Orang Jawa Baru Tertarik Masuk Islam setelah Diperkenalkan selama 750 Tahun
loading...
A
A
A
Sejatinya, Islam sudah masuk ke Jawa mulai abad ke-7 M, dibawa oleh kaum muslim Tiongkok, Arab, dan Persia. Hanya saja, menurut sejarawan Agus Sunyoto dalam bukunya berjudul " Atlas Wali Songo ", agama Islam baru diterima secara luas oleh penduduk Jawa pada pertengahan abad ke-15 M, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori oleh para tokoh Wali Songo . Ada rentang waktu waktu sekitar lebih dari 750 tahun. Lalu, mengapa begitu lamanya pribumi Jawa baru bisa menerima Islam?
Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim menyebut pertama, karena Hindu-Buddha bagi orang Jawa bukan lagi menjadi sekadar agama bagi orang Jawa, melainkan jalan hidup.
Kala itu, ajaran-ajaran dan nilai-nilai Hindu-Buddha sudah meresap ke dalam kehidupan orang Jawa: sudah menjadi adat istiadat , tradisi, budaya, sistem sosial, aturan ekonomi, dan dasar politik. Sehingga, tatkala unsur luar seperti agama Islam berusaha dimasukkan ke dalam kehidupan orang-orang Jawa, mendapatkan resistansi yang keras.
Kedua, kaum muslim Arab, Persia, dan Tiongkok tidak mempunyai program dakwah yang komprehensif sebagaimana program dakwah yang dilakukan secara efektif, efisien, dan terstruktur oleh para anggota Wali Songo. Sehingga, dakwah Islam tidak kuat mengakar dalam menerobos tembok tebal Hindu-Buddha.
Lebih-lebih, anggota Wali Songo tokoh-tokoh terkenal sakti dan cerdas dalam memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam adat istiadat, tradisi, dan budaya Jawa yang kental dengan Hindu-Buddha. Dengan berbasiskan pada tasawuf yang persuasif dan strategi menikahi putri-putri raja, dakwah Wali Songo mengalami sukses besar sehingga Islam dapat menggantikan agama-agama lama.
Kisah Sultan al-Gabbah
Para pedagang Muslim sudah masuk ke Jawa sejak abad ke-7 M. Namun program dakwah pertama kali dilakukan Sultan al-Gabbah (nama daerah dekat Samarkand) dari negeri Rum pada abad ke-10. Dakwah bisa dibilang gagal. Pasalnya, resistansi penduduk pribumi Nusantara terhadap Islam terlalu keras. Bahkan, diberitakan bahwa dari 20.000 keluarga yang dikirim ke Jawa tersisa 200 keluarga.
Sisanya, 1.800 keluarga, dibunuh oleh penduduk pribumi. Konon, Jawa kala itu dikuasai oleh jin, siluman, dan brekasakan. Mengetahui fakta tersebut dalam misi mengislamkan tanah Jawa, Sultan Al-Ghabbah kembali mengirim 2000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa, namun semuanya kembali tewas.
Husnul Hakim menyebut bahwa mungkin yang dimaksud dengan jin, siluman, dan brekasakan itu sejatinya adalah orang-orang Jawa pada zaman itu. Mereka sakti-sakti, kanibal, dan memiliki kepercayaan aneh, seperti kepercayaan Tantra-Bhairawa, sebuah sekte Hindu-Buddha, yang salah satu ritualnya adalah mempersembahkan manusia sebagai kurban.
Pada tahun 1292, ketika Marco Polo mengunjungi Nusantara, ia terkejut menyaksikan bahwa sebagian masyarakat Nusantara yang masih mengonsumsi daging manusia.
Sultan al-Gabbah pun dikisahkan marah. Kemudian, ia mengirim ulama, syuhada, dan orang sakti ke Jawa untuk membinasakan para “jin, siluman, dan brekasakan” penghuni Jawa itu.
Para ulama sakti itu dipimpin oleh Syekh Subakir (Syekh Ja'far al-Baqir). Ia dikenal sebagai wali keramat dari Persia yang dipercaya oleh Sultan al-Gabbah menanam “tumbal” di sejumlah tempat di Pulau Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni oleh umat Islam.
Tumbal yang dimaksud adalah rajah agar Pulau Jawa tidak angker lagi. Syekh Subakir memasang tumbal di Gunung Tidar, Magelang, karena di sana merupakan pusarnya Pulau Jawa.
Kuburannya atau petilasannya kini dipercaya terletak di Gunung Tidar, Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai “makam panjang”.
Tiga Golongan
Pada abad ke-10 M, sebagaimana digambarkan oleh sejarawan Arab, Al-Mas'udi, terjadilah relasi dagang yang cukup masif antara Tiongkok dengan dunia muslim Timur Tengah. Relasi dagang itu dilakukan lewat jalur laut, melalui perairan Nusantara.
Banyak pedagang, baik dari Arab maupun Tiongkok, singgah di Nusantara. Akan tetapi, Marle Calvin Ricklefs menunjukkan bahwa pada abad itu, alih-alih berdiri suatu negara Islam di Nusantara, malah belum terjadi perpindahan agama yang cukup besar oleh pribumi Nusantara dari agama lama ke agama Islam.
Bahkan, saat Marco Polo hendak kembali ke Italia dari pelayarannya mengelilingi dunia pada abad ke-13, ia terlebih dahulu singgah di Kerajaan Perlak (Aceh sekarang), mencatat bahwa penduduk Nusantara terbagi atas tiga golongan besar: kaum muslim Tiongkok, kaum muslim Arab-Persia, dan pribumi Nusantara yang masih memuja roh-roh dan berperilaku kanibal.
