3 Idiom yang Disorot Pada Surah Ar-Rum Ayat 30, Terakhir Soal Fitrah
loading...
A
A
A
Pada surah Ar-Rum (30) ayat 30 pertama-tama, berbicara kepada jati diri kita dengan kata-kata: “Hadapkanlah wajahmu!” Itulah ungkapan yang dalam bahasa Arab dipakai untuk menarik perhatian dan membangkitkan kesadaran.
Selanjutnya, ayat itu berbicara mengenai ad-din, yakni ketaatan dan kepatuhan abadi manusia yang juga barangkali mengacu kepada perjanjian primordial antara manusia dan Tuhannya yang tertera dalam ayat 172-173 surah Al-A’raf .
Kemudian ayat itu mengaitkan ad-din dengan fitrah yang dengannya Allah menciptakan manusia. Dan terakhir ayat itu menyimpulkan bahwa penghadapan wajah kepada ketaatan itu merupakan fitrah yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Allah SWT berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada ad-din selurus-lurusnya, fithrah Allah yang dengannya Dia menciptakan (f-th-r) manusia, tiada perubahan pada fithrah Allah, itulah ad-din yang kukuh meskipun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.” (QS Ar-Rum: 30)
Tiga Idiom
Ayat di atas menyebut tiga idiom yang saling berkaitan. Idiom pertama ialah wajh (wajah). Dalam soal yang berkaitan dengan membasuh wajah, Ibn Arabi dalam kitab "Al-Futuhaat al-Makkiyyah", Bab Taharah, mengatakan:
“Wajh (wajah) seseorang – atau benda – sesungguhnya berarti hakikat, zat dan jati dirinya. Karenanya, dapatlah orang mengatakan: wajah suatu benda, wajah suatu masalah atau wajah suatu hukum untuk merujuk pada hakikat, zat dan inti dari apa-apa yang disebutkan.
Allah SWT berfirman, “Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri memandangi Tuhan mereka. Dan ada pula wajah-wajah mereka yang muram durja. Mereka menduga akan datangnya malapetaka” ( QS Al-Qiyamah : 22-25).
Jelas bahwa wajah yang berada di bagian depan “manusia” tidak bisa “menduga”, karena tindak menduga-sangka hanya bisa dilakukan oleh jiwa manusia.”
Idiom kedua ialah ad-din. Menurut Ar-Raghib Al-Ishfahani dalam kitab "Mufradat li Alfadz Al-Quran", ad-din dipakai untuk menunjukkan arti ketaatan dan kepatuhan. Kaitannya dengan agama (millah) ialah pada sisi ketaatan yang terdapat di dalamnya. Sebagian arti kata ad-din dalam Al-Qur'an merujuk kepada arti asalnya dan sebagian lain merujuk kepada ketaatan dalam beragama, khususnya ketaatan dalam beragama Islam.
Idiom ketiga ialah fithrah (fitrah). Fitrah berasal dari tiga akar huruf ف ط ر yang berarti membentangkan atau menghamparkan sesuatu. Bila dikaitkan dengan Tuhan, maka kata ini berarti menciptakan sesuatu dengan pola dasar tertentu. Dengan demikian, ungkapan “fitrah Allah pada manusia” dalam surah Ar-Rum ayat ke-30 di atas berarti pola dasar yang dengannya Tuhan menciptakan manusia.
Ciri Khas Fitrah Manusia
Ada dua ciri khas fitrah manusia. Pertama, ia bukan merupakan hasil upaya atau rekayasa. Sebaliknya, ia ada pada kedalaman manusia secara primordial dan intrinsik.
Kedua, fitrah ada pada segenap individu manusia, terlepas dari segala perbedaan yang ada pada mereka. Syaikh Taqi Mishbah Yazdi dalam kitab "Ma’arif Al-Quran" menyebutkan dua manifestasi fitrah: pertama pada tataran pengetahuan dan kesadaran; dan kedua pada tataran keinginan dan kecenderungan.
Selanjutnya, fitrah manusia mengantarkannya kepada kehambaan dan penghambaan. Sejenak saja manusia menengok pada dirinya, ia akan menemukan hakikat kehambaan seperti terungkap pada kekurangan, ketergantungan, kefakiran, kehinaan dan kesementaraan yang menyelubungi hidupnya.
Dan hakikat itulah yang akan mengarahkannya kepada kesadaran dan penghayatan mengenai Pencipta alam. Sedikit teguran dan gugahan sudah memadai untuk menyadarkan seorang manusia akan keberadaan dan kehadiran Ilahi di alam semesta.
