Halal Bilhalal Menurut Al-Quran: Makna Idul Fitri dan Kembali ke Tempat Semula
loading...
A
A
A
Al-Qur'an adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama. M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menyebut ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu.
Pertama, melalui penjelasan Nabi SAW , para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini dinamai tafsir bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
Quraish Shihab mengkaji substansi halal bihalal melalui Al-Qur'an dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga. Ia pun berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.
Idul Fitri
Menurut Quraish Shihab, kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
Menurut Quraish, hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam pandangan Al-Qur'an, katanya, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesame manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Qur'an.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu, “Janganlah mendekati pohon ini” (QS Al-Baqarah [2]: 35).
Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Qur'an menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7] 22).
Menurut Quraish, kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain:
Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni "ini".
Akan tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).
Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Qur'an,
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku ( QS Al-Baqarah [2] : 186).
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Qur'an memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah SWT.
Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali" ( QS Al-Isra' [l7] : 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadis Nabi SAW pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu."
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini--menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fltri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Pertama, melalui penjelasan Nabi SAW , para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini dinamai tafsir bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
Quraish Shihab mengkaji substansi halal bihalal melalui Al-Qur'an dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga. Ia pun berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.
Idul Fitri
Menurut Quraish Shihab, kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
Menurut Quraish, hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam pandangan Al-Qur'an, katanya, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesame manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Qur'an.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu, “Janganlah mendekati pohon ini” (QS Al-Baqarah [2]: 35).
Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Qur'an menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7] 22).
Menurut Quraish, kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain:
Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni "ini".
Akan tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).
Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Qur'an,
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku ( QS Al-Baqarah [2] : 186).
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Qur'an memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah SWT.
Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali" ( QS Al-Isra' [l7] : 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadis Nabi SAW pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu."
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini--menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.
Baca Juga
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fltri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
(mhy)