Abdullah bin Jahsy, Orang Pertama Bergelar Amirul Mukminin yang Ditegur Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Abdullah bin Jahsy Al-Asady bukan orang lain bagi Rasulullah SAW . Beliau adalah saudara sepupu, putra Arwa binti Abdul Muthalib. Dia juga ipar Rasulullah. Zainab binti Jahsy , isteri Nabi, adalah adiknya.
Abdullah masuk barisan orang pertama yang memeluk Islam (As Sabiqunal Awwalun). Beliau masuk Islam sebelum Rasulullah masuk ke rumah Al-Arqam. Rumah itu menjadi terkenal, karena menjadi tempat berkumpul kaum muslimin yang kala itu masih sedikit jumlahnya.
Tatkala Rasulullah mengizinkan para sahabat hijrah ke Madinah, Abdullah bin Jahsy tercatat sebagai orang kedua yang hijrah, yaitu sesudah Abu Salamah.
Mereka hijrah menyelamatkan agama dan diri mereka dari tekanan dan penganiayaan kaum, kafir Quraisy. Mereka hijrah ke pada Allah dan kerana Allah. Untuk itu ditinggalkannya famili, karib kerabat, harta kekayaan dan kampung halaman yang dicintainya, kerana mereka lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Bagi ‘Abdullah bin Jahsy, hijrah ke Madinah bukanlah merupakan pengalaman baru. Kerana sebelum itu dia telah pernah hijrah ke Habsyah beserta sebagian keluarganya Kali ini dia hijrah lebih lengkap dan menyeluruh. Dia hijrah ke Madinah beserta isteri, anak-anak, saudara saudaranya sebapak, laki-laki dan perempuan, tua muda, dan anak-anak.
Rumah tangganya adalah rumah tangga Islam dan kabilahnya kabilah Islam.
Setelah mereka keluar dan Mekkah, kampung halaman mereka yang ditinggal kelihatan sedih dan memilukan. Sunyi dan hampa bagaikan tak pernah didiami. Tidak terdengar lagi di sana suara anak-anak dan orang bercakap -cakap.
Belum begitu jauh mereka meninggalkan Mekkah, para pembesar Quraisy patroli keliling kota memeriksa keadaan dan siapa di antara kaum muslimin yang hijrah. Para pembesar yang turut memeriksa itu antara lain Abu Jahal dan ‘Utbah bin Rabi’ah.
‘Utbah menengok perkampungan Banu Jahsy. Dia melihat pintu-pintu rumah bagaikan meratap menghempas-hempaskan diri ditiup angin. Angin pun turut menangis menyanyikan lagu sunyi ditinggalkan penduduk yang biasa ceria dalam kedamaian.
“Perkampungan Bani Jahsy meratap sunyi ditinggalkan penduduknya,” kata ‘Utbah kepada Abu Jahal.
“Mari kita periksa!” kata Abu Jahal masuk ke rumah Abdullah bin Jahsy.
Rumahnya terhitung paling bagus dan dia terbilang penduduk terkaya. Melihat harta yang banyak ditinggal begitu saja oleh ‘Abdullah bin Jahsy, timbul tamak Abu Jahal. Diambilnya harta itu semua, dirampasnya menjadi miliknya. Tak ketinggalan pula harta keluarga yang lain-lain, saudara-saudara ‘Abdullah bin Jahsy.
Ketika Abdullah mendengar kabar tentang kelakuan Abu Jahal yang terkutuk itu, dia mengadu kepada Rasulullah.
“Tidak relakah engkau, hai ‘Abdullah? Allah menggantinya dengan rumah yang lebih baik di surga?” jawab Rasulullah begitu mendengar pengaduan Abdullah.
“Tentu saja rela, ya Rasulullah!” kata Abdullah.
“Nah.. itulah untukmu!” kata Rasulullah meyakinkan.
Maka sejuklah hati ‘Abdullah. Ya, Abdullah bin Jahsy merasa tenteram tinggal di Madinah, setelah ditempa dengan berbagai penderitaan selama hijrah ke Habsyah. Dia merasa damai bersama saudara-saudara seagama, kaum Anshar, setelah mengalami tekanan dan penganiayaan di tengah-tengah bangsanya sendiri, kaum Quraisy.
Walaupun harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup beserta keluarga besarnya, namun dia selalu gembira dan bersemangat. Tetapi sayang hal itu tidak lama dinikmatinya.
Amirul Mukminin
Rasulullah SAW memilih delapan orang yang dipandang cakap untuk membentuk lascar atau pasukan tentara. Ini sebagai cikal bakal pembangunan tentara Islam. Di antara mereka terpilih ‘Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
“Angkatlah orang yang paling sabar menderita haus dan lapar di antara kalian untuk menjadi “Amir” (komandan)!” ujar Rasulullah saat memberikan pengarahan.
Mereka sepakat mengangkat Abdullah bin Jahsy menjadi Amir. Sebuah bendera diikatkan Rasulullah dengan tangan beliau pada tangkainya, kemudian secara resmi diserahkan kepada Abdullah bin Jahsy. Itulah bendera pertama dalam Islam.
Abdullah bin Jahsy tercatat menjadi orang pertama yang dipercaya membawa bendera itu. Sesuai dengan jabatan dan tugasnya mengelola pertahanan, keamanan dan ketertiban kaum muslimin, maka dia bergelar “Amir”. Karena itu dia pulalah orang pertama bergelar “Amirul Mukminin”.
Pada suatu hari setelah dia dilantik menjadi Amir, Rasulullah menugaskan Abdullah dan pasukannya dengan sebuah Surat Perintah melakukan pengintaian. Beliau menyerahkan surat tapi melarang membuka Surat Perintah tersebut, kecuali sesudah dua hari perjalanan.
Setelah waktunya tiba, Abdullah membuka Surat Perintah dan membacanya. “Bila engkau membaca surat ini, terus berjalan ke arah Makkah, antara Thaif dan Makkah. Amati dengan seksama gerak-gerik kaum Quraisy, dan segera melapor kepada kami!”
“Saya dengar dan saya patuh, hai Nabi!” kata Abdullah selesai membaca surat tersebut.
Maka dikumpulkannya anggota pasukannya seraya berkata, “Rasulullah memerintahkan melakukan pengintaian terhadap kuam Quraisy. Mengamat-amati gerak-gerik mereka dengan seksama, dan senantiasa melapor kepada beliau. Beliau melarang saya memaksa kalian. Karena itu siapa ingin syahid, silakan terus menyertai saya dalam tugas ini, dan siapa takut, pulanglah sekarang! Kalian tidak akan dihukum atau disakiti.”
“Segala perintah kami dengar dan kami patuhi, ya Rasulullah! Kami terus menyertai Anda sesuai dengan perintah Rasulullah!” jawab mereka serentak dan bersemangat.
Tiba di Nakhlah mereka langsung memeriksa medan dan menyiapkan pos pengintaian. Kemudian Abdullah membagi-bagi tugas untuk mengintai dan mengamat amati kegiatan kaum Quraisy.
Sementara mereka bersiap-siap demikian, tiba-tiba terlihat di kejauhan sebuah kafilah Quraisy terdiri tempat orang. Mereka terdiri Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, Utsman bin Abdullah, dan saudaranya Al-Mughirah.
Mereka membawa barang dagangannya seperti kulit, anggur, dan sebagainya. Barang-barang itu biasa diperdagangkan kaum Qiraisy.
Abdullah bin Jahsy bermusyawarah dengan pasukannya, apakah kafilah itu akan diserang atau tidak. Soalnya, hari itu adalah hari terakhir bulan Haram . Bulan Haram ialah bulan Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut orang Arab dilarang (haram) berperang.
