Bolehkah Menggabungkan Niat Puasa dengan Diet? Begini Hukumnya
loading...
A
A
A
Banyak di kalangan muslimah, ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan terselip niat puasa sambil berdiet , karena menilai puasa sangat tepat untuk menurunkan berat badan. Bolehkah dilakukan dan bagaimana hukumnya?
Dalam Islam, hikmah pensyariatan puasa tidak hanya berkaitan dengan manfaat di akhirat, namun juga bisa dirasakan di dunia. Di antara manfaat di dunia adalah puasa dapat menjaga kesehatan tubuh dan menjauhkan orang yang melaksanakannya dari penyakit. Sedangkan di antara manfaat di akhirat adalah puasa bisa menjadi tameng dari api neraka, pahala berpuasa dijamin secara khusus oleh Allah di antara sekian jenis ibadah yang lain, terlebih puasa Ramadhan , pahalanya digandakan menjadi berlipat-lipat.
Namun, karena puasa juga memilik efek manfaat dari sisi medis, tidak jarang dalam puasanya seseorang menyertakan niat melakukan diet , yaitu mengatur pola makan untuk kesehatan atau menurunkan berat badan, biasanya atas petunjuk dokter. Bagaimana hukum berpuasa dengan niat diet?
Tentang hal tersebut, Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, seperti dilansir NU Online menjelaskan, puasa merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Tidak sah berpuasa tanpa niat.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi: “Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (HR al-Bukhari).
Adapun batas minimal yang mencukupi dalam niat puasa adalah dengan menyebutkan qashdul fi‘li dan ta’yin. Maksud dari qashdul fi’li adalah menyengaja melakukan puasa, misalnya “aku niat berpuasa”. Ta’yin artinya menentukan jenis puasanya, sekira bisa dibedakan dengan jenis puasa yang lain, semisal puasa Ramadhan, puasa qadha Ramadhan, puasa kafarat, dan lain sebagainya. Kewajiban menentukan jenis puasa berlandaskan hadis Nabi:
“Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan” (HR al-Bukhari).
Al-Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’: “Imam Syafi’i dan para muridnya berkata; tidak sah puasa Ramadhan, qadha, kafarat, nadzar, fidyah haji, dan puasa wajib lainnya kecuali dengan menentukan niat, karena hadis Nabi: Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan.
Hadis ini jelas dalam menyaratkan penentuan niat, karena dasar pensyaratan niat telah dipaham dari permulaan hadits; Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 294). Penentuan jenis puasa (ta’yin) disyaratkan dalam puasa wajib. Sedangkan puasa sunnah sah dilakukan dengan niat yang mutlak, semisal “aku niat berpuasa” tanpa menentukan jenis puasanya.
Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, pengecualian berlaku untuk jenis puasa sunnah rawatib, yaitu puasa yang rutin dilakukan yang memiliki waktu khusus seperti puasa Asyura, puasa Arafah, puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya, maka wajib menentukan jenis puasa-puasa tersebut dalam pelaksanaan niatnya. Semisal “aku niat puasa Syawal”, “Aku niat puasa Asyura” dan lain sebagainya.
Al-Imam al-Nawawi menegaskan: “Adapun puasa sunnah, sah dengan niat mutlaknya berpuasa seperti di dalam kasus niat shalat. Hal ini sebagaimana dimutlakan oleh para muridnya Imam al-Syafi’i. Namun seyogianya disyaratkan menentukan niat di dalam puasa rutin seperti puasa Arafah, Asyura, hari-hari purnama, enam hari Syawal dan semisalnya, sebagaimana disyaratkan hal tersebut dalam shalat sunnah rawatib” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 295).
Adapun puasa Ramadhan, contoh minimal niatnya adalah “aku niat berpuasa Ramadhan”, dan contoh niatnya yang paling sempurna adalah “aku niat berpuasa di esok hari karena menjalankan kewajiban Ramadhan tahun ini karena Allah”. Standar minimal niat puasa sebagaimana penjelasan di atas wajib dilakukan untuk jenis puasa apa pun, artinya tidak sah berpuasa tanpa tata cara niat sebagaimana penjelasan tersebut, misalnya orang berpuasa Ramadhan niatnya “aku niat berpuasa karena diet”, yang demikian ini tidak sah, sebab tidak menyebutkan redaksi Ramadhan dalam pelaksanaan niat.
Lalu bagaimana jika sudah niat puasa sesuai standar fiqih, namun disertai motivasi lain di luar ibadah, semisal diet. Dalam hal ini diperinci menjadi dua kasus.
Pertama, niat diet disertakan saat pelaksanaan niat puasa, semisal “aku niat berpuasa Ramadhan dan diet”. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasanya. Menurut pendapat yang kuat, puasa Ramadhannya tetap sah. Kasus yang demikian jarang sekali terlaku, bahkan hampir tidak ada.
Kedua, ada motivasi melakukan diet di luar pelaksanaan niat puasa. Kasus yang kedua ini banyak terjadi. Artinya, seseorang tetap niat puasa seperti aturan fiqih, namun ia memilki motivasi lain di luar puasa, yakni melakukan diet. Dalam hal ini, puasanya tetap dihukumi sah, sebab puasa telah dilakukan dengan niat sesuai standar fiqih. Sedangkan untuk pahala, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Imam al-Zarkasyi dan Izzuddin bin Abdissalam, tidak mendapat pahala puasa secara mutlak.
Menurut Syekh Ibnu Hajar, mendapat pahala secara mutlak, baik tujuan ibadah lebih dominan, berimbang atau bahkan dikalahkan oleh tujuan diet. Menurut Imam al-Ghazali diperinci, jika tujuan diet lebih dominan, maka pahala puasa tidak didapat, jika lebih dominan tujuan puasa, maka mendapat pahala. Jika keduanya berimbang, maka saling berguguran.
Menurut sebagian ulama, bila dua tujuan berimbang, tetap mendapat pahala. Ikhtilaf tersebut sebagaimana penjelasan dalam referensi sebagai berikut:
“Peringatan. Ikhtilaf ini dinisbatkan kepada keabsahan, Adapun pahala, al-Zarkasyi berkata; perkara yang jelas adalah tidak dihasilkannya pahala. Al-Imam al-Ghazali memilih dalam permasalahan mencampurkan niat ibadah dengan perkara duniawi, pertimbangan perkara yang mendorong atas amal. Bila tujuan duniawi lebih dominan (dari pada tujuan ibadah), maka tidak mendapat pahala. Bila tujuan agama lebih dominan (dari tujuan duniawi), maka mendapat pahala sesuai kadarnya. Bila kedua tujuan berimbang, maka saling berguguran."
Dalam Islam, hikmah pensyariatan puasa tidak hanya berkaitan dengan manfaat di akhirat, namun juga bisa dirasakan di dunia. Di antara manfaat di dunia adalah puasa dapat menjaga kesehatan tubuh dan menjauhkan orang yang melaksanakannya dari penyakit. Sedangkan di antara manfaat di akhirat adalah puasa bisa menjadi tameng dari api neraka, pahala berpuasa dijamin secara khusus oleh Allah di antara sekian jenis ibadah yang lain, terlebih puasa Ramadhan , pahalanya digandakan menjadi berlipat-lipat.
Namun, karena puasa juga memilik efek manfaat dari sisi medis, tidak jarang dalam puasanya seseorang menyertakan niat melakukan diet , yaitu mengatur pola makan untuk kesehatan atau menurunkan berat badan, biasanya atas petunjuk dokter. Bagaimana hukum berpuasa dengan niat diet?
Tentang hal tersebut, Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, seperti dilansir NU Online menjelaskan, puasa merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Tidak sah berpuasa tanpa niat.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi: “Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (HR al-Bukhari).
Adapun batas minimal yang mencukupi dalam niat puasa adalah dengan menyebutkan qashdul fi‘li dan ta’yin. Maksud dari qashdul fi’li adalah menyengaja melakukan puasa, misalnya “aku niat berpuasa”. Ta’yin artinya menentukan jenis puasanya, sekira bisa dibedakan dengan jenis puasa yang lain, semisal puasa Ramadhan, puasa qadha Ramadhan, puasa kafarat, dan lain sebagainya. Kewajiban menentukan jenis puasa berlandaskan hadis Nabi:
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan” (HR al-Bukhari).
Al-Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’: “Imam Syafi’i dan para muridnya berkata; tidak sah puasa Ramadhan, qadha, kafarat, nadzar, fidyah haji, dan puasa wajib lainnya kecuali dengan menentukan niat, karena hadis Nabi: Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan.
Hadis ini jelas dalam menyaratkan penentuan niat, karena dasar pensyaratan niat telah dipaham dari permulaan hadits; Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 294). Penentuan jenis puasa (ta’yin) disyaratkan dalam puasa wajib. Sedangkan puasa sunnah sah dilakukan dengan niat yang mutlak, semisal “aku niat berpuasa” tanpa menentukan jenis puasanya.
Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, pengecualian berlaku untuk jenis puasa sunnah rawatib, yaitu puasa yang rutin dilakukan yang memiliki waktu khusus seperti puasa Asyura, puasa Arafah, puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya, maka wajib menentukan jenis puasa-puasa tersebut dalam pelaksanaan niatnya. Semisal “aku niat puasa Syawal”, “Aku niat puasa Asyura” dan lain sebagainya.
Al-Imam al-Nawawi menegaskan: “Adapun puasa sunnah, sah dengan niat mutlaknya berpuasa seperti di dalam kasus niat shalat. Hal ini sebagaimana dimutlakan oleh para muridnya Imam al-Syafi’i. Namun seyogianya disyaratkan menentukan niat di dalam puasa rutin seperti puasa Arafah, Asyura, hari-hari purnama, enam hari Syawal dan semisalnya, sebagaimana disyaratkan hal tersebut dalam shalat sunnah rawatib” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 295).
Adapun puasa Ramadhan, contoh minimal niatnya adalah “aku niat berpuasa Ramadhan”, dan contoh niatnya yang paling sempurna adalah “aku niat berpuasa di esok hari karena menjalankan kewajiban Ramadhan tahun ini karena Allah”. Standar minimal niat puasa sebagaimana penjelasan di atas wajib dilakukan untuk jenis puasa apa pun, artinya tidak sah berpuasa tanpa tata cara niat sebagaimana penjelasan tersebut, misalnya orang berpuasa Ramadhan niatnya “aku niat berpuasa karena diet”, yang demikian ini tidak sah, sebab tidak menyebutkan redaksi Ramadhan dalam pelaksanaan niat.
Lalu bagaimana jika sudah niat puasa sesuai standar fiqih, namun disertai motivasi lain di luar ibadah, semisal diet. Dalam hal ini diperinci menjadi dua kasus.
Pertama, niat diet disertakan saat pelaksanaan niat puasa, semisal “aku niat berpuasa Ramadhan dan diet”. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasanya. Menurut pendapat yang kuat, puasa Ramadhannya tetap sah. Kasus yang demikian jarang sekali terlaku, bahkan hampir tidak ada.
Kedua, ada motivasi melakukan diet di luar pelaksanaan niat puasa. Kasus yang kedua ini banyak terjadi. Artinya, seseorang tetap niat puasa seperti aturan fiqih, namun ia memilki motivasi lain di luar puasa, yakni melakukan diet. Dalam hal ini, puasanya tetap dihukumi sah, sebab puasa telah dilakukan dengan niat sesuai standar fiqih. Sedangkan untuk pahala, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Imam al-Zarkasyi dan Izzuddin bin Abdissalam, tidak mendapat pahala puasa secara mutlak.
Menurut Syekh Ibnu Hajar, mendapat pahala secara mutlak, baik tujuan ibadah lebih dominan, berimbang atau bahkan dikalahkan oleh tujuan diet. Menurut Imam al-Ghazali diperinci, jika tujuan diet lebih dominan, maka pahala puasa tidak didapat, jika lebih dominan tujuan puasa, maka mendapat pahala. Jika keduanya berimbang, maka saling berguguran.
Menurut sebagian ulama, bila dua tujuan berimbang, tetap mendapat pahala. Ikhtilaf tersebut sebagaimana penjelasan dalam referensi sebagai berikut:
تنبيه هذا بالنسبة للصحة، أما الثواب فقال الزركشي الظاهر عدم حصوله. وقد اختار الغزالي فيما إذا شرك في العبادة غيرها من أمر دنيوي اعتبار الباعث على العمل، فإن كان القصد الدنيوي هو الأغلب لم يكن فيه أجر، وإن كان القصد الديني أغلب فله بقدره، وإن تساويا تساقطا. واختار ابن عبد السلام أنه لا أجر فيه مطلقا سواء تساوى القصدان أم اختلفا. وكلام الغزالي هو الظاهر
“Peringatan. Ikhtilaf ini dinisbatkan kepada keabsahan, Adapun pahala, al-Zarkasyi berkata; perkara yang jelas adalah tidak dihasilkannya pahala. Al-Imam al-Ghazali memilih dalam permasalahan mencampurkan niat ibadah dengan perkara duniawi, pertimbangan perkara yang mendorong atas amal. Bila tujuan duniawi lebih dominan (dari pada tujuan ibadah), maka tidak mendapat pahala. Bila tujuan agama lebih dominan (dari tujuan duniawi), maka mendapat pahala sesuai kadarnya. Bila kedua tujuan berimbang, maka saling berguguran."