Kisah Khalifah Al-Manshur, Tumpas Pemberontakan Keturunan Ali Bin Abu Thalib
loading...
A
A
A
Nama lengkapnya Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, atau biasa dipanggil Abu Ja’far atau lebih populer dengan nama Al-Manshur. Dia adalah khalifah kedua Dinasti Abbasiyah . Pada saat memerintah, Al-Manshur mendapat perlawanan yang cukup sengit dari kelompok Ahlul Bait yang dipimpin oleh sosok bernama Muhammad dan Ibrahim. Keduanya adalah anak keturunan Ali bin Abi Thalib dari Sayyidina Hasan .
Pemberontakan Ahlul Bait ini meletus pada tahun 145 H, dan menjadi salah satu tragedi paling menyesakkan dalam peta politik Islam kala itu.
Sebagaimana diketahui, bahwa Bani Abbas berhasil menaiki puncak kekuasaan karena didukung oleh kalangan pecinta Ahlul Bait Rasulullah SAW , baik yang ada di Persia maupun di Khurasan. Setelah dilantiknya As-Saffah, para pendukung Ahlul Bait terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang mendukung Bani Abbas dan yang mendukung anak keturunan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan As-Saffah semua perbedaan ini tidak menjadi masalah bagi kedua belah pihak. Meski begitu, Bani Abbas sebenarnya memahami bahwa pesing sejati mereka dalam hal legitimasi, tidak lain adalah anak keturunan Ali bin Thalib.
Adapun semua kekuatan, bahkan yang sebesar Abu Muslim sekalipun, tidak akan banyak berarti selama mereka mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat. Untuk itu, ketika muncul kecurigaan Al-Manshur pada anak keturunan Ali bin Abi Thalib, dia langsung menanggapi dengan serius, bahkan melampui batas.
Abul A’la Al-Maududi dalam bukunya berjudul “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah” mencatat Muhammad, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia dikenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiyah.
Awalnya, Al-Manshur memerintahkan kepada gubernur Madinah agar mencari Muhammad dan Ibrahim untuk di bawa menghadap kepadanya. Tabari dalam "The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed", menjelaskan sebenarnya tidak ada satu hal yang terlalu serius dengan perintah ini. Tapi aparaturnya mencari dengan seksama kedua orang tesebut seperti mencari seorang buronan. Melihat ini, Muhammad dan Ibrahim curiga dengan proses yang terjadi begitu janggal. Akhirnya mereka memilih bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Sedikit catatan, kekhawatiran Muhammad dan Ibrahim sebenarnya beralasan. Karena sejak As-Saffah hingga Al-Manshur, para aparatur Abbasiyah memang kerap bertindak melampaui batas ketika melaksanakan perintah dari atasannya. Ini sangat bertentangan dengan janji politik Bani Abbas ketika As-Saffah dibaiat sebagai khalifah. Tentang kekejaman para apartur Dinasti Abbasiyah ini sebenarnya sudah banyak diprotes oleh masyarakat. Mereka merasa tertipu, terlebih sebagian para keturunan Ali bin Abi Thalib yang dulunya juga mendukung gerakan revolusi mereka.
Sebelumnya banyak juga para tokoh yang merasa dicurangi dan menyatakan protesnya. Seperti Ibrahim bin Maimun, seorang ahli fiqih terkemuka dari Khurasan. Dia ikut mendukung gerakan Abu Muslim ketika dia berjanji akan mendirikan negara dengan asas Al-Quran dan Sunnah.
Mendengar ini, Ibrahim bin Maimun begitu bersemangat mendukung gerakan revolusi Abbasiyah. Dia bahkan diangkat menjadi tangan kanan Abu Muslim. Tapi ketika revolusi sudah berhasil, dia tidak melihat adanya perubahan, dan tak terlihat tanda-tanda perbaikan sedang terjadi.