Jika kafilah itu diserang, berarti mereka menyerang dalam bulan Haram, maka berarti pula melanggar kehormatan bulan Haram, dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika mereka dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Mekkah); berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman, karena di sana dilarang berperang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta mereka. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi meloloskan diri.
Selanjutnya, Abdullah bin Jahsy dan pasukannya membawa tawanan dan harta rampasan ke Madinah.
Setelah mereka tiba di hadapan Rasulullah, ternyata beliau tidak membenarkan tindakan mereka. Beliau marah karena mereka bertindak di luar perintah (tidak disiplin).
“Demi Allah! Saya tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Saya memerintahkan mencari berita mengenai orang-orang Quraisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkannya kepada saya,” kata Rasulullah marah.
Rasulullah menangguhkan putusan mengenai kedua tawanan dan harta rampasan. Beliau tidak mengusiknya sementara menunggu putusan dan Allah, Abdullah bin Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka dianggap bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah.
Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dikucilkan.
Kedamaian yang dinikmati Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah?“
Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut.
Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad menumpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan...”
Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Quraisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang.
Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya.
Allah mengampuni tindakan mereka dengan menurunkan wahyu kepada Rasulullah:
“Mereka bertanya kepadamu perihal berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan Haram adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan membuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka berhasil mengembalikan kamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dan agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran. maka mereka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ ( QS Al-Baqarah : 217).
Sesudah ayat yang mulia itu turun, tenanglah hati Rasulullah. Harta rampasan disita untuk Baitul Mal. Kedua tawanan diminta uang tebusan. Beliau menyatakan setuju dengan tindakan Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawan, sesuai dengan ketentuan Allah. Karena kasus mereka merupakan kasus besar dalam kehidupan kaum Muslimin, maka rampasan tercatat dalam sejarah Islam sebagai rampasan pertama.
Musuh yang mereka tewaskan, kaum musyrik pertama yang tertumpah darahnya di tangan kaum muslimin. Tawanan mereka adalah tawanan pertama yang jatuh ke tangan kaum muslimin.
Syahid di Uhud
Tidak berapa lama kemudian terjadi perang Badar . Ujian bagi Abdullah bin Jahsy agaknya belum selesai. Dia cedera dalam perang tersebut. Sesudah itu menyusul pula perang Uhud.
Abdullah menemui sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqash . “Tidak berdoakah engkau?” tanyanya menjelang perang Uhud.
“Tentu...!“ jawab Sa’ad.
Mereka berdua berada di tempat terpencil pada saat itu. “Ya, Rabbi! Jika saya bersua musuh, persuakanlah saya dengan orang yang sangat jahat dan buas. Saya akan bertempur melawannya. Berilah saya kemenangan, sehingga dia tewas di tangan saya dan kurampas perlengkapannya,” begitu Sa’ad berdoa.
Abdulllah bin Jahsy mengaminkan do’a tersebut. Kemudian dia berdo’a pula; ‘Wahai Allah! Berilah saya rezki seorang musuh yang sangat jahat dan buas. Saya akan melawannya demi Engkau, tetapi kemudian dia kembali menewaskan saya. Kemudian dipotongnya hidung dan telinga saya. Bila esok saya menemui Engkau, Engkau bertanya kepada saya, ‘Mengapa hidung dan telingamu buntung, hai Abdullah?’ Saya menjawab, ‘Karena membela Agama dan Rasul Engkau!’ Lalu Engkau berkata, “Shadaqta... (engkau benar).”
Sa’ad mengatakan, “Doa Abdullah bin Jahsy lebih bagus daripada doa saya. Saya temui dia petang hari, kudapati dia telah tewas sesuai dengan doanya. Hidung dan telinganya buntung dan digantungkan orang pada sebatang pohon dengan seutas tali.”
Allah Ta’ala memperkenankan do’a ‘Abdullah bin Jahsy. Allah memuliakannya sebagai syahid, berbarengan dengan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib .
