NU Pernah Melarang Ibadah Haji, Begini Alasannya
loading...
A
A
A
Pada masa revolusi, Nahdlatul Ulama atau NU sempat melarang pelaksanaan ibadah haji . Ceritanya, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang Belanda yang kala itu menjajah bangsa Indonesia.
Kisah pelarangan haji ini dicatat oleh sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017). Kala itu, gejolak revolusi menyebabkan umat Islam risau karena perjalanan haji terhenti. Haji tidak bisa diselenggarakan karena faktor keamanan.
Melihat situasi itu, Gubernur Hindia-Belanda, Van der Plaas mengambil tindakan untuk menolong umat Islam. Belanda mengumumkan bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya.
Tawaran Kolonial Belanda itu menggoda umat Islam yang kebetulan selama beberapa tahun dalam gelora revolusi itu perjalanan ibadah haji terganggu, saat ini Belanda menjamin fasilitas untuk mereka, maka banyak yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji.
Sekilas kebijakan tersebut nampak populis, padahal itu mengandung intrik politik untuk meraup simpati umat Islam Indonesia.
Nah, di tengah kegairahan umat Islam untuk berhaji, Rais Akbar NU, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari justru mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya tidak sah. Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi.
Sementara pada saat itu Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang Belanda (yang dianggap kafir), maka hajinya tidak sah.
Fatwa itu membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimana pun dengan hujjah-nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati, umat Islam banyak yang membatalkan perjalanan hajinya. Tentu saja hal itu membuat Belanda geram. Usahanya gagal dalam mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada republik pimpinan Soekarno-Hatta.
Jauh sebelum era revolusi, yaitu pada 1824-1859, Hindia Belanda justru melakukan pengetatan pemberangkatan haji. Kolonial menilai bahwa haji menjadi ancaman eksistensi kolonial di Indonesia. Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC. Mereka menganggap, seseorang yang pulang dari ibadah haji mempunyai potensi menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kolonial.
ahi Munkar
Segala upaya dilakukan oleh Hindia Belanda, dari mulai pengetatan pemberangkatan dan aturan-aturan lain setelah pulang dari tanah suci. Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.
Beberapa dekade kemudian, pada tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.
.
Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).
Dari sini bisa disimak bahwa fatwa KH Hasyim Asy’ari yang melarang haji tak sekadar berdalil karena menggunakan kapal milik orang Belanda. Lebih jauh lagi, ini adalah perlawanan para kiyai terhadap politisasi haji.
Hukum Haji
Meski bersifat fardu ain, dalam ilmu fiqih yang terangkum pada Ensiklopedia Fikih Indonesia 6: Haji dan Umrah, Bab 3 tentang Hukum-hukum Haji, Ahmad Sarwat, menyebut hukum haji bisa tidak sah jika biaya pelaksanaan ibadah ini didapat dari jalan yang tidak benar, misal hasil merampok, menipu, mencuri, membungakan uang, korupsi, suap dan lainnya.
Kisah pelarangan haji ini dicatat oleh sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017). Kala itu, gejolak revolusi menyebabkan umat Islam risau karena perjalanan haji terhenti. Haji tidak bisa diselenggarakan karena faktor keamanan.
Baca Juga
Melihat situasi itu, Gubernur Hindia-Belanda, Van der Plaas mengambil tindakan untuk menolong umat Islam. Belanda mengumumkan bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya.
Tawaran Kolonial Belanda itu menggoda umat Islam yang kebetulan selama beberapa tahun dalam gelora revolusi itu perjalanan ibadah haji terganggu, saat ini Belanda menjamin fasilitas untuk mereka, maka banyak yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji.
Sekilas kebijakan tersebut nampak populis, padahal itu mengandung intrik politik untuk meraup simpati umat Islam Indonesia.
Nah, di tengah kegairahan umat Islam untuk berhaji, Rais Akbar NU, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari justru mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya tidak sah. Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi.
Sementara pada saat itu Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang Belanda (yang dianggap kafir), maka hajinya tidak sah.
Fatwa itu membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimana pun dengan hujjah-nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati, umat Islam banyak yang membatalkan perjalanan hajinya. Tentu saja hal itu membuat Belanda geram. Usahanya gagal dalam mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada republik pimpinan Soekarno-Hatta.
Jauh sebelum era revolusi, yaitu pada 1824-1859, Hindia Belanda justru melakukan pengetatan pemberangkatan haji. Kolonial menilai bahwa haji menjadi ancaman eksistensi kolonial di Indonesia. Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC. Mereka menganggap, seseorang yang pulang dari ibadah haji mempunyai potensi menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kolonial.
ahi Munkar
Segala upaya dilakukan oleh Hindia Belanda, dari mulai pengetatan pemberangkatan dan aturan-aturan lain setelah pulang dari tanah suci. Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.
Beberapa dekade kemudian, pada tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.
.
Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).
Dari sini bisa disimak bahwa fatwa KH Hasyim Asy’ari yang melarang haji tak sekadar berdalil karena menggunakan kapal milik orang Belanda. Lebih jauh lagi, ini adalah perlawanan para kiyai terhadap politisasi haji.
Hukum Haji
Meski bersifat fardu ain, dalam ilmu fiqih yang terangkum pada Ensiklopedia Fikih Indonesia 6: Haji dan Umrah, Bab 3 tentang Hukum-hukum Haji, Ahmad Sarwat, menyebut hukum haji bisa tidak sah jika biaya pelaksanaan ibadah ini didapat dari jalan yang tidak benar, misal hasil merampok, menipu, mencuri, membungakan uang, korupsi, suap dan lainnya.