Kisah Raja Sriwijaya Kirim Surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz
loading...
A
A
A
Kisah Raja Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi bagian penting teori Arab tentang masuknya Islam ke Nusantara atau Indonesia.
Berdasarkan tempat, kalangan sejarawan membagi masuknya Agama Tauhid ini ke Indonesia dalam lima teori yakni teori Arab, China, Persia, India, dan Turki. Pada artikel ini kali kita ulas teori Arab yang antara lain terdapat kisah Raja Sriwijaya berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Teori ini menyatakan bahwa Islam dibawa dan disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke-7/8 saat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya.
Dalam buku berjudul "Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara" karya Moeflich Hasbullah disebutkan tokoh-tokoh teori Arab ini adalah Crawfurd, Keijzer, Niemann, de Hollander, Hasymi, Hamka, al-Attas, Djajadiningrat dan Mukti Ali, J.C. van Leur, T.W. Arnold.
Argumen dan bukti-bukti sejarah teori ini sangat kuat. Selat Malaka pada abad ke-7/8 sudah ramai dilintasi para pedagang Muslim dalam pelayaran dagang mereka ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan berita China zaman T'ang pada abad tersebut, masyarakat Muslim sudah ada di Kanfu (Kanton) dan Sumatra.
Para pedagang itu kemungkinan besar adalah utusan-utusan Bani Umayah . Kedatangan mereka dalam rangka penjajakan perdagangan sebelum datang dalam jumlah massal pada abad-abad berikutnya.
Demikian juga Buya Hamka . Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M berdasarkan catatan Tiongkok bahwa saat itu datang seorang utusan raja Arab bernama Ta Cheh atau Ta Shi (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan ) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling atau Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu Shima.
Ta-Shih juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M. Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-kapal Posse dan Ta-shih K-uo. Menurut Rose Di Meglio, istilah “Po-sse” menunjukkan jenis bahasa Melayu, tapi “Ta-shih” hanya untuk menunjukkan orang-orang Arab dan Persia, bukan Muslim India.
Di Barus, Tapanuli, huruf “Ha-Mim” ditemukan dalam sebuah makam tahun 670. Mengingat pada abad ke-7, kawasan Asia Tenggara merupakan lalu lintas perdagangan dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar yang sedang kuat. Yaitu China di bawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749), maka semua fakta tersebut tidaklah mengherankan.
Interaksi kerajaan-kerajaan besar itu menyisakan banyak peninggalan arkeologis dan bukti-bukti sejarah. Pada abad ke-7-8 (ke-1-2 H), Muslim Persia dan Arab turut serta dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan hingga ke negeri China.
Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650), kaisar ke-2 Dinasti Tang, diberitakan datang empat orang Muslim dari Jazirah Arabia. Mereka menetap di Canton (Guangzhou), di Kota Chow, dan bermukim di Coang Chow.
Sejarah Islam di China juga mencatat nama Sa'ad bin Abi Waqqas , seorang mubalig dan sahabat Nabi Muhammad SAW mendirikan masjid di Canton atau Masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi).
Tak heran bila sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan sejarah Islam di negeri mereka karena dibawa langsung oleh sahabat dekat Nabi Muhammad SAW sendiri. Sejak abad ke-7/8, semakin banyak Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubalig yang melakukan penyebaran Islam.
Raja Sriwijaya
Sumber-sumber China pun memberitakan informasi tentang adanya pemukiman Muslim Arab di pesisir pantai Sumatra abad ke-7. Pada tahun 718 M/100 H, Srindravarman, seorang Raja Sriwijaya, mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah yang saat itu sedang maju pesat.
Raja meminta agar khalifah mengirimkan utusan yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi:
“Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang istrinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Setelah sekitar dua tahun terjadi interaksi, Raja Srindravarman pun masuk Islam. “Sribuza Islam" kemudian menjadi nama yang dikenal untuk Sriwijaya Jambi.
Bukti-bukti di atas terang sekali menjelaskan bahwa sudah terbangun jaringan komunikasi politik, agama dan perdagangan internasional antar-Madagaskar (Afrika), Arab, Jawa (Nusantara), dan China yang berpusat di Khanfu (Kanton). Tak heran bila kemudian ditemukan banyak peninggalan-peninggalan historis di seputar kawasan kepulauan Nusantara.