Rasulullah menguburkan mereka berdua dalam satu kuburan. Air mata Rasulullah yang suci mengalir menyirami kubur mereka, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasad.
Abdullah masuk barisan orang pertama yang memeluk Islam (As Sabiqunal Awwalun). Beliau masuk Islam sebelum Rasulullah masuk ke rumah Al-Arqam. Rumah itu menjadi terkenal, karena menjadi tempat berkumpul kaum muslimin yang kala itu masih sedikit jumlahnya.
Tatkala Rasulullah mengizinkan para sahabat hijrah ke Madinah, Abdullah bin Jahsy tercatat sebagai orang kedua yang hijrah, yaitu sesudah Abu Salamah.
Mereka hijrah menyelamatkan agama dan diri mereka dari tekanan dan penganiayaan kaum, kafir Quraisy. Mereka hijrah ke pada Allah dan kerana Allah. Untuk itu ditinggalkannya famili, karib kerabat, harta kekayaan dan kampung halaman yang dicintainya, kerana mereka lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Bagi ‘Abdullah bin Jahsy, hijrah ke Madinah bukanlah merupakan pengalaman baru. Kerana sebelum itu dia telah pernah hijrah ke Habsyah beserta sebagian keluarganya Kali ini dia hijrah lebih lengkap dan menyeluruh. Dia hijrah ke Madinah beserta isteri, anak-anak, saudara saudaranya sebapak, laki-laki dan perempuan, tua muda, dan anak-anak.
Rumah tangganya adalah rumah tangga Islam dan kabilahnya kabilah Islam.
Setelah mereka keluar dan Mekkah, kampung halaman mereka yang ditinggal kelihatan sedih dan memilukan. Sunyi dan hampa bagaikan tak pernah didiami. Tidak terdengar lagi di sana suara anak-anak dan orang bercakap -cakap.
Belum begitu jauh mereka meninggalkan Mekkah, para pembesar Quraisy patroli keliling kota memeriksa keadaan dan siapa di antara kaum muslimin yang hijrah. Para pembesar yang turut memeriksa itu antara lain Abu Jahal dan ‘Utbah bin Rabi’ah.
‘Utbah menengok perkampungan Banu Jahsy. Dia melihat pintu-pintu rumah bagaikan meratap menghempas-hempaskan diri ditiup angin. Angin pun turut menangis menyanyikan lagu sunyi ditinggalkan penduduk yang biasa ceria dalam kedamaian.
“Perkampungan Bani Jahsy meratap sunyi ditinggalkan penduduknya,” kata ‘Utbah kepada Abu Jahal.
“Mari kita periksa!” kata Abu Jahal masuk ke rumah Abdullah bin Jahsy.
Rumahnya terhitung paling bagus dan dia terbilang penduduk terkaya. Melihat harta yang banyak ditinggal begitu saja oleh ‘Abdullah bin Jahsy, timbul tamak Abu Jahal. Diambilnya harta itu semua, dirampasnya menjadi miliknya. Tak ketinggalan pula harta keluarga yang lain-lain, saudara-saudara ‘Abdullah bin Jahsy.
Ketika Abdullah mendengar kabar tentang kelakuan Abu Jahal yang terkutuk itu, dia mengadu kepada Rasulullah.
“Tidak relakah engkau, hai ‘Abdullah? Allah menggantinya dengan rumah yang lebih baik di surga?” jawab Rasulullah begitu mendengar pengaduan Abdullah.
“Tentu saja rela, ya Rasulullah!” kata Abdullah.
“Nah.. itulah untukmu!” kata Rasulullah meyakinkan.
Maka sejuklah hati ‘Abdullah. Ya, Abdullah bin Jahsy merasa tenteram tinggal di Madinah, setelah ditempa dengan berbagai penderitaan selama hijrah ke Habsyah. Dia merasa damai bersama saudara-saudara seagama, kaum Anshar, setelah mengalami tekanan dan penganiayaan di tengah-tengah bangsanya sendiri, kaum Quraisy.
