Quraish Shihab Bicara Halalbihalal Menurut Al-Qur'an
loading...
A
A
A
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram, sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan hukum Islam memperkenalkan pancahukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi SAW bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Qur'an, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" ( QS Yunus [10] : 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Quraish Shihab mengatakan kesan yang dapat diperoleh dari ayat ini, paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Qur'an mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:
Pertama, dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu) dan kedua, kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut:
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) ( QS Al-Baqarah [2] : 168 )
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) ( QS Al-Maidah [5] : 88 )
Fakulu mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) ( QS Al-Anfal [8] : 69 ).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) ( QS An-Nahl [16] : 114 )
Kata makan dalam Al-Qur'an sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, ujar Quraish Shihab lagi, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik).
“Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban,” katanya.
Al-Qur'an menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan hukum Islam memperkenalkan pancahukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi SAW bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Qur'an, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" ( QS Yunus [10] : 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Quraish Shihab mengatakan kesan yang dapat diperoleh dari ayat ini, paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Qur'an mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:
Pertama, dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu) dan kedua, kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut:
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) ( QS Al-Baqarah [2] : 168 )
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) ( QS Al-Maidah [5] : 88 )
Fakulu mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) ( QS Al-Anfal [8] : 69 ).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) ( QS An-Nahl [16] : 114 )
Kata makan dalam Al-Qur'an sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, ujar Quraish Shihab lagi, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik).
“Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban,” katanya.
Al-Qur'an menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut: