Fatimah binti Abdul Malik : Tinggalkan Kemewahan Demi Menjadi Istri Khalifah

Senin, 06 Juni 2022 - 15:46 WIB
loading...
Fatimah binti Abdul Malik : Tinggalkan Kemewahan Demi Menjadi Istri Khalifah
Tidak banyak wanita yang mau berkorban meninggalkan kemewahan dan memilih hidup sederhana ketika menjadi istri pejabat, yang ada malah sebaliknya mengidamkan menjadi istri penguasa karena ingin hidup mewah dan bergelimang harta. Foto ilustrasi/istmal
A A A
Menjadi istri penguasa atau pejabat , tentu menjadi impian sebagian kaum wanita saat ini. Status sosial yang tinggi, hidup mewah dan serba kecukupan adalah gambaran fasilitas yang akan didapatkannya. Gaya hidup dan pergaulan pun dianggap lebih hebat dan bermartabat. Jangan heran, jika kini banyak dijumpai 'model' istri-istri semacam ini, mengangkat citra dirinya dengan gelimangan perhiasan dunia, pelesir ke mancanegara, pergaulan sosialita , dan model-model kemewahan lainnya.

Namun tahukah Anda, bahwa ada role model istri pejabat yang dapat menjadi panutan para istri-istri pejabat zaman sekarang? Dia adalah sosok istri idaman, potret terbaik seorang istri penguasa. Tidak main-main, ia adalah istri seorang khalifah. Namanya Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan. Istri dari Umar bin Abdul Aziz Al-Umawi, yang juga cicit Khalifah Umar bin Khattab.

Fatimah adalah sosok wanita yang nyaris sempurna. Cantik, cerdas, keturunan terpandang, kaya raya, serta taat beribadah. Siapa Fatimah binti Abdul Malik ini? Banyak kisah inspiratif yang bisa diteladani dari sosok perempuan muslimah tersebut. Nama lengkapnya adalah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan Al Umawiyyah Al Quraisyiah.

Sebanyak 12 orang pria yang menjadi mahramnya adalah Sang Khalifah Umar bin Khattab, ayahnya, kakeknya, saudaranya, keponakannya, bahkan suaminya adalah khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Dari lahir hingga tumbuh dewasa, Fatimah dikelilingi oleh kemuliaan dan kenikmatan dunia . Perhiasan permata yang tiada duanya, baju mewah dari kain sutra, serta istana nan indah dan megah. Ayah, ibu, saudara-saudara, dan orang-orang yang ada di sekitar menyayanginya dengan cinta kasih sepenuh hati. Pengasuhan dan pendidikan yang terbaik diperolehnya. Sungguh kehidupan yang tampak sempurna. Seorang putri yang sangat cantik nan bagus akhlak juga ilmunya.

Kebahagiaan hidup Fatimah semakin sempurna tatkala seorang lelaki saleh, kaya, berilmu, tampan, juga dari keluarga yang terhormat mempersunting dirinya. Lelaki itu bernama Umar bin Abdul Aziz. Pesta pernikahan pun digelar dengan mewah. Lampu-lampu gantung dengan minyak beraroma harum menghiasi, menambah semarak suasana. Dalam kehidupan rumah tangga ini kebahagiaan Fatimah semakin bertambah dengan lahirnya dua putra mereka yakni Ishaq dan Ya’kub.

Umar bin Abdul Aziz, seorang suami yang sangat baik, mendidik istri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Ia juga suka memanjakan istrinya, memenuhi semua keinginannya, dan menyayanginya dengan tulus. Sungguh kehidupan rumah tangga yang harmonis dan romantis.

Namun demikian, kehidupannya justru berubah setelah sang suami menjadi Khalifah. Kehidupan dunia ini amatlah singkat. Segala kemewahan dan kenikmatan pun tidak abadi. Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba mudah, kini memilih meninggalkan semua kemewahan dunia. Ini terjadi saat suaminya, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, yang dilantik pada Jumat, bulan Shafar 99 H di kota Damaskus.

Fatimah sangat lapang dada hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak mempunyai harta apa pun. Padahal, ketika itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas. Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah sehabis salat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara menyerupai masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.