Walaupun harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup beserta keluarga besarnya, namun dia selalu gembira dan bersemangat. Tetapi sayang hal itu tidak lama dinikmatinya.
Amirul Mukminin
Rasulullah SAW memilih delapan orang yang dipandang cakap untuk membentuk lascar atau pasukan tentara. Ini sebagai cikal bakal pembangunan tentara Islam. Di antara mereka terpilih ‘Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
“Angkatlah orang yang paling sabar menderita haus dan lapar di antara kalian untuk menjadi “Amir” (komandan)!” ujar Rasulullah saat memberikan pengarahan.
Mereka sepakat mengangkat Abdullah bin Jahsy menjadi Amir. Sebuah bendera diikatkan Rasulullah dengan tangan beliau pada tangkainya, kemudian secara resmi diserahkan kepada Abdullah bin Jahsy. Itulah bendera pertama dalam Islam.
Abdullah bin Jahsy tercatat menjadi orang pertama yang dipercaya membawa bendera itu. Sesuai dengan jabatan dan tugasnya mengelola pertahanan, keamanan dan ketertiban kaum muslimin, maka dia bergelar “Amir”. Karena itu dia pulalah orang pertama bergelar “Amirul Mukminin”.
Pada suatu hari setelah dia dilantik menjadi Amir, Rasulullah menugaskan Abdullah dan pasukannya dengan sebuah Surat Perintah melakukan pengintaian. Beliau menyerahkan surat tapi melarang membuka Surat Perintah tersebut, kecuali sesudah dua hari perjalanan.
Setelah waktunya tiba, Abdullah membuka Surat Perintah dan membacanya. “Bila engkau membaca surat ini, terus berjalan ke arah Makkah, antara Thaif dan Makkah. Amati dengan seksama gerak-gerik kaum Quraisy, dan segera melapor kepada kami!”
“Saya dengar dan saya patuh, hai Nabi!” kata Abdullah selesai membaca surat tersebut.
Maka dikumpulkannya anggota pasukannya seraya berkata, “Rasulullah memerintahkan melakukan pengintaian terhadap kuam Quraisy. Mengamat-amati gerak-gerik mereka dengan seksama, dan senantiasa melapor kepada beliau. Beliau melarang saya memaksa kalian. Karena itu siapa ingin syahid, silakan terus menyertai saya dalam tugas ini, dan siapa takut, pulanglah sekarang! Kalian tidak akan dihukum atau disakiti.”
“Segala perintah kami dengar dan kami patuhi, ya Rasulullah! Kami terus menyertai Anda sesuai dengan perintah Rasulullah!” jawab mereka serentak dan bersemangat.
Tiba di Nakhlah mereka langsung memeriksa medan dan menyiapkan pos pengintaian. Kemudian Abdullah membagi-bagi tugas untuk mengintai dan mengamat amati kegiatan kaum Quraisy.
Sementara mereka bersiap-siap demikian, tiba-tiba terlihat di kejauhan sebuah kafilah Quraisy terdiri tempat orang. Mereka terdiri Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, Utsman bin Abdullah, dan saudaranya Al-Mughirah.
Mereka membawa barang dagangannya seperti kulit, anggur, dan sebagainya. Barang-barang itu biasa diperdagangkan kaum Qiraisy.
Abdullah bin Jahsy bermusyawarah dengan pasukannya, apakah kafilah itu akan diserang atau tidak. Soalnya, hari itu adalah hari terakhir bulan Haram . Bulan Haram ialah bulan Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut orang Arab dilarang (haram) berperang.
Jika kafilah itu diserang, berarti mereka menyerang dalam bulan Haram, maka berarti pula melanggar kehormatan bulan Haram, dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika mereka dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Mekkah); berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman, karena di sana dilarang berperang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta mereka. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi meloloskan diri.
