3 Idiom yang Disorot Pada Surah Ar-Rum Ayat 30, Terakhir Soal Fitrah
loading...
A
A
A
Sekali waktu pernah Ja’far Ash-Shadiq diminta orang untuk menguraikan tentang Tuhan sehingga seakan dia melihat-Nya.
Imam bertanya: “Pernahkah kau berlayar?”
“Ya,” jawabnya.
“Pernahkah kapalmu diterjang ombak yang dahsyat?”
“Ya.”
“Apa pada waktu itu kau kehilangan harapan pada segala yang kau lihat dan kau merasa bahwa ajalmu telah tiba?”
“Ya.”
“Lalu apa kau masih punya harapan untuk selamat?”
“Ya.”
“Nah, kalau kau telah kehilangan harapan pada semua sarana (penyelamatan), lalu pada siapa kau gantungkan harapanmu di detik-detik terakhir itu?”
Orang itu pun lantas tertegun dan teringat oleh keadaan yang menimpanya, yakni kesadaran fitri manusia akan keberadaan Tuhannya.
Kecenderungan kuat pada Tuhan ini memang bisa saja “tergantikan” oleh tuhan-tuhan palsu, sebagaimana dot bisa saja menggantikan puting ibu. Akan tetapi, sebagaimana bayi akan segera kembali menangis dan meraung hingga parau begitu ia sadar bahwa dot tidak bisa memuaskannya, demikian pula halnya dengan penghambaan manusia kepada tuhan-tuhan palsunya.
Fitrah manusia menuntut untuk kembali kepada hakikatnya sebagai hamba yang hanya merunduk rendah di hadapan Tuhan sejati. Dan sebelum kehambaan (‘ubudiyyah) dan penghambaan (‘ibadah) kepada Tuhan dan Pemilik Sejati itu tercapai, manusia akan senantiasa berada dalam keadaan sesat, sakit, lalai, keluar dari keasliannya, hina dina dan sebagainya. Allah berfirman,
“Dan jangan kamu bikin-bikin tuhan selain Allah sehingga kamu menjadi hina dina. Dan Tuhanmu telah memerintahkanmu untuk tidak menyembah selain-Nya…” ( QS 17 :22-23)
Dalam pandangan para sufi, bagian pertama ayat ini menegaskan bahwa penghambaan pada berbagai manifestasi tuhan palsu hanya akan memerosokkannya kepada kehinaan dan kenistaan.
Sedangkan bagian setelahnya mengungkapkan bahwa Allah telah menurunkan perintah dan putusan (qadha’) pada manusia, baik dalam konteks hukum kealaman (takwini) maupun syariat, agar tidak menyembah selain-Nya. Dan perintah Allah pastilah terlaksana berdasarkan firman-Nya,
“Sesungguhnya perintah-Nya bilamana Dia menghendaki sesuatu ialah dengan mengatakan kepadanya: “Jadilah!”, maka menjadilah ia.” ( QS 36 :83).
Dalam konteks yang sama Allah berfirman,
Imam bertanya: “Pernahkah kau berlayar?”
“Ya,” jawabnya.
“Pernahkah kapalmu diterjang ombak yang dahsyat?”
“Ya.”
“Apa pada waktu itu kau kehilangan harapan pada segala yang kau lihat dan kau merasa bahwa ajalmu telah tiba?”
“Ya.”
“Lalu apa kau masih punya harapan untuk selamat?”
“Ya.”
“Nah, kalau kau telah kehilangan harapan pada semua sarana (penyelamatan), lalu pada siapa kau gantungkan harapanmu di detik-detik terakhir itu?”
Orang itu pun lantas tertegun dan teringat oleh keadaan yang menimpanya, yakni kesadaran fitri manusia akan keberadaan Tuhannya.
Kecenderungan kuat pada Tuhan ini memang bisa saja “tergantikan” oleh tuhan-tuhan palsu, sebagaimana dot bisa saja menggantikan puting ibu. Akan tetapi, sebagaimana bayi akan segera kembali menangis dan meraung hingga parau begitu ia sadar bahwa dot tidak bisa memuaskannya, demikian pula halnya dengan penghambaan manusia kepada tuhan-tuhan palsunya.
Fitrah manusia menuntut untuk kembali kepada hakikatnya sebagai hamba yang hanya merunduk rendah di hadapan Tuhan sejati. Dan sebelum kehambaan (‘ubudiyyah) dan penghambaan (‘ibadah) kepada Tuhan dan Pemilik Sejati itu tercapai, manusia akan senantiasa berada dalam keadaan sesat, sakit, lalai, keluar dari keasliannya, hina dina dan sebagainya. Allah berfirman,
“Dan jangan kamu bikin-bikin tuhan selain Allah sehingga kamu menjadi hina dina. Dan Tuhanmu telah memerintahkanmu untuk tidak menyembah selain-Nya…” ( QS 17 :22-23)
Dalam pandangan para sufi, bagian pertama ayat ini menegaskan bahwa penghambaan pada berbagai manifestasi tuhan palsu hanya akan memerosokkannya kepada kehinaan dan kenistaan.
Sedangkan bagian setelahnya mengungkapkan bahwa Allah telah menurunkan perintah dan putusan (qadha’) pada manusia, baik dalam konteks hukum kealaman (takwini) maupun syariat, agar tidak menyembah selain-Nya. Dan perintah Allah pastilah terlaksana berdasarkan firman-Nya,
“Sesungguhnya perintah-Nya bilamana Dia menghendaki sesuatu ialah dengan mengatakan kepadanya: “Jadilah!”, maka menjadilah ia.” ( QS 36 :83).
Baca Juga
Dalam konteks yang sama Allah berfirman,