Setelah ditemukannya bukti-bukti historis adanya orang-orang Islam yang sifatnya masih individual di beberapa tempat di Nusantara yang datang melalui aktivitas perdagangan, baik sebagai utusan, rombongan dagang maupun peninggalan batu-batu nisan yang bertarikh abad ke-7/8, Denys Lombard menemukan sumber-sumber sejarah paling tua yang menggambarkan perkembangan kehadiran orang-orang Arab Muslim tersebut dua abad kemudian (9/10) dari naskah-naskah berbahasa Arab.
Menurutnya, ada tiga sumber sejarah tertua karya penulis-penulis Arab yang banyak menceritakan tentang hubungan dagang internasional melalui jalur Asia Tenggara itu: Relation de la Chine et d'l Indie karya Ibnu Hurdidbeh tahun 881; Prairies dor karya karya Mas'udi (w. 956); dan kisah Merveilles d I'Indie karya kapten kapal Bozorg Ibn Shahryar, tahun 956.
Sumber-sumber itu banyak mengisahkan hubungan antara perdagangan Arab dengan Nusantara (dalam hubungan jalur perdagangan Afrika, Arab, Sumatra, Jawa, dan China yang terbangun sejak abad ke-7/8).
Istilah “Javaga” (Pulau Jawa), “orang wag-wag” (sebutan untuk orang Nusantara) dan “Muslim” banyak disebut-sebut dalam sumber-sumber tersebut.
Lombard menjelaskan, di Kanton pada abad ke-9, bertemulah “kapal-kapal yang datang dari Basra, Siraf, Oman, kota-kota India, Kepulauan Javaga, Campa, dan kerajaan-kerajaan lain.”
Mas'udi pun menceritakan pemberontak Huang Chao yang menghancurkan perdagangan pada tahun 879, “200 orang Muslim, Nasrani, Yahudi, dan Majusi waktu itu telah tewas oleh senjata atau tenggelam dalam air ketika mereka lari dikejar-kejar.”
Bandar-bandar dagang di Sumatera saat itu, berada dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Melihat hubungan dagang yang luas dan intensif tersebut, orang-orang Arab Muslim sudah terbiasa memasuki kepulauan Nusantara sejak zaman Sriwijaya yang berlangsung sejak abad ke-7/8M.
Berdasarkan tempat, kalangan sejarawan membagi masuknya Agama Tauhid ini ke Indonesia dalam lima teori yakni teori Arab, China, Persia, India, dan Turki. Pada artikel ini kali kita ulas teori Arab yang antara lain terdapat kisah Raja Sriwijaya berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Teori ini menyatakan bahwa Islam dibawa dan disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke-7/8 saat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya.
Dalam buku berjudul "Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara" karya Moeflich Hasbullah disebutkan tokoh-tokoh teori Arab ini adalah Crawfurd, Keijzer, Niemann, de Hollander, Hasymi, Hamka, al-Attas, Djajadiningrat dan Mukti Ali, J.C. van Leur, T.W. Arnold.
Argumen dan bukti-bukti sejarah teori ini sangat kuat. Selat Malaka pada abad ke-7/8 sudah ramai dilintasi para pedagang Muslim dalam pelayaran dagang mereka ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan berita China zaman T'ang pada abad tersebut, masyarakat Muslim sudah ada di Kanfu (Kanton) dan Sumatra.
Para pedagang itu kemungkinan besar adalah utusan-utusan Bani Umayah . Kedatangan mereka dalam rangka penjajakan perdagangan sebelum datang dalam jumlah massal pada abad-abad berikutnya.
Demikian juga Buya Hamka . Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M berdasarkan catatan Tiongkok bahwa saat itu datang seorang utusan raja Arab bernama Ta Cheh atau Ta Shi (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan ) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling atau Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu Shima.
Ta-Shih juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M. Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-kapal Posse dan Ta-shih K-uo. Menurut Rose Di Meglio, istilah “Po-sse” menunjukkan jenis bahasa Melayu, tapi “Ta-shih” hanya untuk menunjukkan orang-orang Arab dan Persia, bukan Muslim India.
Di Barus, Tapanuli, huruf “Ha-Mim” ditemukan dalam sebuah makam tahun 670. Mengingat pada abad ke-7, kawasan Asia Tenggara merupakan lalu lintas perdagangan dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar yang sedang kuat. Yaitu China di bawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749), maka semua fakta tersebut tidaklah mengherankan.