Selanjutnya, Abdullah bin Jahsy dan pasukannya membawa tawanan dan harta rampasan ke Madinah.
Setelah mereka tiba di hadapan Rasulullah, ternyata beliau tidak membenarkan tindakan mereka. Beliau marah karena mereka bertindak di luar perintah (tidak disiplin).
“Demi Allah! Saya tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Saya memerintahkan mencari berita mengenai orang-orang Quraisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkannya kepada saya,” kata Rasulullah marah.
Rasulullah menangguhkan putusan mengenai kedua tawanan dan harta rampasan. Beliau tidak mengusiknya sementara menunggu putusan dan Allah, Abdullah bin Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka dianggap bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah.
Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dikucilkan.
Kedamaian yang dinikmati Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah?“
Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut.
Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad menumpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan...”
Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Quraisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang.
Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya.
Allah mengampuni tindakan mereka dengan menurunkan wahyu kepada Rasulullah:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفْرٌۢ بِهِۦ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِۦ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ ٱلْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ ٱسْتَطَٰعُوا۟ ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Mereka bertanya kepadamu perihal berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan Haram adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan membuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka berhasil mengembalikan kamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dan agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran. maka mereka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ ( QS Al-Baqarah : 217).
Sesudah ayat yang mulia itu turun, tenanglah hati Rasulullah. Harta rampasan disita untuk Baitul Mal. Kedua tawanan diminta uang tebusan. Beliau menyatakan setuju dengan tindakan Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawan, sesuai dengan ketentuan Allah. Karena kasus mereka merupakan kasus besar dalam kehidupan kaum Muslimin, maka rampasan tercatat dalam sejarah Islam sebagai rampasan pertama.
Musuh yang mereka tewaskan, kaum musyrik pertama yang tertumpah darahnya di tangan kaum muslimin. Tawanan mereka adalah tawanan pertama yang jatuh ke tangan kaum muslimin.
Syahid di Uhud
Tidak berapa lama kemudian terjadi perang Badar . Ujian bagi Abdullah bin Jahsy agaknya belum selesai. Dia cedera dalam perang tersebut. Sesudah itu menyusul pula perang Uhud.
Abdullah menemui sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqash . “Tidak berdoakah engkau?” tanyanya menjelang perang Uhud.
“Tentu...!“ jawab Sa’ad.
Mereka berdua berada di tempat terpencil pada saat itu. “Ya, Rabbi! Jika saya bersua musuh, persuakanlah saya dengan orang yang sangat jahat dan buas. Saya akan bertempur melawannya. Berilah saya kemenangan, sehingga dia tewas di tangan saya dan kurampas perlengkapannya,” begitu Sa’ad berdoa.
Abdulllah bin Jahsy mengaminkan do’a tersebut. Kemudian dia berdo’a pula; ‘Wahai Allah! Berilah saya rezki seorang musuh yang sangat jahat dan buas. Saya akan melawannya demi Engkau, tetapi kemudian dia kembali menewaskan saya. Kemudian dipotongnya hidung dan telinga saya. Bila esok saya menemui Engkau, Engkau bertanya kepada saya, ‘Mengapa hidung dan telingamu buntung, hai Abdullah?’ Saya menjawab, ‘Karena membela Agama dan Rasul Engkau!’ Lalu Engkau berkata, “Shadaqta... (engkau benar).”
Sa’ad mengatakan, “Doa Abdullah bin Jahsy lebih bagus daripada doa saya. Saya temui dia petang hari, kudapati dia telah tewas sesuai dengan doanya. Hidung dan telinganya buntung dan digantungkan orang pada sebatang pohon dengan seutas tali.”
Allah Ta’ala memperkenankan do’a ‘Abdullah bin Jahsy. Allah memuliakannya sebagai syahid, berbarengan dengan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib .
Rasulullah menguburkan mereka berdua dalam satu kuburan. Air mata Rasulullah yang suci mengalir menyirami kubur mereka, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasad.
(mhy)