab) karya Syaikh Fuad Hamzah menulis tentang periode pemerintahan Raja-raja Saudi mulai berdirinya.
Menurut Buya Hamka, Turki bin Abdullah memulai gerakan baru setelah keluar dari tempat persembunyian di Padang Pasir (bukan Hadramaut). "Setelah siap diserangnyalah dengan tiba-tiba tentara Mesir yang menduduki negerinya dalam perkemahan, di atas runtuhan kota Dar'iyah," tulisnya.
Turki bin Abdullah dan pasukannya menyerang pada malam hari pada saat tentara Mesir sedang tidur. Kala itu, tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri kecuali komandannya bernama Khalid Pasha dengan dua-tiga orang pengiring yang dapat. Mereka lari ke Qusaim.
Dengan cepat Imam Turki bin Abdullah membangun kembali kerajaannya. Ditaklukkannya kembali negeri-negeri Nejd sekeliling dan didudukinya Riyadh.
Tak ada penduduk yang tidak suka atas kehadiran Turki bin Abdullah dan pasukannya. Selanjutnya Riyadh dijadikan pusat kekuasaannya, sebagai ganti dari Dar'iyah yang telah hancur.
Mendengar munculnya Turki bin Abdullah ini Penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, merasa cemas akan bangkitnya kembali Wahabi. Ia lalu memerintahkan tentara Mesir yang berpangkalan di Madinah untuk menyerbu Riyadh, di bawah Komando Husain Pasha.
Ketika sampai berita itu kepada Turki bin Abdullah bahwa tentara Mesir bergerak menuju negerinya, beliau memimpin tentaranya meninggalkan Riyadh dan masuk ke dalam Padang Pasir Yamamah, yang terkenal luas. Hanya orang-orang Badwi yang tahu rahasia padang pasir itu.
Sesampai di Riyadh, Husain Pasha mencari penunjuk jalan. Sedang kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat. Setelah beberapa lama berusaha mencari, dapatlah seorang Badwi yang sudi jadi penunjuk jalan. Mereka dibawa mengarungi Padang Pasir Yamamah, yang luas tak bertepi.
Menurut Buya Hamka, pasukan Mesir kala itu hanya berpedoman pada petunjuk jalan Badwi itu saja. Tiba-tiba setelah berjalan berhari-hari, pada satu perhentian, Badwi itu hilang! Ke mana pun dicari tidak ditemui. Bahkan yang mencari bisa tewas kepanasan. Akhirnya dengan susah payah tentara itu kembali ke Riyadh, sesudah banyak yang mati kepanasan dan karena terlalu penat.
Dari Riyadh, sisa tentara itu kembali lagi ke Madinah dengan tidak membawa hasil apa-apa. Sejak itu Turki bin Abdullah menyusun negerinya kembali dan memerintah dengan tenang.
Turki bin Abdullah lebih dianggap Imam, seperti nenek-moyangnya, daripada dianggap raja. "Baik pemerintah Mesir atau pun Pemerintah Turki tidak mau lagi menumpahkan kekuatan buat mencari musuhnya yang hilang di padang pasir," tulis Buya Hamka.
Sayang, pada tahun 1246 H/1830 M, Imam Turki bin Abdullah wafat ditikam oleh musuhnya dan saudara sepupunya Musyari bin Abdurrahman bin Musyari bin Saud (yang mati dalam tawanan Mesir) karena perebutan kekuasaan.
Bila Dinasti Saud I dibangun dan dipimpin oleh putra Muhammad ibn Saud dari anak yang bernama Abdul Aziz, kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Saud bin Abdul Aziz, dan berakhir pada masa Abdullah bin Saud yang dieksekusi di Ottoman.
Sedangkan Dinasti Saud II, mengambil jalur trah dari putra Muhammad ibn Saud yang lain, bernama Abdullah. Dan Turki adalah putra Abdullah. Turki bin Abdullah lahir pada 1755.
Kisah ini dimulai ketika Turki bin Abdullah berhasil menaklukkan Riyadh pada 1824, bekas ibu kota Dinasti Saud I dari tentara Mesir. Ia kemudian menjadikan Riyadh sebagai ibu kota kerajaannya.
Secara strategis, keputusan Turki untuk memulai pembangunan dinastinya dari tempat ini memang keputusan yang tepat, mengingat pertama, tempat ini adalah tempat dimulainya cita-cita besar kakeknya dengan Muḥammad ibn’Abd al-Wahhāb.
Kedua, tempat ini adalah ditempat tanah kelahirannya dan nenek moyangnya. Sehingga ketiga, di tempat ini basis dukungan tradisional ajaran Wahabi masih banyak tersisa, dan akan mudah diraih untuk memulai sebuah imperium.
Turki bin Abdullah sangat memahami posisi politiknya yang masih lemah di kawasan. Di barat, terdapat Mesir yang demikian cepat berkembang menjadi kekuatan besar di bahwa pimpinan Muhammad Ali Pasha.
Kekuatannya bahkan sudah bisa menantang Sultan Utsmaniyah pada masa itu.
Menilai konstalasi ini, Turki bin Abdullah memutuskan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan gubernur Utsmaniyah di Irak.
Hubungan yang baik ini menjadikannya memperoleh kedaulatan nominal darinya untuk menguasai Riyadh dan sekitarnya.
Dengan modal ini, ia kemudian menaklukan Al-Hasa, tempat yang pertama menentang dakwah kakeknya Muhammad Ibn Wahab, sehingga terusir dari kota kelahirannya.
Setelah menguasai tempat ini, Turki bin Abdullah mulai membangun satuan ketentaraan yang lebih besar, sehingga ia mampu menaklukkan suku-suku nomaden lainnya di sekitar wilayah kekuasaannya.
Eamonn Gearon dalam bukunya berjudul Turning Points in Middle Eastern History menyebutkan pada dekade yang sama, antara 1820-1830, perebutan pengaruh antara Mesir dengan Ottoman semakin memuncak.
Di tengah pertarungan para gajah ini, Turki bin Abdullah mengerti cara memosisikan diri. Dengan pelan tapi pasti Turki membangun dasar-dasar imperiumnya.
Meski tidak seagresif para pendahulunya, namun Turki tetap diilhami oleh nilai dasar perjuangan penduhulunya, untuk membersihkan ajaran agama Islam dari penyimpangan dan kekufuran.
Dengan nilai dasar ini, Turki bin Abdullah berhasil mengikat kembali ideologi perjuangan klan Saud II yang sempat pudar bersama hancurnya dinasti Saud I.
Sastra, perdagangan dan pertanian berkembang pada masa pemerintahannya, meski sempat ada beberapa kerugian akibat wabah kolera.
Imam Bukan Raja
Buya Hamka dalam bukunya berjudul "Antara Fakta dan Khayal Tuanku Roe" mengutip kitab Qalbu Jaziratil Arab (Jantung Jazirat Arab) karya Syaikh Fuad Hamzah menulis tentang periode pemerintahan Raja-raja Saudi mulai berdirinya.
Menurut Buya Hamka, Turki bin Abdullah memulai gerakan baru setelah keluar dari tempat persembunyian di Padang Pasir (bukan Hadramaut). "Setelah siap diserangnyalah dengan tiba-tiba tentara Mesir yang menduduki negerinya dalam perkemahan, di atas runtuhan kota Dar'iyah," tulisnya.
Turki bin Abdullah dan pasukannya menyerang pada malam hari pada saat tentara Mesir sedang tidur. Kala itu, tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri kecuali komandannya bernama Khalid Pasha dengan dua-tiga orang pengiring yang dapat. Mereka lari ke Qusaim.
Dengan cepat Imam Turki bin Abdullah membangun kembali kerajaannya. Ditaklukkannya kembali negeri-negeri Nejd sekeliling dan didudukinya Riyadh.
Tak ada penduduk yang tidak suka atas kehadiran Turki bin Abdullah dan pasukannya. Selanjutnya Riyadh dijadikan pusat kekuasaannya, sebagai ganti dari Dar'iyah yang telah hancur.
Mendengar munculnya Turki bin Abdullah ini Penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, merasa cemas akan bangkitnya kembali Wahabi. Ia lalu memerintahkan tentara Mesir yang berpangkalan di Madinah untuk menyerbu Riyadh, di bawah Komando Husain Pasha.
Ketika sampai berita itu kepada Turki bin Abdullah bahwa tentara Mesir bergerak menuju negerinya, beliau memimpin tentaranya meninggalkan Riyadh dan masuk ke dalam Padang Pasir Yamamah, yang terkenal luas. Hanya orang-orang Badwi yang tahu rahasia padang pasir itu.
Sesampai di Riyadh, Husain Pasha mencari penunjuk jalan. Sedang kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat. Setelah beberapa lama berusaha mencari, dapatlah seorang Badwi yang sudi jadi penunjuk jalan. Mereka dibawa mengarungi Padang Pasir Yamamah, yang luas tak bertepi.
Menurut Buya Hamka, pasukan Mesir kala itu hanya berpedoman pada petunjuk jalan Badwi itu saja. Tiba-tiba setelah berjalan berhari-hari, pada satu perhentian, Badwi itu hilang! Ke mana pun dicari tidak ditemui. Bahkan yang mencari bisa tewas kepanasan. Akhirnya dengan susah payah tentara itu kembali ke Riyadh, sesudah banyak yang mati kepanasan dan karena terlalu penat.
Dari Riyadh, sisa tentara itu kembali lagi ke Madinah dengan tidak membawa hasil apa-apa. Sejak itu Turki bin Abdullah menyusun negerinya kembali dan memerintah dengan tenang.
Turki bin Abdullah lebih dianggap Imam, seperti nenek-moyangnya, daripada dianggap raja. "Baik pemerintah Mesir atau pun Pemerintah Turki tidak mau lagi menumpahkan kekuatan buat mencari musuhnya yang hilang di padang pasir," tulis Buya Hamka.
Sayang, pada tahun 1246 H/1830 M, Imam Turki bin Abdullah wafat ditikam oleh musuhnya dan saudara sepupunya Musyari bin Abdurrahman bin Musyari bin Saud (yang mati dalam tawanan Mesir) karena perebutan kekuasaan.
(mhy)