Interfaith dan Islamophobia
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Tulisan ini adalah intisari dari sebuah ceramah yang pernah saya sampaikan di sebuah forum pertemuan Imam di ICNA Convention beberapa tahun lalu. ICNA atau Islamic Circle of North America adalah satu dari beberapa organisasi Islam Nasional di Amerika. Saat itu saya khusus diminta menyampaikan ceramah dengan tema: "The role of interfaith in combating Islamophobia in US".
Saya tuliskan dalam bahasa Indonesia untuk kemanfaatan luas bagi yang memahaminya. Insya Allah tulisan ini akan bersambung dalam beberapa seri ke depan. Harapan saya semoga tulisan ini memperjelas hal yang belum jelas. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak pernah terlibat tapi cenderung menghakimi.
Pada tulisan ini saya memilih memakai kata "interfaith", bukan dialog antaragama. Walaupun sesungguhnya dua terminologi itu semakna. Hanya saja kata "Dialog" antar agama bisa saja disalahpahami oleh sebagian seolah agama-agama disejajarkan bahkan disamakan.
Lazimnya dialog itu hanya terjadi antara dua hal yang setingkat. Antara dua Jenderal misalnya. Seorang prajurit rendahan tidak bisa berdialog dengan seorang jenderal. Karena prajurit rendahan pastinya hanya menunggu perintah atau instruksi dari sang Jenderal.
Karena interfaith terasa lebih sesuai. Apalagi kata ini juga telah menjadi sebuah terminologi yang pepuler di kalangan praktisi interfaith. Apa Interfaith itu?
Kata interfaith masih sering disalahpahami oleh sebagian orang. Biasanya yang memahami salah tentang interfaith ini adalah orang-orang yang berada di salah satu dari dua kubu ekstrem dalam pemahaman beragama. Ada ekstrim kanan dan ada juga ekstrem kiri.
Ekstrem kanan salah paham karena memang ketidak tahuan semata atau minimal kesalah pahaman yang berujung kepada pengharaman. Alasan yang sering disampaikan adalah karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Seringkali juga interfaith dipahami oleh mereka secara salah sebagai penyamaan atau bahkan penyatuan agama-agama (religious unification). Atau biasa juga dicurigai jika interfaith itu adalah ajang "penggerogotan" iman.
Sebaliknya ekstrem kiri adalah mereka yang memang menjalankan apa yang dituduhkan oleh ekstrem kanan. Interfaith bagi ekstrem kiri adalah "menyamakan atau menyatukan" semua agama-agama (unification of religions). Biasanya pemahaman mereka dibangun di atas asumsi jika semua agama itu sesungguhnya sama, menuju ke satu tujuan yang sama. Yaitu menuju kepada Tuhan yang satu. Yang berbeda hanya cara dan jalan semata. Karenanya dalam pandangan mereka sesungguhnya kebenaran agama itu bersifat relatif dan tidak absolut.
Pandangan ekstrem kiri akhir-akhir ini menguat dengan sebuah konsep penyatuan agama-agama samawi dengan nama agama Ibrahim (Abrahamic Faith). Konsep ini telah mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama dunia, termasuk dari Syeikh Al-Azhar.
Dalam pandangan saya kedua pendapat di atas adalah paham ekstrem dan berbahaya. Ekstrim kanan berada dalam rana keangkuhan beragama, bahkan mengarah kepada karakter takfiri. Yaitu sikap yang dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim yang tidak sependapat.
Sementara ekstrem kiri juga berbahaya karena mereduksi agama-agama ke ruang relatif, yang bisa diubah dan dicelup sesuai kehendak hawa nafsunya. Sehingga agama tidak lagi pada posisi menunjuki atau mengatur. Tapi agama diarahkan dan diatur sesuai kecenderungan hawa nafsu manusia.
Karenanya perlu dipahami jika interfaith bukan bertujuan menggadaikan agama. Bukan pula untuk menyatukan agama-agama. Interfaith juga tidak dimaksudkan minimal pada pemahaman saya sebagai Muslim untuk menggerogoti iman penganut agama masing-masing.
Interfaith hanya akan dipahami secara benar ketika seseorang memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya di satu sisi. Dan juga memiliki pemahaman yang benar tentang realita dunia (lingkungan sekitar) di sisi lain.
