4 Tafsir saat Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan
loading...
A
A
A
Ada beberapa pendekatan yang disampaikan ulama dalam memahami kasus ini.
Pertama, sumber maksiat tidak hanya setan. Karena hawa nafsu manusia di sana berperan. Keterangan disampaikan Imam as-Sindi dalam Hasyiyah-nya (catatan) untuk sunan an-Nasai. Beliau mengatakan,
"Hadis ‘setan dibelenggu’ tidak berarti meniadakan segala bentuk maksiat. Karena bisa saja maksiat itu muncul disebabkan pengaruh jiwa yang buruk dan jahat. Dan timbulnya maksiat, tidak selalu berasal dari setan. Jika semua berasal dari setan, berarti ada setan yang mengganggu setan (setannya setan), dan seterusnya bersambung. Sementara kita tahu, tidak ada setan yang mendahului maksiat Iblis. Sehingga maksiat Iblis murni dari dirinya. Allahu a’lam."
Kedua, setan dibelenggu tapi dia masih bisa mengganggu. Hanya saja, dia tidak sebebas ketika dilepas. Karena makhluk yang dibelenggu hanya terikat bagian tangan dan lehernya. Sementara kakinya, lidahnya masih bisa berkarya.
Kita simak keterangan Imam al-Baji – ulama Malikiyah – dalam Syarh Muwatha’,
"Sabda beliau, ‘Setan dibelenggu’ bisa dipahami bahwa itu dibelenggu secara hakiki. Sehingga dia terhalangi untuk melakukan beberapa perbuatan yang tidak mampu dia lakukan kecuali dalam kondisi bebas. Dan hadis ini bukan dalil bahwa setan terhalangi untuk mengganggu sama sekali. Karena orang yang dibelenggu, dia hanya terikat dari leher sampai tangan. Dia masih bisa bicara, membisikkan ide maksiat, atau banyak gangguan lainnya.
Lebih jauh lagi, pembelengguan setan tidak berhubungan langsung dengan keburukan dan kemaksiatan manusia. Sebab, dalam diri manusia masih terdapat pemicu atau pendorong keburukan lain, yakni nafsu, kebiasaan buruk, dan setan manusia.
Adakalanya, tanpa setan, kebiasaan buruk akan mendorong manusia untuk berbuat buruk. Saat tidak dibelenggu pun, setan hanya mendorong dan memperindah keburukan." (Lihat Jamaluddin Abul Farj, Kasyful Musykil min Haditsis Shahihain, juz III, halaman 409).
Ketiga, sejatinya setan tidak dibelenggu secara hakiki. Sifatnya hanya kiasan. Mengingat keberkahan bulan Ramadhan, dan banyaknya ampunan Allah untuk para hamba-Nya selama Ramadhan. Sehingga setan seperti terbelenggu.
Yang menafsirkan ungkapan hadis ini sebagai kiasan, antara lain Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi. Ia mengatakan, “Menurut hemat saya, maksud ‘dibelenggu’ di sana adalah majaz (kiasan). Maknanya, wallahu a‘lam, Allah senantiasa menjaga kaum Muslimin yang taat di bulan Ramadhan dari godaan setan sehingga mereka mampu menghindari kemaksiatan. Dengan begitu, setan tidak leluasa menggoda mereka yang berlainan halnya dengan bulan-bulan di luar Ramadhan,” (Lihat Al-Istidzkar, juz III, halaman 377).
Dengan demikian, pengertian setan dibelenggu dalam hadis tadi tidak dapat dimaknai sepenuhnya secara harfiah. Mayoritas ulama hadis bahkan menafsirkannya secara kiasan. Artinya, setan terbelenggu dan terbatasi ruang geraknya oleh orang-orang yang berpuasa dengan senantiasa memenuhi syarat, rukun, dan adabnya.
Masih kita lanjutkan keterangan al-Baji, "Bisa juga kita maknai, bahwa mengingat bulan ini bulan pernuh berkah, penuh pahala amal, banyak ampunan dosa, menyebab setan seperti terbelenggu selama ramadhan. Karena upaya dia menggoda tidak berefek, dan upaya dia menyesatkan tidak membahayakan manusia…" (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, al-Baji, 2/75)
Keempat, yang dibelenggu tidak semua setan. Tapi hanya setan kelas kakap (maradatul jin). Sementara setan-setan lainnya masih bisa bebas. Terjadi maksiat, disebabkan bisikan setan-setan kelas biasa.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan, "Sebagian ulama berpendapat bahwa setan yang dibelenggu hanyalah setan kelas kakap. Berdasarkan pendapat ini, adanya maksiat, disebabkan bisikan setan yang belum dibelenggu."
Syekh Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari mengatakan maknanya, setan terbelenggu pada bulan itu bagi orang-orang berpuasa yang menjaga syarat, rukun, dan adabnya.
Jadi setan yang dibelenggu hanya sebagian saja, tidak seluruhnya. Maksud hadis ini hanya membatasi ruang gerak setan dan jin-jin jahat saja. Itu pun dilakukan oleh orang-orang yang berpuasa. Wallahu a‘lam.
