Surat Yasin Ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair Karangan Nabi Muhammad SAW

Kamis, 03 Februari 2022 - 12:31 WIB
loading...
A A A
Selanjutnya, meriwayatkan dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, al-Thabari dalam al-Jami’ fi Ahkam al-Quran menulis bahwa suatu ketika ‘ Aisyah RA ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah Rasulullah SAW pernah memberikan perumpamaan tentang sesuatu layaknya syair?”

Aisyah menjawab, “Syair adalah seburuk-buruknya perkataan bagi Nabi SAW.”

“Kecuali pernah pada suatu ketika Rasulullah SAW pernah membuat syair di rumah seorang sahabat dari Bani Qais. Ia menyusun bait terbalik-balik, yang harusnya menjadi bait awal dikatakan di akhir, dan sebaliknya. Lalu Abu Bakar RA berkomentar, “Bukan seperti itu baitnya.”

Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Sungguh demi Allah! aku bukanlah seorang penyair, dan syair tidak perlu bagiku,” terang Aisyah menjelaskan kepada sahabat tersebut.

Riwayat di atas perlu dipahami bahwa bukan berarti syair merupakan sesuatu yang buruk, karena syair adalah tradisi yang dibanggakan masyarakat Arab kala itu.



Nabi SAW tidak pernah melarang para sahabatnya untuk bersyair. Bahkan tradisi perlombaan syair di pasar ‘Ukaz tidak pernah dilarang meskipun di masa Islam telah berjaya.

Adapun maksud dari keterangan Aisyah RA bahwa syair adalah buruk bagi Nabi SAW lebih karena Nabi SAW tidak mampu bersyair dengan baik, selain karena menjaga agar tidak ada kecurigaan dari bangsa Arab bahwa al-Qur’an disusun oleh Nabi Muhammad SAW.

Jadi ayat 69 dalam surah Yasin ini hanya membantah tudingan kalau al-Qur’an adalah syair karya Nabi, bukan untuk melarang bersyair. Kata wama ‘allamnahu (وَمَا عَلَّمْنٰهُ) menurut mayoritas ulama tafsir menujukkan bahwa Nabi tidak diajarkan untuk bersyair, juga tidak melarang untuk bersyair, sebagaimana pendapat Abu Ishaq dan Abu Nuhas yang dikutip oleh Qurthubi.

Zuhaili dalam tafsir al-Munir, juga mencantumkan usaha Nabi untuk membuat syair, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah, Nabi SAW berucap:

سَتَبْديْ لَكَ الْأيَّام مَا كنْتَ جَاهِلاً
وَيَاْتيْكَ من لمْ تَزود بالأخبَار


“Hari-hari (masa) akan menampakkan kepadamu banyak hal yang belum kamu ketahui. Dan seseorang akan mendatangimu untuk memberi kabar hal yang belum kamu persiapkan (untuk menyambutnya).”

Lagi-lagi Abu Bakar tersenyum dan berkata, “Wahai Nabi, itu bukanlah syair”. Nabi menjawab: “ Sungguh aku tidak bisa bersyair, dan Allah tidak memantaskannya untukku”.

Meski demikian, bukan berarti Nabi tidak fasih, justru sebaliknya, Ibnu ‘Asyur menafsirkan kata al-mubin (pada akhir ayat) dengan fashohah wa balaghah yang berarti jelas dan tersampaikan, artinya Nabi adalah manusia yang paling fasih dan juga mampu memahamkan. Baik ketika melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, ataupun ketika berinteraksi dengan manusia, beliau dapat memilih kata-kata yang tepat, indah dan mudah dipahami oleh mitra bicaranya.

Peringan bagi Orang Kafir
Kaitan dengan ayat selanjutnya, menurut Thabari, kata liyundzira man kana hayya (لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا) menunjukkan bahwa Nabi bertugas untuk memberi peringatan kepada mereka (orang kafir) yang masih mau membuka hatinya (sebagian menafsirkan fikirannya), tidak untuk mereka yang hatinya sudah mati. Sekaligus memastikan azab bagi orang-orang yang inkar.

Ini mengindikasikan bahwa tugas memberi peringatan atau menyampaikan kebenaran bukanlah perkara mudah. Ia membutuhkan sosok yang cakap dalam berdialetika, menyusun kata dan mempengaruhi lawan bicaranya. Kriteria yang demikian tentu ada dalam diri Muhammad SAW, tidak hanya sebagai utusan Tuhan, namun juga sebagai sosok pemimpin untuk ummatnya.

Untuk kata hayyan yang terdapat pada ayat 70 di atas, menurut al-Thabari setidaknya teradapat dua makna yang berbeda. Pertama berdasarkan riwayat dari Abu Kuraib dari Abu Mu’awiyah dari Abi Rawq dari al-Dhahhak, kata tersebut bermakna akal, artinya orang yang hidup akal pikirannya.

Sedangkan kedua atas dasar riwayat dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, maknanya adalah hati dan mata hati yang hidup (hayya al-qalb wa hayy al-bashar). Adapun maksud kata al-qawl pada lanjutan ayat tersebut menurut al-Thabari bermakna siksaan (al-‘adzab). Artinya pasti terjadi siksa yang menimpa orang-orang kafir.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1463 seconds (0.1#10.140)