Interfaith dan Al-Qur'an
Secara literal kata interfaith (al-hiwaar baena al-asyaan) memang tidak akan pernah ditemukan dalam Al-Quran. Tapi secara makna dan konteks akan ditemukan berbagai ayat-ayat yang mendukung kegiatan interfaith ini.
Jika kita lihat secara dekat dan jeli ayat-ayat Al-Qur'an akan kita dapat ragam ayat yang mengarah kepada pemaknaan kegiatan interfaith dan interaksi antar pemeluk agama yang ragam. Beberapa pemaknaan itu dapat kita lihat seperti berikut.
Pertama, dalam Al-Qur'an komunikasi dan relasi antar manusia tidak terhalangi oleh perbedaan keyakinan atau agama. Bahwa keyakinan agama yang dianut adalah pilihan setiap orang berdasarkan kesadaran (atau di luar alam sadar) masing-masing orang. Oleh karenanya Islam dengan tegas menggariskan: "tiada paksaan dalam agama" (Al-Baqarah). Bahkan ditegaskan "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (Al-Kafirun).
Oleh karena agama adalah pilihan masing-masing manusia, maka manusia sebagai makhluk sosial tidak seharusnya terhalangi untuk membangun relasi dan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi "common interest" (kepentingan bersama dalam kemanusiaan).
Kedua, agama Islam adalah agama yang membuka diri untuk membangun relasi, persahabatan, dan kerjasama dengan siapa saja. Bahkan Allah memerintahkan umat ini untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja, selama relasi, persahabatan dan kerjasama itu tidak merendahkan dan merugikan. Allah menegaskan dalam Al-Qurab: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusir kamu dari negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil" (Al-Mumtahanah: 8).
Ketiga, dalam agama Islam ruh kebajikan (al-Ihsan) tidak terbatasi oleh batas-batas keyakinan. Tapi menyeluruh untuk seluruh manusia dan makhluk lainnya. Ayat-ayat kebaikan (ihsan) misalnya dimaksudkan sebagai kebaikan universal: "Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (Al-Qashas: 77)
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Tulisan ini adalah intisari dari sebuah ceramah yang pernah saya sampaikan di sebuah forum pertemuan Imam di ICNA Convention beberapa tahun lalu. ICNA atau Islamic Circle of North America adalah satu dari beberapa organisasi Islam Nasional di Amerika. Saat itu saya khusus diminta menyampaikan ceramah dengan tema: "The role of interfaith in combating Islamophobia in US".
Saya tuliskan dalam bahasa Indonesia untuk kemanfaatan luas bagi yang memahaminya. Insya Allah tulisan ini akan bersambung dalam beberapa seri ke depan. Harapan saya semoga tulisan ini memperjelas hal yang belum jelas. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak pernah terlibat tapi cenderung menghakimi.
Pada tulisan ini saya memilih memakai kata "interfaith", bukan dialog antaragama. Walaupun sesungguhnya dua terminologi itu semakna. Hanya saja kata "Dialog" antar agama bisa saja disalahpahami oleh sebagian seolah agama-agama disejajarkan bahkan disamakan.
Lazimnya dialog itu hanya terjadi antara dua hal yang setingkat. Antara dua Jenderal misalnya. Seorang prajurit rendahan tidak bisa berdialog dengan seorang jenderal. Karena prajurit rendahan pastinya hanya menunggu perintah atau instruksi dari sang Jenderal.
Karena interfaith terasa lebih sesuai. Apalagi kata ini juga telah menjadi sebuah terminologi yang pepuler di kalangan praktisi interfaith. Apa Interfaith itu?
Kata interfaith masih sering disalahpahami oleh sebagian orang. Biasanya yang memahami salah tentang interfaith ini adalah orang-orang yang berada di salah satu dari dua kubu ekstrem dalam pemahaman beragama. Ada ekstrim kanan dan ada juga ekstrem kiri.
Ekstrem kanan salah paham karena memang ketidak tahuan semata atau minimal kesalah pahaman yang berujung kepada pengharaman. Alasan yang sering disampaikan adalah karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Seringkali juga interfaith dipahami oleh mereka secara salah sebagai penyamaan atau bahkan penyatuan agama-agama (religious unification). Atau biasa juga dicurigai jika interfaith itu adalah ajang "penggerogotan" iman.