Akhirnya di mengajukan protes pada Abu Muslim yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Khurasan. Dia menuntut agar Bani Abbas segera menegakkan hukum-hukum Allah, dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunah RasulNya. Namun segera setelah itu dia ditangkap dan dihukum mati oleh Abu Muslim.
Demikianlah yang terjadi kala itu. Maka menjadi wajar ketika ada upaya dari gubernur Abbasiyah, orang-orang mencurigai itu sebagai upaya penangkapan. Dan ketika sudah lama berusahan mencari Muhammad dan Ibrahim, keduanya belum juga ditemukan. Al-Manshur panik, dan memerintahkan agar segera menemukan mereka, apapun caranya.
Prajurit Al-Manshur pun mulai mencari dan memburu seluruh sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim untuk dimintai keterangan. Di antara mereka yang ditangkap adalah Abdallah bin Hasan, yang merupakan ayah mereka. Kemudian pamannya Hasan bin Hasan, Dawud bin Hasan, Ibrahim bin Hasan, dan Muhammad bin Abdallah bin Amr bin Utsman bin Affan.
Di samping itu, Al-Manshur juga memerintahkan agar menahan semua sanak keluarga mereka yang lainnya. Mereka kemudian digendang ke hadapan Al-Manshur dan diinterogasi.
Setelah berhasil membawa sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim, pencarian terhadap mereka terus dilanjutkan secara lebih intensif. Menurut Al-Tabari, bahwa ketika itu kondisi Muhammad dan Ibrahim makin terdesak, hal inilah yang akhirnya membuat mereka memberontak.
Kisah tentang perburuan aparatur Abbasiyah terhadap dua keturunan Hasan bin Ali tersebut segera menyebar. Dalam waktu singkat, dukungan pun bermunculan terhadap mereka. Muhammad bin Abdullah pun bangkit memimpin pemberontakan. Menariknya, ketika berita tentang pemberontakan Muhammad bin Abdullah sampai ke telinga Al-Manshur, dia langsung berguman, “Aku Abu Ja’far, aku telah memancing rubah dari sarangnya.”
Al-Manshur langsung mengerahkan pasukannnya untuk memadamkan pemberontakan Muhammad. Dan dalam waktu singkat, pemberontakan tersebut bisa dijinakkan. Tanpa ampun, Al-Manshur memperlakukan musuh-musuhnya ini dengan cara di luar batas.
Pemberontakan Ahlul Bait ini meletus pada tahun 145 H, dan menjadi salah satu tragedi paling menyesakkan dalam peta politik Islam kala itu.
Sebagaimana diketahui, bahwa Bani Abbas berhasil menaiki puncak kekuasaan karena didukung oleh kalangan pecinta Ahlul Bait Rasulullah SAW , baik yang ada di Persia maupun di Khurasan. Setelah dilantiknya As-Saffah, para pendukung Ahlul Bait terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang mendukung Bani Abbas dan yang mendukung anak keturunan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan As-Saffah semua perbedaan ini tidak menjadi masalah bagi kedua belah pihak. Meski begitu, Bani Abbas sebenarnya memahami bahwa pesing sejati mereka dalam hal legitimasi, tidak lain adalah anak keturunan Ali bin Thalib.
Adapun semua kekuatan, bahkan yang sebesar Abu Muslim sekalipun, tidak akan banyak berarti selama mereka mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat. Untuk itu, ketika muncul kecurigaan Al-Manshur pada anak keturunan Ali bin Abi Thalib, dia langsung menanggapi dengan serius, bahkan melampui batas.
Abul A’la Al-Maududi dalam bukunya berjudul “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah” mencatat Muhammad, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia dikenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiyah.
