Surat Al-Ma'un dan Hakikat Buah Kepercayaan tentang Hari Akhir
loading...
A
A
A
Al-Qur'an menghendaki agar keyakinan akan adanya hari akhir mengantar manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak menghasilkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya. Salah satu surat yang berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107).
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahal , yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.
Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan: Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?
"Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan," ujar Quraish Shihab.
Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.
Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan.
Bukankah yang percaya meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?
Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian.
Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan.
Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan keyakinannya itu.
"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri."
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri.
Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
Mungkin ini (jawaban Al-Qur'an tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.
Menurut Quraish Shihab, demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan tentang hari akhir.
Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Qur'an yang sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof. Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan roh dan jasad atau hanya roh saja.
Menurut Quraish Shihab, dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut-apakah dengan roh dan jasad atau dengan roh saja- yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.
Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka ke semua hal ini berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman. Waallahu 'Alam.
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahal , yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.
Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan: Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?
"Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan," ujar Quraish Shihab.
Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.
Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan.
Bukankah yang percaya meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?
Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian.
Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan.
Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan keyakinannya itu.
"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri."
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri.
Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
Mungkin ini (jawaban Al-Qur'an tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.
Menurut Quraish Shihab, demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan tentang hari akhir.
Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Qur'an yang sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof. Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan roh dan jasad atau hanya roh saja.
Menurut Quraish Shihab, dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut-apakah dengan roh dan jasad atau dengan roh saja- yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.
Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka ke semua hal ini berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman. Waallahu 'Alam.
(mhy)