Perkara-perkara yang Membatalkan Wudhu Seorang Muslimah
loading...
A
A
A
Perkara-perkara apa saja yang dapat membatalkan wudhu seorang muslimah? Ada beberapa pandangan ulama tentang hal ini, terutama yang terkait status muslimah yang sudah menjadi seorang istri.
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut pandangan 4 mazhab tentang hal tersebut. Berikut penjelasannya:
1. Mazhab Syafi'iyah
Menurut mazhab ini, batal wudhu seorang muslimah bisa terjadi karena dia bersentuhan dengan lelaki. Termasuk suaminya, karena istri bukan mahram, meskipun antara mereka berdua melakukan sentuhan dengan tanpa syahwat.
Dalilnya adalah firman Allah berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS. Al-Maidah: 6)
Menurut Imam Syafii, kata
Dari sini bisa dipahami bahwa menyentuh perempuan termasuk hadas kecil seperti orang melakukan buang air besar. Ini berbeda dengan jinabah yang diharuskan mandi besar. Jadi yang dimaksudkan
Mereka juga menggunakan dalil hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berkata, "Seorang laki-laki yang mencium istrinya dan menyentuh tubuhnya dengan tangannya merupakan bagian dari
Dalam kitab Hasyiyatu al-Baijuri dikatakan, “Ketahuilah bahwa bersentuhan dapat membatalkan wudhu jika terpenuhi 5 perkara, yakni:
1) bersentuhan dengan lawan jenis.
2) harus bersentuhan dengan kulit, bukan dengan rambut, kuku atau gigi
3) tanpa adanya penghalang
4) sampai batas-batas dimana sentuhan dapat menimbulkan syahwat
5) dengan orang yang bukan mahram.
2. Mazhab Hanafiyah
Menurut mazhab Hanafiyah, bersentuhan dengan perempuan sekali tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan istri, maupun perempuan lain yang bukan mahram. Baik bersentuhan dengan syahwat maupun tidak.
Imam Syarkasyi dari kalangan mazhab Hanafiyah mengatakan, “Bagi yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya, baik dengan syahwat atau tidak, ia tidak diwajibkan berwudhu. (Kitab al-Mabsuuth jilid 1 hal 121).
Dalil yang dijadikan sebagai pegangan sebagai berikut: Hukum asal adalah suci. Artinya seseorang yang telah berwudhu tidak serta merta dapat batal kecuali jika ada dalil sharih yang shahih. Banyak terdapat dalil dari hadis Nabi Muhammad saw bahwa Nabi Muhammad saw mencium Aisyah dan beliau tidak berwudhu kembali. Di antaranya hadis berikut:
Artinya: Suatu kali aku tertidur di depan Rasulullah sementara kakiku berada di kiblatnya Rasul (maksudnya di hadapan Rasul). Jika Rasul sujud, beliau menggeser kakiku.
Dalam hadis lain Aisyah juga pernah berkata:
Artinya: Suatu kali aku tidak mendapati Rasulullah saw di kasur. Lalu aku mencarinya (dengan merabakan tanganku), lalu tanganku menyentuh dua telapak kaki Rasulullah saw. (HR. Muslim)
Makna
Artinya: Seseorang belum pernah ada yang menyentuhku. (QS. Ali Imran: 47)
Maksudnya menyentuh di sini adalah berjimak. Pendapat ini juga dikuatkan dengan pendapat para sahabat di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
3. Mazhab Malikiyah dan Hanabilah
Kedua mazhab ini mencoba untuk mengkompromikan dua pendapat mazhab Syafi'iyah dan Hanafiyah dengan mengatakan bahwa bersentuhan dengan lawan jenis yang membatalkan wudhu adalah yang dilakukan dengan syahwat. Jika bersentuhan bukan dengan syahwat, seperti dalam cerita Sayidah Aisyah di atas, maka ia tidak membatalakan wudhu. Muhammadiyah memilih pendapat yang mengatakan bahwa bersentuhan kulit suami istri tidak membatalkan wudhu.
Wallahu A'lam
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut pandangan 4 mazhab tentang hal tersebut. Berikut penjelasannya:
1. Mazhab Syafi'iyah
Menurut mazhab ini, batal wudhu seorang muslimah bisa terjadi karena dia bersentuhan dengan lelaki. Termasuk suaminya, karena istri bukan mahram, meskipun antara mereka berdua melakukan sentuhan dengan tanpa syahwat.
