Puasa Asyura dan Sholat Menghadap Baitul Maqdis untuk Tarik Simpati Kaum Yahudi?
loading...
A
A
A
Kalangan orientalis menganggap setibanya di Madinah, Rasulullah SAW berusaha merekrut orang-orang Yahudi agar masuk Islam. Ini dilakukan dengan mengadaptasi ritual-ritual muslimin agar dalam beberapa segi sesuai dengan ritual-ritual mereka.
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" mengatakan di ranah ibadah, misalnya, salah satu ritual yang dikerjakan Rasulullah dan dianjurkan dilakukan para pengikutnya di Madinah adalah puasa pada hari Asyura.
Abu Musa al-Asy'ari menuturkan, “Nabi memasuki Madinah dan melihat banyak orang Yahudi mengagungkan hari Asyura”. Maka beliau bersabda: “Kami lebih berhak berpuasa pada hari itu.” Beliau pun memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari tersebut.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menjelaskan alasan kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura dan penyebab kaum muslimin mengikuti mereka berpuasa pada hari tersebut.
Dia berkata, “Ketika tiba ke Madinah, Nabi mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura”. Saat ditanya mengenai hal itu, mereka menjawab, “Ini adalah hari ketika Allah memenangkan Musa dan Bani Israil atas Firaun. Dan, kami berpuasa untuk mengagungkannya.
Beliau bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dibanding kalian.” Kemudian, beliau memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari itu.””
Selanjutnya, ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah sholat menghadap Baitul Maqdis. Al-Bukhari mengutip sebuah riwayat dari al-Bara, bahwa Nabi sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan.
Sebenarnya, beliau menghendaki kiblatnya di arah al-Bait (yakni Kakbah). Dan (setelah arah kiblat dialihkan ke Baitullah Kakbah), sholat pertama yang beliau kerjakan adalah sholat Ashar bersama sekelompok orang.
Seorang lelaki dari mereka pun keluar dan melewati orang-orang yang sedang rukuk di sebuah masjid menghadap Baitul Maqdis. Lelaki itu berseru, “Demi Allah, aku baru saja sholat bersama Nabi menghadap ke Mekkah.”
Spontan mereka berputar menghadap Baitullah. Di pihak lain, orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab (kaum Nasrani) merasa heran kepada sang Nabi yang sebelumnya sholat menghadap Baitul Magdis. Begitu mengetahui bahwa beliau kini mengalihkan wajah ke arah Baitullah, kaum musyrikin itu segera mengingkarinya."
"Orang-orang Yahudi dan munafik yang berada di sekeliling Rasulullah mengingkari pengalihan kiblat ke arah Kakbah itu. Mereka mulai menghasut penduduk Madinah agar meragukan validitas kenabian Muhammad," ujar Muhammad bin Fariz dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah.
Orang-orang Yahudi berkata, “Lelaki itu rindu negerinya, rumah ayahnya, dan hartanya sampai-sampai meninggalkan kiblat yang diyakini kaumnya. Aneh, mereka (muslimin) sholat kadang menghadap ke satu arah dan kadang menghadap arah lain.”
Orang-orang Yahudi juga berkata, “Dia meninggalkan kiblat para nabi sebelumnya. Seandainya dia benarbenar seorang nabi, niscaya dia sholat menghadap kiblat mereka."
Sementara itu, orang-orang munafik berkata, “Muhammad tidak tahu mau menghadap ke mana. Jika arah pertama yang benar, berarti dia meninggalkan kebenaran. Adapun jika arah kedua yang benar, berarti dahulu dia keliru.”
Baca Juga: QS al-Baqarah (2
Ibnu Abbas menuturkan bahwa saat berada di Mekkah, Rasulullah sholat menghadap Baitul Magdis tetapi tidak membelakangi Kakbah. Tepatnya, beliau menempatkan Kakbah di antara dirinya dan Baitul Magdis.”
