Janganlah Kebencianmu Terhadap Satu Kaum Membuat Kalian Tidak Adil
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali Al-Kajangi
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Hilangnya sense of justice (rasa keadilan) dalam masyarakat itulah yang menyebabkan keresahan bahkan konflik sosial. Pembangunan ekonomi yang tidak dibarengi dengan menghadirkan rasa keadilan (sense of justice) tidak akan memberikan rasa nyaman dan ikatan sosial positif (social connection) di antara anggota masyarakat. Karenanya pembangunan sebuah bangsa memerlukan kebersamaan dan keseimbangan antara kemakmuran dan keadialn sosial.
Itulah potongan jawaban saya atas pertanyaan yang disampaikan dalam acara Kajian Muallaf Ahad pagi secara virtual. Sang penanya mempertanyakan berbagai "ketidakadilan" dalam penanganan banyak hal dalam kehidupan bermasyarakat.
Keadilan (al-'Adl) memang sesuatu yang sangat esensi dan mendasar dalam kehidupan manusia. Ketika berbicara tentang relasi manusia maka penganyam dari relasi itu adalah keadilan. Ketika keadilan rapuh maka anyaman relasi dalam hidup akan rapuh dan boleh jadi ambruk.
Itulah barangkali salah satu alasan kenapa sifat Allah dalam keadilan tidak berbentuk kata pelaku (faa'il). Tapi berbentuk kata benda (ism) "al-'adl". Seolah Allah ingin mengatakan bahwa merendahkan keadilan bermakna seolah merendahkan Allah itu sendiri.
Al-Qur'an menegaskan bahwa keadilan itu ditujukan untuk semua (justice for all). Bukan untuk segelintir elit yang punya daya tawar (bargaining power). Sementara mereka yang kecil dan termarjinalkan seringkali hanya menjadi mainan aturan dan ketidak keadilan.
Al-Qur'an bahkan menegaskan bahwa keadilan itu harus ditegakkan tanpa mengenal batas cinta dan benci. Jika musuh punya hak keadilan maka keadilan harus berpihak kepada musuh.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُوۡنُوۡا قَوَّا امِيۡنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِالۡقِسۡطِ ۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰٓى اَ لَّا تَعۡدِلُوۡا ؕ اِعۡدِلُوۡا هُوَ اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰى وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Maidah Ayat 8)
Keadilan itulah yang menjadikan Nabi Muhammad SAW siap menegakkan hukum bahkan kepada putri tercinta jika melanggar hukum. "Kalau sekiranya Fatimah putrì Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya," tegas beliau.
Komitmen keadilan itulah yang menjadikan Ali (karramallahu wajhah) menerima keputusan hakim yang memenangkan sang pencuri baju besinya di pengadilan. Dan komitmen yang sama yang menjadikan Khalifah Umar RA memutuskan mengajak kaum Yahudi kembali beribadah di Kota tua Jerusalem.
Komitmen keadilan inilah sesungguhnya yang menjadi cita-cita kehidupan publik (public life) manusia. Termasuk di dalamnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Wajar jika para pendiri bangsa sepakat bahwa sila penutup (kelima) dari Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seolah Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah itu akan banyak ditentukan wajahnya oleh keadilan sosial. Komitmen ketuhanan dipertanyakan ketika ketidak adilan merajalela. Demikian pula rasa kemanusiaan (sense of humanity) dipertanyakan ketika ketidak adilan dibiarkan. Persatuan akan tercabik dan musyawarah tak akan terwujud ketika sense of justice (rasa keadilan) tidak ada dalam kehidupan masyarakat.
Karenanya ketenangan, kesatuan, kenyamanan, ketentraman, dan keamanan dalam hidup kebangsaan akan tercipta ketika keadilan ditegakkan dengan komitmen dan penuh kesungguhan.
Covid-19 banyak mengajarkan kita bagaimana komitmen keadilan bisa teruji. Boleh atau tidaknya masyarakat melakukan kegiatan di masa Covid itu perlu diatur. Karena memang semua kita ingin Covid segera tertangani secara baik dan tuntas. Tapi jangan pengaturan itu dilakukan bagaikan membelah bambù. Ada yang ditekan, ada yang diangkat.
Ingat, negara hadir untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh, bukan segelintir, rakyat Indonesia. Karenanya kemakmuran tidak diukur oleh gedung-gedung pencakar langit. Tapi bagaimana semua orang di antara gedung-gedung itu merasakan kemakmuran bersama.
Kemakmuran dan keadilan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya yang akan mengantar kepada ketentraman (peace) dan kebahagiaan (happiness) yang menjadi cita-cita hidup semua orang.
Akhirnya memang disadari, di Amerika saja perjuangan mewujudkan "justice for all" adalah proses berkelanjutan. Dan diakui hingga saat ini proses itu masih berlanjut dan kerap menjadikan gesekan sosial.
Maka saudaraku di Indonesia, lanjutkan perjuangan untuk mewujudkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat" di negeri tercinta!
