Mengulik Siapa Sejatinya Syekh Siti Jenar yang Dibilang Jelmaan Cacing

Minggu, 23 Januari 2022 - 09:15 WIB
loading...
A A A
Menurutnya, pencitraan dan stigma itu tergantung sepenuhnya pada sumber-sumber historiografi yang mencacat tentangnya. Untuk itulah, dia menulis tentang Syekh Siti Jenar dengan menggunakan pendekatan verstehen dengan metode kualitatif kepada para guru Tarekat Akmaliyah, dan sumber-sumber historiografi naskah kuno yang lainnya asal Cirebon, seperti Negara Kertabumi, Pustaka RajyaRajya di Bhumi Nusantara, Purwaka Caruban nagari, dan Babad Cirebon.

Menurutnya, di dalamya tidak dijumpai tentang stereotip negatif mengenai Syekh Siti Jenar yang digambarkan berasal dari cacing, dan mayatnya menjadi anjing.

Dengan menggunakan perspektif baru pembacaan terhadap Syekh Siti Jenar dan yang terkait dengan konteks kehidupannya, zamannya, sosial-budaya/kultural, sosial-politik dan seterusnya, ia memberikan sebuah gambaran tentang Syekh Siti Jenar yang manusiawi dan pembaharu keagamaan, serta pro wong cilik yang berbeda dengan kebanyakan buku-buku dan anggapan yang memberikan stigma negatif terhadap Syekh Siti Jenar.

Sidang Para Wali
Syekh Siti Jenar dikenal di tengan masyarat sebagai penyebar ajaran "manunggaling kawula Gusti". Ini tercermin dari kisah ketika Sunan Giri memimpin musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar.

Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan sholat berjamaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syekh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad.

Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat Syekh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu hanya Allah yang ada dalam gua.

Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.



Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, Allah tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar.

Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali.

Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian.

Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara Allah, manusia dan segala ciptaan lainnya.

Prof Hasanu Simon menyatakan pandangan orang Jawa yang beragama Islam terhadap tokoh ini cukup beragam, dari yang menerima sampai yang menolak.

Di satu sisi tokoh Syekh Siti Jenar dapat dianggap positif dalam meningkatkan jumlah pemeluk Islam. Ini karena orang Jawa yang tidak mau menerima agama Islam secara murni seperti yang diajarkan Rasulullah SAW kemudian ajaran itu telah bercampur dengan adat istiadat Arab, dan mereka mau menerima Islam seperti yang diajarkan Syekh Siti Jenar.

Di sisi lain, orang Jawa yang menerima dan meyakini Islam sebagai suatu sistem nilai yang utuh, maka mengamalkan Islam seperti Syekh Siti Jenar mengandung risiko tidak diakui sebagai umat Muhammad oleh Rasulullah SAW sendiri.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2824 seconds (0.1#10.140)