Hukum Menikah dengan Sepupu Dalam Islam
loading...
A
A
A
Hukum menikah dengan sepupu di dalam Islam diperbolehkan, karena tidak terdapat larangan di Al-Qur'an maupun As-sunnah al-Maqbullah. Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Syamsul Hidayat menjelaskan, tidak ditemukan nash-nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang sahih yang melarang pernikahan antar saudara sepupu.
Memang ada perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki (mahram) atau sebaliknya. Hal tersebut di dalam Al-Qur'an dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 3, 22, 23, dan 24, QS. Al-Baqarah ayat 228, 230, 234, dan 235, dan QS. An-Nur ayat 3.
"Dalam surat An-Nisa ayat 22-24, bisa dijadikan rujukan atau lebih relevan tentang pernikahan dengan sepupu ini,"ungkap dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, dalam salah satu kajian onlinenya, yang dilansir muhammadiyah.or.id.
Menurut Syamsul, jika hubungan mahram yang disebutkan pada ayat-ayat di atas disusun secara sistematis, maka hubungan mahram itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mahram yang termasuk tahrim mu’abbad dan mahram yang termasuk tahrim muaqqat.
Tahrim mu’abbad ialah halangan perkawinan untuk selamanya karena adanya hubungan keturunan (lin-nasab) seperti menikahi orang tua kandung sendiri, karena susuan (lir-radha’ah) seperti menikahi saudara sepersusuan, dan karena perkawinan (lil-mushaharah) seperti menikahi janda dari anak kandung sendiri atau menikahi anak tiri dari istri yang telah dicampuri.
Sedang tahrim muaqqat ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu-waktu tertentu saja. Bila keadaan yang menghalangi pernikahan antara keduanya hilang, pada saat itu mereka boleh melakukan pernikahan, misalnya, harus menunggu perempuan-perempuan yang masih dalam masa iddah, jika iddah-nya telah selesai, maka boleh untuk dinikahi.
“Seperti seorang laki-laki dengan istri orang lain. Selama perempuan itu terikat dengan suaminya (tidak bercerai), maka selama itu pula perempuan itu tidak boleh dinikhai oleh laki-laki lain. Jika mereka telah bercerai dan habis iddah-nya, perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain,” tuturnya.
Wallahu A'lam
Memang ada perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki (mahram) atau sebaliknya. Hal tersebut di dalam Al-Qur'an dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 3, 22, 23, dan 24, QS. Al-Baqarah ayat 228, 230, 234, dan 235, dan QS. An-Nur ayat 3.
"Dalam surat An-Nisa ayat 22-24, bisa dijadikan rujukan atau lebih relevan tentang pernikahan dengan sepupu ini,"ungkap dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, dalam salah satu kajian onlinenya, yang dilansir muhammadiyah.or.id.
Menurut Syamsul, jika hubungan mahram yang disebutkan pada ayat-ayat di atas disusun secara sistematis, maka hubungan mahram itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mahram yang termasuk tahrim mu’abbad dan mahram yang termasuk tahrim muaqqat.
Tahrim mu’abbad ialah halangan perkawinan untuk selamanya karena adanya hubungan keturunan (lin-nasab) seperti menikahi orang tua kandung sendiri, karena susuan (lir-radha’ah) seperti menikahi saudara sepersusuan, dan karena perkawinan (lil-mushaharah) seperti menikahi janda dari anak kandung sendiri atau menikahi anak tiri dari istri yang telah dicampuri.
Sedang tahrim muaqqat ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu-waktu tertentu saja. Bila keadaan yang menghalangi pernikahan antara keduanya hilang, pada saat itu mereka boleh melakukan pernikahan, misalnya, harus menunggu perempuan-perempuan yang masih dalam masa iddah, jika iddah-nya telah selesai, maka boleh untuk dinikahi.
“Seperti seorang laki-laki dengan istri orang lain. Selama perempuan itu terikat dengan suaminya (tidak bercerai), maka selama itu pula perempuan itu tidak boleh dinikhai oleh laki-laki lain. Jika mereka telah bercerai dan habis iddah-nya, perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain,” tuturnya.
Wallahu A'lam
(wid)