Adapun Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah sholat ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati Ahli Kitab. Tentu saja, ini tidak menafikkan bahwa hal tersebut atas perintah dari Allah.”
Beberapa ulama dan pemuka Yahudi, seperti Rifa'ah bin Qais, Qardum bin Amr, dan Ka'ab bin alAsyraf, dikuasai kemarahan karena beralihnya kiblat Rasulullah ke arah Kakbah. Mereka pun kembali berusaha membujuk beliau agar berpaling dari kebenaran.
Mereka berkata, “Wahai Muhammad, apa yang membuatmu beralih dari kiblat yang dahulu, padahal kamu mengklaim mengikuti agama Ibrahim? Kembalilah ke kiblatmu yang dahulu, maka kami akan mengikuti dan membenarkanmu!"
Demikianlah, kata Muhammad bin Fariz, perdebatan antara Nabi Muhammad dan orang-orang Yahudi terus berlangsung dalam persoalan akidah dan ibadah. Perdebatan ini mencapai puncaknya ketika posisi kaum muslimin mulai unggul, setelah berakhirnya Perang Badar. Yang mengherankan, beberapa orientalis memahami politik lunak yang diterapkan Rasulullah terhadap kaum Yahudi di awal era Madinah, juga beberapa syariat Yahudi yang belum dihapus oleh Islam, seperti menghadap ke arah Baitul Magdis di dalam sholat, sebagai peniruan terhadap ritual Yahudi dan, kadang, sebagai konsesi dari pihak muslimin dengan harapan menarik simpati, kepercayaan, dan kerelaan pihak lain atas ajaran beliau.
Brockelmann menyatakan bahwa setibanya di Madinah, Rasulullah berusaha merekrut orang-orang Yahudi agar masuk Islam. Ini dilakukan dengan mengadaptasi ritual-ritual muslimin agar dalam beberapa segi sesuai dengan ritual-ritual mereka.
Menurut Montgomery Watt, Muhammad hendak membentuk Islam seperti agama paling tua di dunia maksudnya, Yahudi—setelah pindah ke Madinah. Maka muncullah sholat menghadap Yerusalem (Baitul Maqdis), puasa Asyura' yang merupakan hari raya penebusan Yahudi, dan lain sebagainya.
Bahkan menjelang Hijrah, Nabi sudah cenderung berniat demikian. Sampai-sampai, sholat Zuhur yang disyariatkan di Madinah merupakan penyesuaian terhadap tradisi Yahudi, karena kaum muslimin saat di Mekkah hanya mengenal sholat Shubuh dan Maghrib. Sungguh aneh jika kemudian datang perintah al-Quran yang menegaskan kewajiban alshalah al-wushtha (shalat tengah) tersebut.”
Perintah itu adalah ayat, “Peliharalah semua sholat dan sholat wustha. Dan laksanakanlah (sholat) karena Allah dengan khusyuk” (QS al-Bagarah (2): 238). Di sini patut disebutkan bahwa banyak mufasir berpandangan, yang dimaksud al-shalah al-wushtha adalah sholat Shubuh atau sholat Ashar. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.” Sedangkan sholat Zuhur sama sekali tidak disinggung. "Lalu, dari mana Montgomery sampai pada pemahaman di atas?" ujar Muhammad bin Fariz.
Sebenarnya, menurut Muhammad bin Fariz, pandangan para orientalis muncul karena mereka memandang Rasulullah sebagai manusia biasa yang segala perilakunya muncul secara spontan dan sejalan dengan ambisi pribadinya. Mereka tidak mempercayai Muhammad sebagai seorang rasul, utusan Tuhan, yang menerima wahyu dari langit.
Berdasarkan konsepsi ini, mereka tidak bisa memahami ajakan beliau kepada agama langit yang baru, yang akan mengumpulkan seluruh manusia di bawah panji-panjinya, termasuk orang-orang Kristen dan Yahudi.