Sebaliknya ekstrem kiri adalah mereka yang memang menjalankan apa yang dituduhkan oleh ekstrem kanan. Interfaith bagi ekstrem kiri adalah "menyamakan atau menyatukan" semua agama-agama (unification of religions). Biasanya pemahaman mereka dibangun di atas asumsi jika semua agama itu sesungguhnya sama, menuju ke satu tujuan yang sama. Yaitu menuju kepada Tuhan yang satu. Yang berbeda hanya cara dan jalan semata. Karenanya dalam pandangan mereka sesungguhnya kebenaran agama itu bersifat relatif dan tidak absolut.
Pandangan ekstrem kiri akhir-akhir ini menguat dengan sebuah konsep penyatuan agama-agama samawi dengan nama agama Ibrahim (Abrahamic Faith). Konsep ini telah mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama dunia, termasuk dari Syeikh Al-Azhar.
Dalam pandangan saya kedua pendapat di atas adalah paham ekstrem dan berbahaya. Ekstrim kanan berada dalam rana keangkuhan beragama, bahkan mengarah kepada karakter takfiri. Yaitu sikap yang dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim yang tidak sependapat.
Sementara ekstrem kiri juga berbahaya karena mereduksi agama-agama ke ruang relatif, yang bisa diubah dan dicelup sesuai kehendak hawa nafsunya. Sehingga agama tidak lagi pada posisi menunjuki atau mengatur. Tapi agama diarahkan dan diatur sesuai kecenderungan hawa nafsu manusia.
Karenanya perlu dipahami jika interfaith bukan bertujuan menggadaikan agama. Bukan pula untuk menyatukan agama-agama. Interfaith juga tidak dimaksudkan minimal pada pemahaman saya sebagai Muslim untuk menggerogoti iman penganut agama masing-masing.
Interfaith hanya akan dipahami secara benar ketika seseorang memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya di satu sisi. Dan juga memiliki pemahaman yang benar tentang realita dunia (lingkungan sekitar) di sisi lain.
Interfaith dan Al-Qur'an
Secara literal kata interfaith (al-hiwaar baena al-asyaan) memang tidak akan pernah ditemukan dalam Al-Quran. Tapi secara makna dan konteks akan ditemukan berbagai ayat-ayat yang mendukung kegiatan interfaith ini.
Jika kita lihat secara dekat dan jeli ayat-ayat Al-Qur'an akan kita dapat ragam ayat yang mengarah kepada pemaknaan kegiatan interfaith dan interaksi antar pemeluk agama yang ragam. Beberapa pemaknaan itu dapat kita lihat seperti berikut.
Pertama, dalam Al-Qur'an komunikasi dan relasi antar manusia tidak terhalangi oleh perbedaan keyakinan atau agama. Bahwa keyakinan agama yang dianut adalah pilihan setiap orang berdasarkan kesadaran (atau di luar alam sadar) masing-masing orang. Oleh karenanya Islam dengan tegas menggariskan: "tiada paksaan dalam agama" (Al-Baqarah). Bahkan ditegaskan "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (Al-Kafirun).
Oleh karena agama adalah pilihan masing-masing manusia, maka manusia sebagai makhluk sosial tidak seharusnya terhalangi untuk membangun relasi dan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi "common interest" (kepentingan bersama dalam kemanusiaan).
Kedua, agama Islam adalah agama yang membuka diri untuk membangun relasi, persahabatan, dan kerjasama dengan siapa saja. Bahkan Allah memerintahkan umat ini untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja, selama relasi, persahabatan dan kerjasama itu tidak merendahkan dan merugikan. Allah menegaskan dalam Al-Qurab: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusir kamu dari negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil" (Al-Mumtahanah: 8).
Ketiga, dalam agama Islam ruh kebajikan (al-Ihsan) tidak terbatasi oleh batas-batas keyakinan. Tapi menyeluruh untuk seluruh manusia dan makhluk lainnya. Ayat-ayat kebaikan (ihsan) misalnya dimaksudkan sebagai kebaikan universal: "Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (Al-Qashas: 77)