Pertama, sumber maksiat tidak hanya setan. Karena hawa nafsu manusia di sana berperan. Keterangan disampaikan Imam as-Sindi dalam Hasyiyah-nya (catatan) untuk sunan an-Nasai. Beliau mengatakan,
"Hadis ‘setan dibelenggu’ tidak berarti meniadakan segala bentuk maksiat. Karena bisa saja maksiat itu muncul disebabkan pengaruh jiwa yang buruk dan jahat. Dan timbulnya maksiat, tidak selalu berasal dari setan. Jika semua berasal dari setan, berarti ada setan yang mengganggu setan (setannya setan), dan seterusnya bersambung. Sementara kita tahu, tidak ada setan yang mendahului maksiat Iblis. Sehingga maksiat Iblis murni dari dirinya. Allahu a’lam."
Kedua, setan dibelenggu tapi dia masih bisa mengganggu. Hanya saja, dia tidak sebebas ketika dilepas. Karena makhluk yang dibelenggu hanya terikat bagian tangan dan lehernya. Sementara kakinya, lidahnya masih bisa berkarya.
Kita simak keterangan Imam al-Baji – ulama Malikiyah – dalam Syarh Muwatha’,
"Sabda beliau, ‘Setan dibelenggu’ bisa dipahami bahwa itu dibelenggu secara hakiki. Sehingga dia terhalangi untuk melakukan beberapa perbuatan yang tidak mampu dia lakukan kecuali dalam kondisi bebas. Dan hadis ini bukan dalil bahwa setan terhalangi untuk mengganggu sama sekali. Karena orang yang dibelenggu, dia hanya terikat dari leher sampai tangan. Dia masih bisa bicara, membisikkan ide maksiat, atau banyak gangguan lainnya.
Lebih jauh lagi, pembelengguan setan tidak berhubungan langsung dengan keburukan dan kemaksiatan manusia. Sebab, dalam diri manusia masih terdapat pemicu atau pendorong keburukan lain, yakni nafsu, kebiasaan buruk, dan setan manusia.
Adakalanya, tanpa setan, kebiasaan buruk akan mendorong manusia untuk berbuat buruk. Saat tidak dibelenggu pun, setan hanya mendorong dan memperindah keburukan." (Lihat Jamaluddin Abul Farj, Kasyful Musykil min Haditsis Shahihain, juz III, halaman 409).
Ketiga, sejatinya setan tidak dibelenggu secara hakiki. Sifatnya hanya kiasan. Mengingat keberkahan bulan Ramadhan, dan banyaknya ampunan Allah untuk para hamba-Nya selama Ramadhan. Sehingga setan seperti terbelenggu.
Yang menafsirkan ungkapan hadis ini sebagai kiasan, antara lain Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi. Ia mengatakan, “Menurut hemat saya, maksud ‘dibelenggu’ di sana adalah majaz (kiasan). Maknanya, wallahu a‘lam, Allah senantiasa menjaga kaum Muslimin yang taat di bulan Ramadhan dari godaan setan sehingga mereka mampu menghindari kemaksiatan. Dengan begitu, setan tidak leluasa menggoda mereka yang berlainan halnya dengan bulan-bulan di luar Ramadhan,” (Lihat Al-Istidzkar, juz III, halaman 377).
Dengan demikian, pengertian setan dibelenggu dalam hadis tadi tidak dapat dimaknai sepenuhnya secara harfiah. Mayoritas ulama hadis bahkan menafsirkannya secara kiasan. Artinya, setan terbelenggu dan terbatasi ruang geraknya oleh orang-orang yang berpuasa dengan senantiasa memenuhi syarat, rukun, dan adabnya.
Masih kita lanjutkan keterangan al-Baji, "Bisa juga kita maknai, bahwa mengingat bulan ini bulan pernuh berkah, penuh pahala amal, banyak ampunan dosa, menyebab setan seperti terbelenggu selama ramadhan. Karena upaya dia menggoda tidak berefek, dan upaya dia menyesatkan tidak membahayakan manusia…" (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, al-Baji, 2/75)
Baca Juga
Keempat, yang dibelenggu tidak semua setan. Tapi hanya setan kelas kakap (maradatul jin). Sementara setan-setan lainnya masih bisa bebas. Terjadi maksiat, disebabkan bisikan setan-setan kelas biasa.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan, "Sebagian ulama berpendapat bahwa setan yang dibelenggu hanyalah setan kelas kakap. Berdasarkan pendapat ini, adanya maksiat, disebabkan bisikan setan yang belum dibelenggu."
Syekh Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari mengatakan maknanya, setan terbelenggu pada bulan itu bagi orang-orang berpuasa yang menjaga syarat, rukun, dan adabnya.
Jadi setan yang dibelenggu hanya sebagian saja, tidak seluruhnya. Maksud hadis ini hanya membatasi ruang gerak setan dan jin-jin jahat saja. Itu pun dilakukan oleh orang-orang yang berpuasa. Wallahu a‘lam.
(mhy)