Ia mencatat bahwa dua pelabuhan yang dekat dengan Perlak, Basma dan Samara, dihuni oleh banyak penduduk muslim Tiongkok, Arab, dan Persia bukanlah kota Islam. Jadi, hingga abad ke-13, penduduk Nusantara yang hidup di kota-kota masih beragama Hindu-Buddha, sedangkan yang hidup di pelosok masih menganut animisme dan dinamisme.
Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim menyebut pertama, karena Hindu-Buddha bagi orang Jawa bukan lagi menjadi sekadar agama bagi orang Jawa, melainkan jalan hidup.
Kala itu, ajaran-ajaran dan nilai-nilai Hindu-Buddha sudah meresap ke dalam kehidupan orang Jawa: sudah menjadi adat istiadat , tradisi, budaya, sistem sosial, aturan ekonomi, dan dasar politik. Sehingga, tatkala unsur luar seperti agama Islam berusaha dimasukkan ke dalam kehidupan orang-orang Jawa, mendapatkan resistansi yang keras.
Kedua, kaum muslim Arab, Persia, dan Tiongkok tidak mempunyai program dakwah yang komprehensif sebagaimana program dakwah yang dilakukan secara efektif, efisien, dan terstruktur oleh para anggota Wali Songo. Sehingga, dakwah Islam tidak kuat mengakar dalam menerobos tembok tebal Hindu-Buddha.
Lebih-lebih, anggota Wali Songo tokoh-tokoh terkenal sakti dan cerdas dalam memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam adat istiadat, tradisi, dan budaya Jawa yang kental dengan Hindu-Buddha. Dengan berbasiskan pada tasawuf yang persuasif dan strategi menikahi putri-putri raja, dakwah Wali Songo mengalami sukses besar sehingga Islam dapat menggantikan agama-agama lama.
Kisah Sultan al-Gabbah
Para pedagang Muslim sudah masuk ke Jawa sejak abad ke-7 M. Namun program dakwah pertama kali dilakukan Sultan al-Gabbah (nama daerah dekat Samarkand) dari negeri Rum pada abad ke-10. Dakwah bisa dibilang gagal. Pasalnya, resistansi penduduk pribumi Nusantara terhadap Islam terlalu keras. Bahkan, diberitakan bahwa dari 20.000 keluarga yang dikirim ke Jawa tersisa 200 keluarga.
Sisanya, 1.800 keluarga, dibunuh oleh penduduk pribumi. Konon, Jawa kala itu dikuasai oleh jin, siluman, dan brekasakan. Mengetahui fakta tersebut dalam misi mengislamkan tanah Jawa, Sultan Al-Ghabbah kembali mengirim 2000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa, namun semuanya kembali tewas.
Husnul Hakim menyebut bahwa mungkin yang dimaksud dengan jin, siluman, dan brekasakan itu sejatinya adalah orang-orang Jawa pada zaman itu. Mereka sakti-sakti, kanibal, dan memiliki kepercayaan aneh, seperti kepercayaan Tantra-Bhairawa, sebuah sekte Hindu-Buddha, yang salah satu ritualnya adalah mempersembahkan manusia sebagai kurban.
Pada tahun 1292, ketika Marco Polo mengunjungi Nusantara, ia terkejut menyaksikan bahwa sebagian masyarakat Nusantara yang masih mengonsumsi daging manusia.
Sultan al-Gabbah pun dikisahkan marah. Kemudian, ia mengirim ulama, syuhada, dan orang sakti ke Jawa untuk membinasakan para “jin, siluman, dan brekasakan” penghuni Jawa itu.
Para ulama sakti itu dipimpin oleh Syekh Subakir (Syekh Ja'far al-Baqir). Ia dikenal sebagai wali keramat dari Persia yang dipercaya oleh Sultan al-Gabbah menanam “tumbal” di sejumlah tempat di Pulau Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni oleh umat Islam.
Tumbal yang dimaksud adalah rajah agar Pulau Jawa tidak angker lagi. Syekh Subakir memasang tumbal di Gunung Tidar, Magelang, karena di sana merupakan pusarnya Pulau Jawa.
Kuburannya atau petilasannya kini dipercaya terletak di Gunung Tidar, Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai “makam panjang”.
Tiga Golongan
Pada abad ke-10 M, sebagaimana digambarkan oleh sejarawan Arab, Al-Mas'udi, terjadilah relasi dagang yang cukup masif antara Tiongkok dengan dunia muslim Timur Tengah. Relasi dagang itu dilakukan lewat jalur laut, melalui perairan Nusantara.
Banyak pedagang, baik dari Arab maupun Tiongkok, singgah di Nusantara. Akan tetapi, Marle Calvin Ricklefs menunjukkan bahwa pada abad itu, alih-alih berdiri suatu negara Islam di Nusantara, malah belum terjadi perpindahan agama yang cukup besar oleh pribumi Nusantara dari agama lama ke agama Islam.
Bahkan, saat Marco Polo hendak kembali ke Italia dari pelayarannya mengelilingi dunia pada abad ke-13, ia terlebih dahulu singgah di Kerajaan Perlak (Aceh sekarang), mencatat bahwa penduduk Nusantara terbagi atas tiga golongan besar: kaum muslim Tiongkok, kaum muslim Arab-Persia, dan pribumi Nusantara yang masih memuja roh-roh dan berperilaku kanibal.
Ia mencatat bahwa dua pelabuhan yang dekat dengan Perlak, Basma dan Samara, dihuni oleh banyak penduduk muslim Tiongkok, Arab, dan Persia bukanlah kota Islam. Jadi, hingga abad ke-13, penduduk Nusantara yang hidup di kota-kota masih beragama Hindu-Buddha, sedangkan yang hidup di pelosok masih menganut animisme dan dinamisme.