Pemahaman mereka tidak sampai, bahwa kemiripan beberapa ritual dalam ketiga agama ini adalah karena semuanya berasal dari sumber yang sama. Selain itu, hanya Islam yang mengakui risalah-risalah langit sebelumnya.
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" mengatakan di ranah ibadah, misalnya, salah satu ritual yang dikerjakan Rasulullah dan dianjurkan dilakukan para pengikutnya di Madinah adalah puasa pada hari Asyura.
Abu Musa al-Asy'ari menuturkan, “Nabi memasuki Madinah dan melihat banyak orang Yahudi mengagungkan hari Asyura”. Maka beliau bersabda: “Kami lebih berhak berpuasa pada hari itu.” Beliau pun memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari tersebut.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menjelaskan alasan kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura dan penyebab kaum muslimin mengikuti mereka berpuasa pada hari tersebut.
Dia berkata, “Ketika tiba ke Madinah, Nabi mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura”. Saat ditanya mengenai hal itu, mereka menjawab, “Ini adalah hari ketika Allah memenangkan Musa dan Bani Israil atas Firaun. Dan, kami berpuasa untuk mengagungkannya.
Beliau bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dibanding kalian.” Kemudian, beliau memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari itu.””
Selanjutnya, ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah sholat menghadap Baitul Maqdis. Al-Bukhari mengutip sebuah riwayat dari al-Bara, bahwa Nabi sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan.
Sebenarnya, beliau menghendaki kiblatnya di arah al-Bait (yakni Kakbah). Dan (setelah arah kiblat dialihkan ke Baitullah Kakbah), sholat pertama yang beliau kerjakan adalah sholat Ashar bersama sekelompok orang.
Seorang lelaki dari mereka pun keluar dan melewati orang-orang yang sedang rukuk di sebuah masjid menghadap Baitul Maqdis. Lelaki itu berseru, “Demi Allah, aku baru saja sholat bersama Nabi menghadap ke Mekkah.”
Spontan mereka berputar menghadap Baitullah. Di pihak lain, orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab (kaum Nasrani) merasa heran kepada sang Nabi yang sebelumnya sholat menghadap Baitul Magdis. Begitu mengetahui bahwa beliau kini mengalihkan wajah ke arah Baitullah, kaum musyrikin itu segera mengingkarinya."
"Orang-orang Yahudi dan munafik yang berada di sekeliling Rasulullah mengingkari pengalihan kiblat ke arah Kakbah itu. Mereka mulai menghasut penduduk Madinah agar meragukan validitas kenabian Muhammad," ujar Muhammad bin Fariz dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah.
Orang-orang Yahudi berkata, “Lelaki itu rindu negerinya, rumah ayahnya, dan hartanya sampai-sampai meninggalkan kiblat yang diyakini kaumnya. Aneh, mereka (muslimin) sholat kadang menghadap ke satu arah dan kadang menghadap arah lain.”
Orang-orang Yahudi juga berkata, “Dia meninggalkan kiblat para nabi sebelumnya. Seandainya dia benarbenar seorang nabi, niscaya dia sholat menghadap kiblat mereka."
Sementara itu, orang-orang munafik berkata, “Muhammad tidak tahu mau menghadap ke mana. Jika arah pertama yang benar, berarti dia meninggalkan kebenaran. Adapun jika arah kedua yang benar, berarti dahulu dia keliru.”
Baca Juga: QS al-Baqarah (2
Ibnu Abbas menuturkan bahwa saat berada di Mekkah, Rasulullah sholat menghadap Baitul Magdis tetapi tidak membelakangi Kakbah. Tepatnya, beliau menempatkan Kakbah di antara dirinya dan Baitul Magdis.”
Adapun Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah sholat ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati Ahli Kitab. Tentu saja, ini tidak menafikkan bahwa hal tersebut atas perintah dari Allah.”
