Watak Tak Berdosa dari Musik dan Tarian Menurut Imam Ghazali
loading...
A
A
A
Imam al-Ghazali mengatakan hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya.
"Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh," tulis Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul " Kimia Kebahagiaan ". "Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya."
Menurutnya, pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta yang bersifat keduniaan dan indrawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan rohaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah.
Mereka berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jika ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk.
Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan.
Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah.
"Baiklah," kata al-Ghazali. "Kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah, ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji."
Di pihak lain, kata Imam al-Ghazali lagi, jika hatinya penuh dengan nafsu indrawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya.
Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan.
Watak tak berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya". Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar , hari ini adalah hari raya."
Imam al-Ghazali mengatakan terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halal. Misalnya, nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Mekkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di dada para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir.
Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu."
Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.
"Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh," tulis Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul " Kimia Kebahagiaan ". "Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya."
Menurutnya, pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta yang bersifat keduniaan dan indrawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan rohaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah.
Mereka berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jika ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk.
Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan.
Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah.
"Baiklah," kata al-Ghazali. "Kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah, ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji."
Di pihak lain, kata Imam al-Ghazali lagi, jika hatinya penuh dengan nafsu indrawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya.
Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan.
Watak tak berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya". Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar , hari ini adalah hari raya."
Imam al-Ghazali mengatakan terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halal. Misalnya, nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Mekkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di dada para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir.
Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu."
Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.
(mhy)