Ini Orang Munafik yang Menurut Gus Baha Tetap Bisa Masuk Surga
loading...
A
A
A
KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha mengatakan bahwa menjadi kiai kondang amatlah sulit bisa steril dari orang munafik dan kaum pecundang. Di sisi lain, ia mengatakan, "Orang munafik itu bisa tobat dan ada hukumnya."
Munafik itu, kata Gus Baha, ada beberapa tingkatan. Ada levelnya. Level paling ekstrim, yaitu fi nar. Itu yang tidak beriman kepada Allah dan rasul. Jadi pura-pura iman, tapi hakikatnya tidak iman.
Di dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa orang munafik seperti ini akan ditempatkan di tingkat paling rendah di neraka. Sebagaimana dinyatakan dalam surat at-Taubah ayat ke-67: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu mereka adalah orang-orang yang fasik."
Kemudian dalam surat an-Nisaa ayat ke-145 dinyatakan:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka."
Namun, menurut Gus Baha, ada munafik yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Mereka percaya bahwa kiai itu orang baik. Hanya saja, mereka seringkali berbohong, sedikit mengakali proposal, misalnya. "Ini tidak termasuk munafik kelas berat. Dan ini nanti tetap bisa masuk surga," ujar Gus Baha dalam sebuah pengajian sebagaimana disiarkan kanal Kalam dalam jaringan YouTube.
Selanjutnya, Gus Baha mengatakan, berbohong itu ada dua macam. Pertama, berbohong yang merugikan, atau benar-benar berbohong. Kedua, bohong tapi ada juga yang tidak serius. "Nah, yang kedua ini juga tetap masuk surga. Nabi Muhammad SAW juga sering dibohongi para sahabat," katanya, lalu ia memberi contoh kekonyolan sahabat Nabi SAW, Nu'aiman yang suka mabuk dan sering 'ngerjai' Nabi.
Bagi muslim, si munafik dipandang berbahaya, baik itu bagi agama, dan masyarakat. Inti kemunafikan adalah menampakkan kebaikan di depan orang lain, namun menyembunyikan kejahatan dalam dirinya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, kemunafikan adalah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan.
Selanjutnya, sebagaimana yang dibilang Gus Baha, para ulama menyebutkan, bentuk dan tingkatan kemunafikan beraneka ragam, tergantung dari apa yang disembunyikan. Jika yang disembunyikan adalah kekufuran, apapun bentuknya, menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sebaliknya, jika yang disembunyikan bukan perbuatan kekufuran, tidak penyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Munafik Besar dan Kecil
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa mengatakan, kemunafikan ada yang bentuknya munafik besar, yaitu menyembunyikan kekufuran, dan ada munafik kecil, ketika berbeda antara isi hati dengan amal perbuatan dalam masalah kewajiban.
Inilah yang banyak dijelaskan ulama. Dan mereka menafsirkan sabda Nabi SAW, “Tanda munafik ada 3: apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia khianat.” Hadis ini, menurut Ibnu Taimiyyah, ditafsirkan dengan munafik kecil.
Selanjutnya Ibn Katsir mengatakan, "Dan kemunafikan bermacam-macam: [1] kemunafikan keyakinan, itulah kemunafikan yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka, [2] kemunafikan amal, dan itu termasuk dosa besar.
Dalam kitab Jami’ al-Ulm wa al-Hikam, al-Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan, kemunafikan secara bahasa bagian dari penipuan, makar, menampakkan kebaikan, dan menyembunyikan kebalikannya. Dan kemunafikan dalam syariat dibagi menjadi dua,
Pertama, munafik besar. Seseorang menampakkan iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan hari akhir. Dan dia menyembunyikan kebalikan itu semua atau sebagiannya. Itulah kemunafikan yang ada di zaman Nabi SAW, dan turun beberapa ayat Al-Qur’an yang mencela pelakunya dan mengkafirkan mereka, serta mengabarkan bahwa pelakunya berada di kerak neraka.
Kedua, kemunafikan kecil. Itulah nifak amal, yaitu seseorang menampakkan kebaikan di muka umum, namun bertentangan dengan apa yang ada di hatinya. Dan karakter munafik kecil disebutkan dalam beberapa hadits.
Kemudian al-Hafidz Ibn Rajab menyebutkan beberapa dalil bahwa orang yang melanggar salah satu sifat munafik, tidak dihukumi kafir. Di antaranya, hadis dari Abdullah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW pernah berkunjung ke rumahnya ketika dia masih kecil. Pada saat dia hendak pergi main, tiba-tiba ibunya memanggil, “Abdullah sini, tak kasih.”
