Memahami Al-Qur'an di Masa Kini dan Hikmah Ayat Ilmiah, Menurut Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Qur'an , tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya.
Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut dalam "Tafsir Al-Qur'an Al-Karim" mengatakan: "Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan Al-Qur'an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan."
Di dalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: "Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi sempurna pumama?"
Lalu, Rasulullah SAW mengembalikan, jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah SWT yang berfirman: Mereka bertanya kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji ( QS 2 :189).
Jawaban Al-Qur'an bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada juga yang bertanya mengenai "roh", lalu Al-Qur'an menjawab: Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan: "Roh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan." ( QS 17 :85).
Al-Qur'an tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.
Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut, lalu menulis. "Tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa Al-Qur'an bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri'."
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Qur'an , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" menjelaskan dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh ayat ma farrathna fi al-kitab min syay' ( QS 6 :38) dan ayat: wa nazzalna 'alayka al-kitab tibyanan likulli syay' ( QS 16 :89) adalah bahwa Al-Qur'an tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Qur'an, yaitu masalah-masalah akidah, syari'ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Wajib Mempelajari Al-Qur'an
Selanjutnya, apakah Al-Qur'an harus dipahami sesuai dengan paham para sahabat dan orang-orang tua kita dahulu?
Quraish Shihab menjawab, "Tidak! Setiap Muslim, bahkan setiap orang, wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir Al-Qur'an merupakan "fardhu 'ayn"," ujarnya.
Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Qur'an. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh Al-Quran untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti orang-orang tua dan nenek moyang tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau 'ala dhalal (dalam kesesatan).
Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim (siapa saja) dapat mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Qur'an tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk itu. Setiap Muslim yang memenuhi syarat, wajib memahami Al-Qur'an, karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang-orang Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga khusus untuk mereka yang hidup di abad keduapuluh ini. Tetapi Al-Qur'an adalah untuk seluruh manusia sejak dari zaman turunnya hingga hari kiamat kelak.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Qur'an, diperintahkan untuk memikirkan isi Al-Qur'an sesuai dengan akal pikiran mereka. Benar, akal adalah anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka sendiri: latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta pengalaman-pengalainan yang dialami selama hidup seseorang. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menulis: "Kita berkewajiban memahami Al-Qur'an di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad SAW."
Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Menurut Quraish Shihab, kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta'ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mempercayai setiap hipotesis atau pantangan.
Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini, ulama-ulama menafsirkan arti kata al-'alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku.
Penafsiran ini didapati di seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan dalam bahasa Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang setengah beku.
Al-'alaq yang diterangkan di atas merupakan periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah dalam surah Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof M. Hasby Ashiddieqi dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: "Dan sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dari tanah yang bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari daging itu Kami jadikan tulang, tulang itu Kami bungkus dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk yang baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan sepandai-pandai yang menjadikan sesuatu."
Memperhatikan ayat ini, kata Quraish, jelaslah bahwa periode kedua dari kejadian manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq; (3) Al-Mudhghah; (4) Al-'Idzam; dan (5) Al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan kebenaran Al-Qur'an, maka dia sulit menafsirkan kalimat al-'alaq tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode:
1. Periode Ovum
Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena adanya pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu (ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang disebut zygote. Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi.
2. Periode Embrio
Periode ini adalah periode pembentukan organ-organ. Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan.
3. Periode Foetus
Periode ini adalah periode perkembangan dan penyempumaan dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan berakhir pada waktu kelahiran.
Kembali kepada ayat di atas, menurut Quraish, kita melihat bahwa periode pertama menurut Al-Qur'an adalah 'al-nuthfah, periode kedua al-'alaq dan periode ketiga al-mudhghah. Al-mudhghah --yang berarti sepotong daging-- menurut Al-Qur'an (surah Al-Hajj ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan: mukhallaqah (sempurna kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna).
Dari sini bila diadakan penyesuaian antara embriologi dengan Al-Qur'an dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa periode ketiga yang disebut Al-Qur'an sebagai al-mudhghah merupakan periode kedua menurut embriologi (periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ terpenting. Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Qur'an sama dengan periode ketiga atau foetus.
Dalam membicarakan al-'alaq --yang oleh para mufassirin diartikan dengan segumpal darah-- didapati pertentangan antara penafsiran tersebut dengan hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum terdiri atas ektoderm, endoderm dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur tersebut tidak mengandung komponen darah.
Sesuatu yang Bergantung
Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran al-'alaq dengan segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat bahwa al-alaq adalah sesuatu yang bergantung atau berdempet.
Penafsiran ini sejalan dengan pengertian bahasa Arab, dan sesuai pula dengan embriologi yang dinamai implantasi. Bahasa Arab tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk darah beku, tetapi salah satu dari artinya adalah bergantungan atau berdempetan.
Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti al-alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan. Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir, arti al-'alaq adalah "sesuatu yang hitam seperti cacing di dalam air, bila diminum oleh binatang ia akan bergantung atau terhalang di kerongkongannya". (Lihat Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, diedit oleh Nadim Mar'asyli, Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355.)
Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat dinamakan sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya al-qalb li taqallubihi.
Qalb dalam bahasa Arab berarti "berbolak-balik", karena sifatnya yang berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta, sekali benci. Yang berdempet/bergantung di dinding rahim dinamai alaq (bergantung), karena keadaannya ketika itu "bergantung"/berdempet.
Dari uraian tersebut, Quraish Shihab menyimpulkan:
Pertama, Al-Qur'an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri', dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kedua, tiada pertentangan antara Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.
Ketiga, memahami hubungan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Al-Qur'an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
Keempat, membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Qur'an bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Qur'an dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
Kelima, sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Qur'an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.