Interaksi kerajaan-kerajaan besar itu menyisakan banyak peninggalan arkeologis dan bukti-bukti sejarah. Pada abad ke-7-8 (ke-1-2 H), Muslim Persia dan Arab turut serta dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan hingga ke negeri China.
Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650), kaisar ke-2 Dinasti Tang, diberitakan datang empat orang Muslim dari Jazirah Arabia. Mereka menetap di Canton (Guangzhou), di Kota Chow, dan bermukim di Coang Chow.
Sejarah Islam di China juga mencatat nama Sa'ad bin Abi Waqqas , seorang mubalig dan sahabat Nabi Muhammad SAW mendirikan masjid di Canton atau Masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi).
Tak heran bila sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan sejarah Islam di negeri mereka karena dibawa langsung oleh sahabat dekat Nabi Muhammad SAW sendiri. Sejak abad ke-7/8, semakin banyak Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubalig yang melakukan penyebaran Islam.
Raja Sriwijaya
Sumber-sumber China pun memberitakan informasi tentang adanya pemukiman Muslim Arab di pesisir pantai Sumatra abad ke-7. Pada tahun 718 M/100 H, Srindravarman, seorang Raja Sriwijaya, mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah yang saat itu sedang maju pesat.
Raja meminta agar khalifah mengirimkan utusan yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi:
“Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang istrinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Setelah sekitar dua tahun terjadi interaksi, Raja Srindravarman pun masuk Islam. “Sribuza Islam" kemudian menjadi nama yang dikenal untuk Sriwijaya Jambi.
Bukti-bukti di atas terang sekali menjelaskan bahwa sudah terbangun jaringan komunikasi politik, agama dan perdagangan internasional antar-Madagaskar (Afrika), Arab, Jawa (Nusantara), dan China yang berpusat di Khanfu (Kanton). Tak heran bila kemudian ditemukan banyak peninggalan-peninggalan historis di seputar kawasan kepulauan Nusantara.
Setelah ditemukannya bukti-bukti historis adanya orang-orang Islam yang sifatnya masih individual di beberapa tempat di Nusantara yang datang melalui aktivitas perdagangan, baik sebagai utusan, rombongan dagang maupun peninggalan batu-batu nisan yang bertarikh abad ke-7/8, Denys Lombard menemukan sumber-sumber sejarah paling tua yang menggambarkan perkembangan kehadiran orang-orang Arab Muslim tersebut dua abad kemudian (9/10) dari naskah-naskah berbahasa Arab.
Menurutnya, ada tiga sumber sejarah tertua karya penulis-penulis Arab yang banyak menceritakan tentang hubungan dagang internasional melalui jalur Asia Tenggara itu: Relation de la Chine et d'l Indie karya Ibnu Hurdidbeh tahun 881; Prairies dor karya karya Mas'udi (w. 956); dan kisah Merveilles d I'Indie karya kapten kapal Bozorg Ibn Shahryar, tahun 956.
Sumber-sumber itu banyak mengisahkan hubungan antara perdagangan Arab dengan Nusantara (dalam hubungan jalur perdagangan Afrika, Arab, Sumatra, Jawa, dan China yang terbangun sejak abad ke-7/8).
Istilah “Javaga” (Pulau Jawa), “orang wag-wag” (sebutan untuk orang Nusantara) dan “Muslim” banyak disebut-sebut dalam sumber-sumber tersebut.
Lombard menjelaskan, di Kanton pada abad ke-9, bertemulah “kapal-kapal yang datang dari Basra, Siraf, Oman, kota-kota India, Kepulauan Javaga, Campa, dan kerajaan-kerajaan lain.”
Mas'udi pun menceritakan pemberontak Huang Chao yang menghancurkan perdagangan pada tahun 879, “200 orang Muslim, Nasrani, Yahudi, dan Majusi waktu itu telah tewas oleh senjata atau tenggelam dalam air ketika mereka lari dikejar-kejar.”
Bandar-bandar dagang di Sumatera saat itu, berada dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Melihat hubungan dagang yang luas dan intensif tersebut, orang-orang Arab Muslim sudah terbiasa memasuki kepulauan Nusantara sejak zaman Sriwijaya yang berlangsung sejak abad ke-7/8M.
(mhy)