Awalnya, Al-Manshur memerintahkan kepada gubernur Madinah agar mencari Muhammad dan Ibrahim untuk di bawa menghadap kepadanya. Tabari dalam "The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed", menjelaskan sebenarnya tidak ada satu hal yang terlalu serius dengan perintah ini. Tapi aparaturnya mencari dengan seksama kedua orang tesebut seperti mencari seorang buronan. Melihat ini, Muhammad dan Ibrahim curiga dengan proses yang terjadi begitu janggal. Akhirnya mereka memilih bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Sedikit catatan, kekhawatiran Muhammad dan Ibrahim sebenarnya beralasan. Karena sejak As-Saffah hingga Al-Manshur, para aparatur Abbasiyah memang kerap bertindak melampaui batas ketika melaksanakan perintah dari atasannya. Ini sangat bertentangan dengan janji politik Bani Abbas ketika As-Saffah dibaiat sebagai khalifah. Tentang kekejaman para apartur Dinasti Abbasiyah ini sebenarnya sudah banyak diprotes oleh masyarakat. Mereka merasa tertipu, terlebih sebagian para keturunan Ali bin Abi Thalib yang dulunya juga mendukung gerakan revolusi mereka.
Sebelumnya banyak juga para tokoh yang merasa dicurangi dan menyatakan protesnya. Seperti Ibrahim bin Maimun, seorang ahli fiqih terkemuka dari Khurasan. Dia ikut mendukung gerakan Abu Muslim ketika dia berjanji akan mendirikan negara dengan asas Al-Quran dan Sunnah.
Mendengar ini, Ibrahim bin Maimun begitu bersemangat mendukung gerakan revolusi Abbasiyah. Dia bahkan diangkat menjadi tangan kanan Abu Muslim. Tapi ketika revolusi sudah berhasil, dia tidak melihat adanya perubahan, dan tak terlihat tanda-tanda perbaikan sedang terjadi.
Akhirnya di mengajukan protes pada Abu Muslim yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Khurasan. Dia menuntut agar Bani Abbas segera menegakkan hukum-hukum Allah, dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunah RasulNya. Namun segera setelah itu dia ditangkap dan dihukum mati oleh Abu Muslim.
Demikianlah yang terjadi kala itu. Maka menjadi wajar ketika ada upaya dari gubernur Abbasiyah, orang-orang mencurigai itu sebagai upaya penangkapan. Dan ketika sudah lama berusahan mencari Muhammad dan Ibrahim, keduanya belum juga ditemukan. Al-Manshur panik, dan memerintahkan agar segera menemukan mereka, apapun caranya.
Prajurit Al-Manshur pun mulai mencari dan memburu seluruh sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim untuk dimintai keterangan. Di antara mereka yang ditangkap adalah Abdallah bin Hasan, yang merupakan ayah mereka. Kemudian pamannya Hasan bin Hasan, Dawud bin Hasan, Ibrahim bin Hasan, dan Muhammad bin Abdallah bin Amr bin Utsman bin Affan.
Di samping itu, Al-Manshur juga memerintahkan agar menahan semua sanak keluarga mereka yang lainnya. Mereka kemudian digendang ke hadapan Al-Manshur dan diinterogasi.
Setelah berhasil membawa sanak keluarga Muhammad dan Ibrahim, pencarian terhadap mereka terus dilanjutkan secara lebih intensif. Menurut Al-Tabari, bahwa ketika itu kondisi Muhammad dan Ibrahim makin terdesak, hal inilah yang akhirnya membuat mereka memberontak.
Kisah tentang perburuan aparatur Abbasiyah terhadap dua keturunan Hasan bin Ali tersebut segera menyebar. Dalam waktu singkat, dukungan pun bermunculan terhadap mereka. Muhammad bin Abdullah pun bangkit memimpin pemberontakan. Menariknya, ketika berita tentang pemberontakan Muhammad bin Abdullah sampai ke telinga Al-Manshur, dia langsung berguman, “Aku Abu Ja’far, aku telah memancing rubah dari sarangnya.”
Al-Manshur langsung mengerahkan pasukannnya untuk memadamkan pemberontakan Muhammad. Dan dalam waktu singkat, pemberontakan tersebut bisa dijinakkan. Tanpa ampun, Al-Manshur memperlakukan musuh-musuhnya ini dengan cara di luar batas.