Munafik itu, kata Gus Baha, ada beberapa tingkatan. Ada levelnya. Level paling ekstrim, yaitu fi nar. Itu yang tidak beriman kepada Allah dan rasul. Jadi pura-pura iman, tapi hakikatnya tidak iman.
Di dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa orang munafik seperti ini akan ditempatkan di tingkat paling rendah di neraka. Sebagaimana dinyatakan dalam surat at-Taubah ayat ke-67: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu mereka adalah orang-orang yang fasik."
Kemudian dalam surat an-Nisaa ayat ke-145 dinyatakan:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka."
Namun, menurut Gus Baha, ada munafik yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Mereka percaya bahwa kiai itu orang baik. Hanya saja, mereka seringkali berbohong, sedikit mengakali proposal, misalnya. "Ini tidak termasuk munafik kelas berat. Dan ini nanti tetap bisa masuk surga," ujar Gus Baha dalam sebuah pengajian sebagaimana disiarkan kanal Kalam dalam jaringan YouTube.
Selanjutnya, Gus Baha mengatakan, berbohong itu ada dua macam. Pertama, berbohong yang merugikan, atau benar-benar berbohong. Kedua, bohong tapi ada juga yang tidak serius. "Nah, yang kedua ini juga tetap masuk surga. Nabi Muhammad SAW juga sering dibohongi para sahabat," katanya, lalu ia memberi contoh kekonyolan sahabat Nabi SAW, Nu'aiman yang suka mabuk dan sering 'ngerjai' Nabi.
Bagi muslim, si munafik dipandang berbahaya, baik itu bagi agama, dan masyarakat. Inti kemunafikan adalah menampakkan kebaikan di depan orang lain, namun menyembunyikan kejahatan dalam dirinya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, kemunafikan adalah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan.
Selanjutnya, sebagaimana yang dibilang Gus Baha, para ulama menyebutkan, bentuk dan tingkatan kemunafikan beraneka ragam, tergantung dari apa yang disembunyikan. Jika yang disembunyikan adalah kekufuran, apapun bentuknya, menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sebaliknya, jika yang disembunyikan bukan perbuatan kekufuran, tidak penyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Munafik Besar dan Kecil
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa mengatakan, kemunafikan ada yang bentuknya munafik besar, yaitu menyembunyikan kekufuran, dan ada munafik kecil, ketika berbeda antara isi hati dengan amal perbuatan dalam masalah kewajiban.
Inilah yang banyak dijelaskan ulama. Dan mereka menafsirkan sabda Nabi SAW, “Tanda munafik ada 3: apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia khianat.” Hadis ini, menurut Ibnu Taimiyyah, ditafsirkan dengan munafik kecil.
Selanjutnya Ibn Katsir mengatakan, "Dan kemunafikan bermacam-macam: [1] kemunafikan keyakinan, itulah kemunafikan yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka, [2] kemunafikan amal, dan itu termasuk dosa besar.
Dalam kitab Jami’ al-Ulm wa al-Hikam, al-Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan, kemunafikan secara bahasa bagian dari penipuan, makar, menampakkan kebaikan, dan menyembunyikan kebalikannya. Dan kemunafikan dalam syariat dibagi menjadi dua,
Pertama, munafik besar. Seseorang menampakkan iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan hari akhir. Dan dia menyembunyikan kebalikan itu semua atau sebagiannya. Itulah kemunafikan yang ada di zaman Nabi SAW, dan turun beberapa ayat Al-Qur’an yang mencela pelakunya dan mengkafirkan mereka, serta mengabarkan bahwa pelakunya berada di kerak neraka.
Kedua, kemunafikan kecil. Itulah nifak amal, yaitu seseorang menampakkan kebaikan di muka umum, namun bertentangan dengan apa yang ada di hatinya. Dan karakter munafik kecil disebutkan dalam beberapa hadits.
Kemudian al-Hafidz Ibn Rajab menyebutkan beberapa dalil bahwa orang yang melanggar salah satu sifat munafik, tidak dihukumi kafir. Di antaranya, hadis dari Abdullah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW pernah berkunjung ke rumahnya ketika dia masih kecil. Pada saat dia hendak pergi main, tiba-tiba ibunya memanggil, “Abdullah sini, tak kasih.”