Selama menjadi khalifah, honor Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia lapang dada dan selalu mendukung suaminya. Kesederhanaan dan kebijakan Umar menciptakan banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.

Umar bin Abdul Aziz memilih untuk menjadi sosok sederhana, zuhud, dan tampil sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang terbaik. Ia menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang kepala negara . Istana yang dilengkapi dengan perabot yang serba lux, gelas-gelas kristal, ranjang bagus, kasur empuk, bantal-bantal sandaran yang tersusun rapi, juga permadani yang luas dan lembut.

Ia memilih tinggal di rumah sempit yang dibangun dari tanah liat yang ada di sebelah masjid. Fatimah merasa suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Raut muka suaminya tampak letih, tubuhnya yang kokoh gemetaran karena menanggung beban yang teramat berat.

Ketika sampai di rumah, Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada istrinya, Fatimah, untuk memilih masa depannya sendiri, karena Umar merasa mendapat tanggung jawab besar yang membuatnya tidak bisa lagi menjaga dan memenuhi keinginan istrinya yang cantik jelita ini. Dengan suara lembut Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada Fatimah, “Fatimah, istriku… Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat berat dipikulkan ke pundakku, menjadi nakhoda bahtera yang ditumpangi oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas ini sungguh menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan.”

Di sinilah terlihat bahwa sosok Fatimah adalah perempuan yang berhias diri dengan akal sehat dan keimanan yang kuat. Ia memilih untuk bersama suami, setia mendampingi, dan turut memikul tanggung jawab. Lembar sejarah mencatat, sosok Fatimah binti Abdul Malik adalah perempuan salihah yang hebat dengan jiwa ikhlas dan sabar. Pendukung pertama gerakan perubahan yang dilakukan suaminya, yakni gerakan kesederhanaan para pemimpin dalam kehidupan.

Fatimah juga menunjukkan sebagai istri yang berbakti. Demi keridaan sang suami tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat dengan semata mengharapkan keridaan dan surganya Allah. Tanda keridhaan pertama adalah berpindah dari istana ke rumah yang sempit yang dibangun dari tanah liat. Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan, menjahit sendiri pakaian yang dikenakan, memasak makanan yang disantap, semuanya serba sederhana tanpa ada kemewahan, semua sama dengan rakyat biasa.

Bahkan, Fatimah pun membantu suaminya memperbaiki rumah jika diperlukan. Padahal status mereka adalah kepala negara dan ibu negara. Suatu hari Umar bertanya kepada Fatimah, “Dari mana perhiasan ini sampai ke tanganmu?” “Dari ayahku,” jawab Fatimah. (Saat memberikan perhiasan tersebut, ayah Fatimah adalah khalifah).

Maka Umar bin Abdul Aziz meminta Fatimah untuk menyerahkan perhiasan tersebut ke baitulmal. Fatimah pun mematuhi perintah suaminya, diserahkan semua perhiasannya ke baitulmal kaum muslimin dengan ikhlas. Tetap Istiqamah Setelah Suami Wafat Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya. Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.

Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah berjulukan Yazid bin Abdul Malik. Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal. “Umar telah zalim pada hartamu, kini saya kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.

Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui Fatimah, menjelaskan bahwa harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan bila tuan membutuhkan.” Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta suplemen milik Fatimah, bila pemiliknya ingin mendapatkan kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah ketika itu mencapai jutaan dirham.


Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu? Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal yaitu suplemen milik Fatimah dari ayahnya, maupun pinjaman suaminya. Namun Fatimah menolak semua anjuran itu. “Demi Allah, saya tidak akan mengambilnya kembali. Karena saya patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika ia masih hidup saya patuh, kemudian sehabis meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.

Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu ia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak. Sikap Fatimah yang kaya berinfak ini menempatkan namanya sebagai wanita salehah yang taat kepada suami. Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat. Andaikan istri para pemimpin dan pejabat mempunyai sifat sederhana menyerupai Fatimah, pasti sikap korup dan hidup bermewahan sanggup diminimalkan.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1501 seconds (0.1#10.140)