Bagi para sufi, ada dua jenis teguran: yang diupayakan oleh manusia itu sendiri dengan perenungan dan pengendalian diri; dan yang dilakukan langsung oleh Tuhan melalui berbagai kejadian dan peristiwa.
Selanjutnya, ayat itu berbicara mengenai ad-din, yakni ketaatan dan kepatuhan abadi manusia yang juga barangkali mengacu kepada perjanjian primordial antara manusia dan Tuhannya yang tertera dalam ayat 172-173 surah Al-A’raf .
Kemudian ayat itu mengaitkan ad-din dengan fitrah yang dengannya Allah menciptakan manusia. Dan terakhir ayat itu menyimpulkan bahwa penghadapan wajah kepada ketaatan itu merupakan fitrah yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Allah SWT berfirman:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada ad-din selurus-lurusnya, fithrah Allah yang dengannya Dia menciptakan (f-th-r) manusia, tiada perubahan pada fithrah Allah, itulah ad-din yang kukuh meskipun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.” (QS Ar-Rum: 30)
Tiga Idiom
Ayat di atas menyebut tiga idiom yang saling berkaitan. Idiom pertama ialah wajh (wajah). Dalam soal yang berkaitan dengan membasuh wajah, Ibn Arabi dalam kitab "Al-Futuhaat al-Makkiyyah", Bab Taharah, mengatakan:
“Wajh (wajah) seseorang – atau benda – sesungguhnya berarti hakikat, zat dan jati dirinya. Karenanya, dapatlah orang mengatakan: wajah suatu benda, wajah suatu masalah atau wajah suatu hukum untuk merujuk pada hakikat, zat dan inti dari apa-apa yang disebutkan.
Allah SWT berfirman, “Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri memandangi Tuhan mereka. Dan ada pula wajah-wajah mereka yang muram durja. Mereka menduga akan datangnya malapetaka” ( QS Al-Qiyamah : 22-25).
Jelas bahwa wajah yang berada di bagian depan “manusia” tidak bisa “menduga”, karena tindak menduga-sangka hanya bisa dilakukan oleh jiwa manusia.”
Idiom kedua ialah ad-din. Menurut Ar-Raghib Al-Ishfahani dalam kitab "Mufradat li Alfadz Al-Quran", ad-din dipakai untuk menunjukkan arti ketaatan dan kepatuhan. Kaitannya dengan agama (millah) ialah pada sisi ketaatan yang terdapat di dalamnya. Sebagian arti kata ad-din dalam Al-Qur'an merujuk kepada arti asalnya dan sebagian lain merujuk kepada ketaatan dalam beragama, khususnya ketaatan dalam beragama Islam.
Idiom ketiga ialah fithrah (fitrah). Fitrah berasal dari tiga akar huruf ف ط ر yang berarti membentangkan atau menghamparkan sesuatu. Bila dikaitkan dengan Tuhan, maka kata ini berarti menciptakan sesuatu dengan pola dasar tertentu. Dengan demikian, ungkapan “fitrah Allah pada manusia” dalam surah Ar-Rum ayat ke-30 di atas berarti pola dasar yang dengannya Tuhan menciptakan manusia.
Ciri Khas Fitrah Manusia
Ada dua ciri khas fitrah manusia. Pertama, ia bukan merupakan hasil upaya atau rekayasa. Sebaliknya, ia ada pada kedalaman manusia secara primordial dan intrinsik.
Kedua, fitrah ada pada segenap individu manusia, terlepas dari segala perbedaan yang ada pada mereka. Syaikh Taqi Mishbah Yazdi dalam kitab "Ma’arif Al-Quran" menyebutkan dua manifestasi fitrah: pertama pada tataran pengetahuan dan kesadaran; dan kedua pada tataran keinginan dan kecenderungan.
Selanjutnya, fitrah manusia mengantarkannya kepada kehambaan dan penghambaan. Sejenak saja manusia menengok pada dirinya, ia akan menemukan hakikat kehambaan seperti terungkap pada kekurangan, ketergantungan, kefakiran, kehinaan dan kesementaraan yang menyelubungi hidupnya.
Dan hakikat itulah yang akan mengarahkannya kepada kesadaran dan penghayatan mengenai Pencipta alam. Sedikit teguran dan gugahan sudah memadai untuk menyadarkan seorang manusia akan keberadaan dan kehadiran Ilahi di alam semesta.
Bagi para sufi, ada dua jenis teguran: yang diupayakan oleh manusia itu sendiri dengan perenungan dan pengendalian diri; dan yang dilakukan langsung oleh Tuhan melalui berbagai kejadian dan peristiwa.