Cinta kepada Allah Taala dan 4 Sebab Kecintaan Menurut Imam Ghazali
loading...
A
A
A
Imam al-Ghazali mengatakan kecintaan kepada Allah mesti menaklukkan hati manusia dan menguasainya sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasainya sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain.
"Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencintai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri," tulis Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul " Kimia Kebahagiaan ".
"Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekadar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya," jelasnya.
Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: "Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya."
Nabi SAW bersabda, "Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar."
Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim , Ibrahim berkata: "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?"
Allah menjawabnya, "Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?"
Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi SAW kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan."
Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."
Sifat Esensial Cinta
Menurut Imam Al-Ghazali, cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indra kita. Masing-masing indra mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musk, dan seterusnya.
"Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indra keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan rohani," katanya.
Jadi, kata Imam al-Ghazali, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan indrawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi SAW ketika bersabda bahwa ia mencintai sholat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya.
Akan tetapi orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan indrawi akan berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih, anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.
Akan tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahului kita - seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur dengan debu.
Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat rohaniah. "Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan rohaniahnya," tutur Imam al-Ghazali.
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, kata Imam al-Ghazali lagi, maka akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintai-Nya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenali-Nya.
Oleh karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad SAW, karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu dan bartakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. "Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan," lanjut Imam al-Ghazali.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini.
Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali.
Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karena kemasabodohan terhadapNya.
Orang-orang bodoh tidak bisa mencintai-Nya, karna kecintaan kepadaNya memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah.
Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh.
Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka.
Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.
Allah berfirman kepada Nabi Daud, "Abdi-Ku yang paling cinta kepada-Ku adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar utangnya kepada Ketuhanan-Ku."
Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembah-Ku karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah?"
Sebab keempat dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri."
Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya."
Juga Allah berfirman kepada Musa as: "Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?" Allah berfirman: "Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungiKu."
Imam al-Ghazali menyadari ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang awam.
Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah.
Meskipun demikian, "persamaan" yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri.
Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang disyaratkan di dalam sabda Nabi: "Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
"Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencintai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri," tulis Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul " Kimia Kebahagiaan ".
"Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekadar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya," jelasnya.
Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: "Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya."
Nabi SAW bersabda, "Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar."
Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim , Ibrahim berkata: "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?"
Allah menjawabnya, "Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?"
Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi SAW kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan."
Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."
Sifat Esensial Cinta
Menurut Imam Al-Ghazali, cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indra kita. Masing-masing indra mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musk, dan seterusnya.
"Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indra keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan rohani," katanya.
Jadi, kata Imam al-Ghazali, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan indrawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi SAW ketika bersabda bahwa ia mencintai sholat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya.
Akan tetapi orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan indrawi akan berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih, anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.
Akan tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahului kita - seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur dengan debu.
Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat rohaniah. "Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan rohaniahnya," tutur Imam al-Ghazali.
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, kata Imam al-Ghazali lagi, maka akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintai-Nya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenali-Nya.
Oleh karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad SAW, karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu dan bartakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. "Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan," lanjut Imam al-Ghazali.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini.
Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali.
Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karena kemasabodohan terhadapNya.
Orang-orang bodoh tidak bisa mencintai-Nya, karna kecintaan kepadaNya memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah.
Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh.
Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka.
Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.
Allah berfirman kepada Nabi Daud, "Abdi-Ku yang paling cinta kepada-Ku adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar utangnya kepada Ketuhanan-Ku."
Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembah-Ku karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah?"
Sebab keempat dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri."
Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya."
Juga Allah berfirman kepada Musa as: "Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?" Allah berfirman: "Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungiKu."
Imam al-Ghazali menyadari ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang awam.
Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah.
Meskipun demikian, "persamaan" yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri.
Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang disyaratkan di dalam sabda Nabi: "Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
(mhy)