Kisah Sufi Isra' Mikraj: Ketika Sultan Menjadi Orang Buangan

Minggu, 06 Februari 2022 - 09:44 WIB
loading...
A A A
Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang gadis pertama yang dilihatnya keluar dari rumah-mandi, dan pinangannya itu wajib diterima. Sultan itu pun pergi ke tempat mandi umum dan dilihatnya seorang wanita cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apakah wanita itu sudah bersuami, dan ternyata sudah, maka ia bertanya kepada wanita berikutnya, yang buruk rupa. Dan yang berikut. Lalu, wanita keempat yang sungguh jelita dan rupawan. Gadis itu belum menikah, namun ia menolak Sultan sebab tubuh dan pakaiannya yang tak karuan.

Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri di hadapan Sultan dan berkata, "Aku disuruh untuk menjemput seorang yang kusut di sini. Mohon ikut aku."

Sultan pun mengikuti utusan itu, dan ia dibawa ke sebuah rumah yang sangat indah; ia pun duduk di salah satu ruang megah di rumah itu berjam-jam lamanya. Akhirnya, empat gadis molek berpakaian mulia masuk, menyertai gadis kelima, yang lebih memikat hati. Sultan mengenali gadis itu sebagal gadis terakhir yang ditemuinya di rumah-mandi itu.

Gadis itu mengucapkan selamat datang dan menjelaskan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyambut Sultan, dan bahwa penolakannya tadi bukan sungguhan, karena semua wanita di jalan akan mengatakan hal serupa bila dipinang.

Kemudian, menyusullah jamuan makan yang lezat. Kepada Sultan, dikenakan jubah yang sangat mewah, dan musik yang merdu pun dimainkan.



Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu sampai harta warisan istrinya itu habis. Lalu, wanita itu menuntut agar Sultan kini mencari nafkah untuk istrinya dan ketujuh anak mereka.

Teringat akan teman pertamanya di kota itu, Sultan pun menemui pandai besi itu untuk meminta nasihat. Temannya itu menyuruhnya bekerja sebagai kuli di pasar sebab Sultan tak punya barang untuk ditukar uang atau kemampuan apa pun untuk bekerja.

Dalam sehari, dengan mengangkat beban yang sangat berat, Sultan memperoleh upah hanya sepersepuluh dari kebutuhan hidup keluarganya.

Hari berikutnya, Sultan berjalan ke pantai, disinggahinya tempat di mana tujuh tahun silam dirinya pertama kali muncul di tempat itu. Ia memutuskan untuk bersembahyang, dan terlebih dahulu membasuh diri dengan air wudhu. Pada saat itulah mendadak ia sudah kembali berada di istananya, dengan ember air, Syeh itu, dan para pejabat.

"Tujuh tahun dalam pengasingan, kau orang jahat!" raung Sultan. "Tujuh tahun, berkeluarga, dan harus jadi kuli! Tidakkah kau gentar pada Tuhan, Yang Mahakuasa, atas perbuatanmu ini?"

"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi itu, "yakni selama Sultan memasukkan kepala ke dalam ember berisi air."

Para pejabat istana mengiyakan perkara ini.

Sultan tidak bisa mempercayai sepatah kata pun. Segera diperintahkannya untuk memenggal kepala itu. Mengetahui sebelumnya bahwa perintah Sultan itu akan turun, Syeh pun merapal ilmu gaib (Ilm el-Ghaibat: Ilmu Menghilangkan Tubuh) yang dikuasainya. Ajian sakti itu membuatnya sekejap hilang dan muncul di Damaskus, yang berhari-hari jaraknya dari istana itu.

Dari Damaskus, Syeh menulis sepucuk surat untuk Sultan, yang berbunyi:

"Tujuh tahun lewat bagi Tuan, seperti yang Tuan telah alami sendiri, sekalipun hanya sebentar saja Tuan merendam kepala dalam air. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan muslihat tertentu, yang tiada lain dimaksudkan untuk menjelaskan apa yang bisa terjadi. Bukankah dalam kisah itu tempat tidur Nabi masih hangat dan periuk air belum lagi kosong?

Yang penting bukanlah sesuatu itu telah terjadi atau tidak. Segalanya mungkin terjadi. Sesungguhnya yang penting adalah makna peristiwa itu. Pada kasus Sultan, tak ada makna sama sekali. Pada kasus Nabi, ada makna dalam peristiwa."

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2416 seconds (0.1#10.140)