Queens, 21 Februari 2022
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Hilangnya sense of justice (rasa keadilan) dalam masyarakat itulah yang menyebabkan keresahan bahkan konflik sosial. Pembangunan ekonomi yang tidak dibarengi dengan menghadirkan rasa keadilan (sense of justice) tidak akan memberikan rasa nyaman dan ikatan sosial positif (social connection) di antara anggota masyarakat. Karenanya pembangunan sebuah bangsa memerlukan kebersamaan dan keseimbangan antara kemakmuran dan keadialn sosial.
Itulah potongan jawaban saya atas pertanyaan yang disampaikan dalam acara Kajian Muallaf Ahad pagi secara virtual. Sang penanya mempertanyakan berbagai "ketidakadilan" dalam penanganan banyak hal dalam kehidupan bermasyarakat.
Keadilan (al-'Adl) memang sesuatu yang sangat esensi dan mendasar dalam kehidupan manusia. Ketika berbicara tentang relasi manusia maka penganyam dari relasi itu adalah keadilan. Ketika keadilan rapuh maka anyaman relasi dalam hidup akan rapuh dan boleh jadi ambruk.
Itulah barangkali salah satu alasan kenapa sifat Allah dalam keadilan tidak berbentuk kata pelaku (faa'il). Tapi berbentuk kata benda (ism) "al-'adl". Seolah Allah ingin mengatakan bahwa merendahkan keadilan bermakna seolah merendahkan Allah itu sendiri.
Al-Qur'an menegaskan bahwa keadilan itu ditujukan untuk semua (justice for all). Bukan untuk segelintir elit yang punya daya tawar (bargaining power). Sementara mereka yang kecil dan termarjinalkan seringkali hanya menjadi mainan aturan dan ketidak keadilan.
Al-Qur'an bahkan menegaskan bahwa keadilan itu harus ditegakkan tanpa mengenal batas cinta dan benci. Jika musuh punya hak keadilan maka keadilan harus berpihak kepada musuh.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُوۡنُوۡا قَوَّا امِيۡنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِالۡقِسۡطِ ۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰٓى اَ لَّا تَعۡدِلُوۡا ؕ اِعۡدِلُوۡا هُوَ اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰى وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Maidah Ayat 8)
Keadilan itulah yang menjadikan Nabi Muhammad SAW siap menegakkan hukum bahkan kepada putri tercinta jika melanggar hukum. "Kalau sekiranya Fatimah putrì Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya," tegas beliau.
Komitmen keadilan itulah yang menjadikan Ali (karramallahu wajhah) menerima keputusan hakim yang memenangkan sang pencuri baju besinya di pengadilan. Dan komitmen yang sama yang menjadikan Khalifah Umar RA memutuskan mengajak kaum Yahudi kembali beribadah di Kota tua Jerusalem.
Komitmen keadilan inilah sesungguhnya yang menjadi cita-cita kehidupan publik (public life) manusia. Termasuk di dalamnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Wajar jika para pendiri bangsa sepakat bahwa sila penutup (kelima) dari Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seolah Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah itu akan banyak ditentukan wajahnya oleh keadilan sosial. Komitmen ketuhanan dipertanyakan ketika ketidak adilan merajalela. Demikian pula rasa kemanusiaan (sense of humanity) dipertanyakan ketika ketidak adilan dibiarkan. Persatuan akan tercabik dan musyawarah tak akan terwujud ketika sense of justice (rasa keadilan) tidak ada dalam kehidupan masyarakat.
Karenanya ketenangan, kesatuan, kenyamanan, ketentraman, dan keamanan dalam hidup kebangsaan akan tercipta ketika keadilan ditegakkan dengan komitmen dan penuh kesungguhan.
Covid-19 banyak mengajarkan kita bagaimana komitmen keadilan bisa teruji. Boleh atau tidaknya masyarakat melakukan kegiatan di masa Covid itu perlu diatur. Karena memang semua kita ingin Covid segera tertangani secara baik dan tuntas. Tapi jangan pengaturan itu dilakukan bagaikan membelah bambù. Ada yang ditekan, ada yang diangkat.
Ingat, negara hadir untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh, bukan segelintir, rakyat Indonesia. Karenanya kemakmuran tidak diukur oleh gedung-gedung pencakar langit. Tapi bagaimana semua orang di antara gedung-gedung itu merasakan kemakmuran bersama.
Kemakmuran dan keadilan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya yang akan mengantar kepada ketentraman (peace) dan kebahagiaan (happiness) yang menjadi cita-cita hidup semua orang.
Akhirnya memang disadari, di Amerika saja perjuangan mewujudkan "justice for all" adalah proses berkelanjutan. Dan diakui hingga saat ini proses itu masih berlanjut dan kerap menjadikan gesekan sosial.
Maka saudaraku di Indonesia, lanjutkan perjuangan untuk mewujudkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat" di negeri tercinta!
Queens, 21 Februari 2022
(rhs)