Hal-Hal yang Harus Dikerjakan Dalam Perkawinan Menurut Imam Ghazali
loading...
A
A
A
BERIKUT adalah bagian ke-2 dan terkahir dari tulisan sebelumnya berjudul " Perkawinan, Pendorong Sekaligus Pengahalang dalam Kehidupan Keagamaan (1) ". Imam Ghazali dalam The Alchemy of Happiness dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kimia Kebahagiaan menyebutkan hal-hal yang harus dikerjakan dalam perkawinan.
Pertama; karena perkawinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu tidak lebih baik daripada pertemuan antarhewan.
Syariat memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap perkawinan. Ketika Abdurrahman bin 'Auf merayakan perkawinannya Nabi SAW. berkata kepadanya: "Buatlah suatu pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing."
Ketika Nabi SAW sendiri merayakan perkawinannya dengan Shafiyyah, beliau membuat pesta perkawinan dan menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik, karena manusia adalah mahkota penciptaan.
Kedua; seorang suami mesti terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung dengan sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh istrinya, baik itu karena ketidak-masukakalan sikap istrinya atau sikap tidak-berterimakasihnya.
Wanita diciptakan lemah dan membutuhkan perlindungan; karenanya ia mesti diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi.
Nabi SAW bersabda: "Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub AS atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya."
Pada saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi SAW bersabda: "Teruslah berdoa dan perlakukan istri-istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawanan-tawananmu."
Beliau sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku istri-istrinya. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, ia berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?"
Istrinya menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya."
Ia menjawab: "Celakalah Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi SAW) jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri."
Dan ketika Umar berjumpa Hafshah, ia berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul."
Nabi SAW juga berkata: "Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri, dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap keluargaku."
Ketiga; seorang suami istri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan istrinya dan tidak mencoba menghalanginya.
Nabi SAW sendiri pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah. Pada kali pertama Nabi SAW mengalahkan 'Aisyah dan pada kali kedua, 'Aisyah mengalahkannya.
Di waktu lain, beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Habsy menari.
Pada kenyataannya akan sulitlah untuk menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap istri-istrinya seperti yang dilakukan Nabi SAW.
Orang-orang bijak berkata: "Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa yang tidak tersedia."
Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi sekadar bahan tertawaan saja.
Pertama; karena perkawinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu tidak lebih baik daripada pertemuan antarhewan.
Syariat memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap perkawinan. Ketika Abdurrahman bin 'Auf merayakan perkawinannya Nabi SAW. berkata kepadanya: "Buatlah suatu pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing."
Ketika Nabi SAW sendiri merayakan perkawinannya dengan Shafiyyah, beliau membuat pesta perkawinan dan menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik, karena manusia adalah mahkota penciptaan.
Kedua; seorang suami mesti terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung dengan sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh istrinya, baik itu karena ketidak-masukakalan sikap istrinya atau sikap tidak-berterimakasihnya.
Wanita diciptakan lemah dan membutuhkan perlindungan; karenanya ia mesti diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi.
Nabi SAW bersabda: "Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub AS atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya."
Pada saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi SAW bersabda: "Teruslah berdoa dan perlakukan istri-istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawanan-tawananmu."
Beliau sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku istri-istrinya. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, ia berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?"
Istrinya menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya."
Ia menjawab: "Celakalah Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi SAW) jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri."
Dan ketika Umar berjumpa Hafshah, ia berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul."
Nabi SAW juga berkata: "Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri, dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap keluargaku."
Ketiga; seorang suami istri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan istrinya dan tidak mencoba menghalanginya.
Nabi SAW sendiri pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah. Pada kali pertama Nabi SAW mengalahkan 'Aisyah dan pada kali kedua, 'Aisyah mengalahkannya.
Di waktu lain, beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Habsy menari.
Pada kenyataannya akan sulitlah untuk menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap istri-istrinya seperti yang dilakukan Nabi SAW.
Orang-orang bijak berkata: "Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa yang tidak tersedia."
Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi sekadar bahan tertawaan saja.