Keenam, memahami ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur'aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp atau ketentuan bahasa.
Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut dalam "Tafsir Al-Qur'an Al-Karim" mengatakan: "Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan Al-Qur'an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan."
Di dalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: "Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi sempurna pumama?"
Lalu, Rasulullah SAW mengembalikan, jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah SWT yang berfirman: Mereka bertanya kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji ( QS 2 :189).
Jawaban Al-Qur'an bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada juga yang bertanya mengenai "roh", lalu Al-Qur'an menjawab: Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan: "Roh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan." ( QS 17 :85).
Al-Qur'an tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.
Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut, lalu menulis. "Tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa Al-Qur'an bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri'."
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Qur'an , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" menjelaskan dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh ayat ma farrathna fi al-kitab min syay' ( QS 6 :38) dan ayat: wa nazzalna 'alayka al-kitab tibyanan likulli syay' ( QS 16 :89) adalah bahwa Al-Qur'an tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Qur'an, yaitu masalah-masalah akidah, syari'ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Wajib Mempelajari Al-Qur'an
Selanjutnya, apakah Al-Qur'an harus dipahami sesuai dengan paham para sahabat dan orang-orang tua kita dahulu?
Quraish Shihab menjawab, "Tidak! Setiap Muslim, bahkan setiap orang, wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir Al-Qur'an merupakan "fardhu 'ayn"," ujarnya.
Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Qur'an. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh Al-Quran untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti orang-orang tua dan nenek moyang tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau 'ala dhalal (dalam kesesatan).
Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim (siapa saja) dapat mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Qur'an tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk itu. Setiap Muslim yang memenuhi syarat, wajib memahami Al-Qur'an, karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang-orang Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga khusus untuk mereka yang hidup di abad keduapuluh ini. Tetapi Al-Qur'an adalah untuk seluruh manusia sejak dari zaman turunnya hingga hari kiamat kelak.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Qur'an, diperintahkan untuk memikirkan isi Al-Qur'an sesuai dengan akal pikiran mereka. Benar, akal adalah anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka sendiri: latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta pengalaman-pengalainan yang dialami selama hidup seseorang. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menulis: "Kita berkewajiban memahami Al-Qur'an di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad SAW."
Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Menurut Quraish Shihab, kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta'ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mempercayai setiap hipotesis atau pantangan.
Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini, ulama-ulama menafsirkan arti kata al-'alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku.
Penafsiran ini didapati di seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan dalam bahasa Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang setengah beku.
Al-'alaq yang diterangkan di atas merupakan periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah dalam surah Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof M. Hasby Ashiddieqi dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: "Dan sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dari tanah yang bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari daging itu Kami jadikan tulang, tulang itu Kami bungkus dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk yang baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan sepandai-pandai yang menjadikan sesuatu."
Memperhatikan ayat ini, kata Quraish, jelaslah bahwa periode kedua dari kejadian manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq; (3) Al-Mudhghah; (4) Al-'Idzam; dan (5) Al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan kebenaran Al-Qur'an, maka dia sulit menafsirkan kalimat al-'alaq tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode:
1. Periode Ovum
Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena adanya pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu (ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang disebut zygote. Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi.
2. Periode Embrio
Periode ini adalah periode pembentukan organ-organ. Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan.
3. Periode Foetus
Periode ini adalah periode perkembangan dan penyempumaan dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan berakhir pada waktu kelahiran.
Kembali kepada ayat di atas, menurut Quraish, kita melihat bahwa periode pertama menurut Al-Qur'an adalah 'al-nuthfah, periode kedua al-'alaq dan periode ketiga al-mudhghah. Al-mudhghah --yang berarti sepotong daging-- menurut Al-Qur'an (surah Al-Hajj ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan: mukhallaqah (sempurna kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna).
Dari sini bila diadakan penyesuaian antara embriologi dengan Al-Qur'an dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa periode ketiga yang disebut Al-Qur'an sebagai al-mudhghah merupakan periode kedua menurut embriologi (periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ terpenting. Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Qur'an sama dengan periode ketiga atau foetus.
Dalam membicarakan al-'alaq --yang oleh para mufassirin diartikan dengan segumpal darah-- didapati pertentangan antara penafsiran tersebut dengan hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum terdiri atas ektoderm, endoderm dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur tersebut tidak mengandung komponen darah.
Sesuatu yang Bergantung
Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran al-'alaq dengan segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat bahwa al-alaq adalah sesuatu yang bergantung atau berdempet.
Penafsiran ini sejalan dengan pengertian bahasa Arab, dan sesuai pula dengan embriologi yang dinamai implantasi. Bahasa Arab tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk darah beku, tetapi salah satu dari artinya adalah bergantungan atau berdempetan.
Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti al-alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan. Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir, arti al-'alaq adalah "sesuatu yang hitam seperti cacing di dalam air, bila diminum oleh binatang ia akan bergantung atau terhalang di kerongkongannya". (Lihat Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, diedit oleh Nadim Mar'asyli, Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355.)
Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat dinamakan sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya al-qalb li taqallubihi.
Qalb dalam bahasa Arab berarti "berbolak-balik", karena sifatnya yang berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta, sekali benci. Yang berdempet/bergantung di dinding rahim dinamai alaq (bergantung), karena keadaannya ketika itu "bergantung"/berdempet.
Dari uraian tersebut, Quraish Shihab menyimpulkan:
Pertama, Al-Qur'an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri', dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kedua, tiada pertentangan antara Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.
Ketiga, memahami hubungan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Al-Qur'an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
Keempat, membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Qur'an bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Qur'an dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
Kelima, sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Qur'an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.
Keenam, memahami ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur'aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp atau ketentuan bahasa.
(mhy)