Beberapa ulama dan pemuka Yahudi, seperti Rifa'ah bin Qais, Qardum bin Amr, dan Ka'ab bin alAsyraf, dikuasai kemarahan karena beralihnya kiblat Rasulullah ke arah Kakbah. Mereka pun kembali berusaha membujuk beliau agar berpaling dari kebenaran.
Mereka berkata, “Wahai Muhammad, apa yang membuatmu beralih dari kiblat yang dahulu, padahal kamu mengklaim mengikuti agama Ibrahim? Kembalilah ke kiblatmu yang dahulu, maka kami akan mengikuti dan membenarkanmu!"
Demikianlah, kata Muhammad bin Fariz, perdebatan antara Nabi Muhammad dan orang-orang Yahudi terus berlangsung dalam persoalan akidah dan ibadah. Perdebatan ini mencapai puncaknya ketika posisi kaum muslimin mulai unggul, setelah berakhirnya Perang Badar. Yang mengherankan, beberapa orientalis memahami politik lunak yang diterapkan Rasulullah terhadap kaum Yahudi di awal era Madinah, juga beberapa syariat Yahudi yang belum dihapus oleh Islam, seperti menghadap ke arah Baitul Magdis di dalam sholat, sebagai peniruan terhadap ritual Yahudi dan, kadang, sebagai konsesi dari pihak muslimin dengan harapan menarik simpati, kepercayaan, dan kerelaan pihak lain atas ajaran beliau.
Brockelmann menyatakan bahwa setibanya di Madinah, Rasulullah berusaha merekrut orang-orang Yahudi agar masuk Islam. Ini dilakukan dengan mengadaptasi ritual-ritual muslimin agar dalam beberapa segi sesuai dengan ritual-ritual mereka.
Menurut Montgomery Watt, Muhammad hendak membentuk Islam seperti agama paling tua di dunia maksudnya, Yahudi—setelah pindah ke Madinah. Maka muncullah sholat menghadap Yerusalem (Baitul Maqdis), puasa Asyura' yang merupakan hari raya penebusan Yahudi, dan lain sebagainya.
Bahkan menjelang Hijrah, Nabi sudah cenderung berniat demikian. Sampai-sampai, sholat Zuhur yang disyariatkan di Madinah merupakan penyesuaian terhadap tradisi Yahudi, karena kaum muslimin saat di Mekkah hanya mengenal sholat Shubuh dan Maghrib. Sungguh aneh jika kemudian datang perintah al-Quran yang menegaskan kewajiban alshalah al-wushtha (shalat tengah) tersebut.”
Perintah itu adalah ayat, “Peliharalah semua sholat dan sholat wustha. Dan laksanakanlah (sholat) karena Allah dengan khusyuk” (QS al-Bagarah (2): 238). Di sini patut disebutkan bahwa banyak mufasir berpandangan, yang dimaksud al-shalah al-wushtha adalah sholat Shubuh atau sholat Ashar. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.” Sedangkan sholat Zuhur sama sekali tidak disinggung. "Lalu, dari mana Montgomery sampai pada pemahaman di atas?" ujar Muhammad bin Fariz.
Sebenarnya, menurut Muhammad bin Fariz, pandangan para orientalis muncul karena mereka memandang Rasulullah sebagai manusia biasa yang segala perilakunya muncul secara spontan dan sejalan dengan ambisi pribadinya. Mereka tidak mempercayai Muhammad sebagai seorang rasul, utusan Tuhan, yang menerima wahyu dari langit.
Berdasarkan konsepsi ini, mereka tidak bisa memahami ajakan beliau kepada agama langit yang baru, yang akan mengumpulkan seluruh manusia di bawah panji-panjinya, termasuk orang-orang Kristen dan Yahudi.
Pemahaman mereka tidak sampai, bahwa kemiripan beberapa ritual dalam ketiga agama ini adalah karena semuanya berasal dari sumber yang sama. Selain itu, hanya Islam yang mengakui risalah-risalah langit sebelumnya.
(mhy)