Baca Juga
Dalilnya adalah firman Allah berikut:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS. Al-Maidah: 6)
Menurut Imam Syafii, kata
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
adalah bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan bukan mahram meski tanpa jimak. Istidlalnya sebagai berikut: Pada permulaan ayat, Allah Subhanahu wa ta'ala menyebutkan mengenai mandi jinabah. Kemudian bersentuhan dengan perempuan diathafkan ke al-ghaith (buang air besar) dengan huruf athaf أَوْ. Dari sini bisa dipahami bahwa menyentuh perempuan termasuk hadas kecil seperti orang melakukan buang air besar. Ini berbeda dengan jinabah yang diharuskan mandi besar. Jadi yang dimaksudkan
لَامَسْتُمُ
di sini adalah menyentuh dengan tangan dan bukan bermakna jimak. Secara bahasa, لامس
maknanya adalah لمس
yaitu menyentuh. Pernyataan ini dikuatkan dengan qiraat lain yang menggunakan kata لمس
dan bukan لامس
. Semua itu, maknanya adalah sentuhan antara dua kulit. Mereka juga menggunakan dalil hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berkata, "Seorang laki-laki yang mencium istrinya dan menyentuh tubuhnya dengan tangannya merupakan bagian dari
الملامسة
(saling bersentuhan). Barangsiapa yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya maka hendaknya ia berwudhu kembali. (HR Malik dalam kitab al-Muwatha). Dalam kitab Hasyiyatu al-Baijuri dikatakan, “Ketahuilah bahwa bersentuhan dapat membatalkan wudhu jika terpenuhi 5 perkara, yakni:
1) bersentuhan dengan lawan jenis.
2) harus bersentuhan dengan kulit, bukan dengan rambut, kuku atau gigi
3) tanpa adanya penghalang
4) sampai batas-batas dimana sentuhan dapat menimbulkan syahwat
5) dengan orang yang bukan mahram.
2. Mazhab Hanafiyah
Menurut mazhab Hanafiyah, bersentuhan dengan perempuan sekali tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan istri, maupun perempuan lain yang bukan mahram. Baik bersentuhan dengan syahwat maupun tidak.
Imam Syarkasyi dari kalangan mazhab Hanafiyah mengatakan, “Bagi yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya, baik dengan syahwat atau tidak, ia tidak diwajibkan berwudhu. (Kitab al-Mabsuuth jilid 1 hal 121).
Dalil yang dijadikan sebagai pegangan sebagai berikut: Hukum asal adalah suci. Artinya seseorang yang telah berwudhu tidak serta merta dapat batal kecuali jika ada dalil sharih yang shahih. Banyak terdapat dalil dari hadis Nabi Muhammad saw bahwa Nabi Muhammad saw mencium Aisyah dan beliau tidak berwudhu kembali. Di antaranya hadis berikut:
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي) متفق عليه
Artinya: Suatu kali aku tertidur di depan Rasulullah sementara kakiku berada di kiblatnya Rasul (maksudnya di hadapan Rasul). Jika Rasul sujud, beliau menggeser kakiku.
Dalam hadis lain Aisyah juga pernah berkata:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ
Artinya: Suatu kali aku tidak mendapati Rasulullah saw di kasur. Lalu aku mencarinya (dengan merabakan tanganku), lalu tanganku menyentuh dua telapak kaki Rasulullah saw. (HR. Muslim)
Makna
للمس
dalam ayat di atas maksudnya adalah jimak. Ini sesuai dengan makna di ayat lain yang menceritakan tentang Sayidah Maryam: وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ
Artinya: Seseorang belum pernah ada yang menyentuhku. (QS. Ali Imran: 47)
Maksudnya menyentuh di sini adalah berjimak. Pendapat ini juga dikuatkan dengan pendapat para sahabat di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
3. Mazhab Malikiyah dan Hanabilah
Kedua mazhab ini mencoba untuk mengkompromikan dua pendapat mazhab Syafi'iyah dan Hanafiyah dengan mengatakan bahwa bersentuhan dengan lawan jenis yang membatalkan wudhu adalah yang dilakukan dengan syahwat. Jika bersentuhan bukan dengan syahwat, seperti dalam cerita Sayidah Aisyah di atas, maka ia tidak membatalakan wudhu. Muhammadiyah memilih pendapat yang mengatakan bahwa bersentuhan kulit suami istri tidak membatalkan wudhu.
Wallahu A'lam
(wid)