Benarkah Perselisihan Umat Islam sebagai Rahmat?
loading...
A
A
A
Benarkah perselisihan umat Islam sebagai rahmat ? Pertanyaan ini patut disampaikan karena seringnya para dai mengutip yang mereka klaim sebagai hadis yang berbunyi: "Perselisihan di antara umatku adalah rahmat."
Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" yang telah diterjemahkan A.M. Basamalah dengan judul "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" menyebut bahwa hadis tersebut tidak ada sumbernya.
Para pakar hadis telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan, "Hadis tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadis dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang sahih, dha'if ataupun maudhu'."
Pernyataan itu ditegaskan dan disepakati Syaikh Zakaria al-Anshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situ ia mengatakan, "Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti."
Ibnu Hazem dalam al-Ahkam fi Ushulil-Ahkam, V/64 menyatakan, "Ini bukan hadis."
Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan merupakan rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan.
Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslimin yang berpikir tenang dan teliti. Masalahnya, hanya dua alternatif yakni bersepakat atau berselisih,yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan).
Menurut al-Albani, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut mazhab yang fanatik tidak segan-segannya mengkafirkan pengikut mazhab lain.
Anehnya, jangankan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanyapun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang berusaha kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang sahih padahal itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang mereka ikuti.
Imam-imam yang menjadi panutan mereka itu telah dengan tegas berpegang hanya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma, dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, "Bila hadis itu shahih, maka itulah mazhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku betentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, ikutilah Qur'an dan Sunnah serta campakanlah ijtihad dan pendapatku." Itulah mereka.
Al-Albani mengatakan ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan.
Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu mau benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur'an serta mencamkan firman Allah dalam suratan-Nisa' ayat 82, yang artinya:
"... Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." ( QS anÂNisa' : 82)
Al-Albani menjelaskan ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikian, bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? La haula wala quwwata illa billah!
Menurut Al-Albani, karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam --khususnya dewasa ini -- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. "Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan," katanya.
Ringkasnya, kata al-Albani lagi, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkannya dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti yang difirmankan Allah:
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..." ( QS al-Anfal : 46)
Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" yang telah diterjemahkan A.M. Basamalah dengan judul "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" menyebut bahwa hadis tersebut tidak ada sumbernya.
Para pakar hadis telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan, "Hadis tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadis dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang sahih, dha'if ataupun maudhu'."
Pernyataan itu ditegaskan dan disepakati Syaikh Zakaria al-Anshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situ ia mengatakan, "Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti."
Ibnu Hazem dalam al-Ahkam fi Ushulil-Ahkam, V/64 menyatakan, "Ini bukan hadis."
Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan merupakan rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan.
Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslimin yang berpikir tenang dan teliti. Masalahnya, hanya dua alternatif yakni bersepakat atau berselisih,yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan).
Menurut al-Albani, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut mazhab yang fanatik tidak segan-segannya mengkafirkan pengikut mazhab lain.
Anehnya, jangankan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanyapun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang berusaha kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang sahih padahal itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang mereka ikuti.
Imam-imam yang menjadi panutan mereka itu telah dengan tegas berpegang hanya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma, dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, "Bila hadis itu shahih, maka itulah mazhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku betentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, ikutilah Qur'an dan Sunnah serta campakanlah ijtihad dan pendapatku." Itulah mereka.
Al-Albani mengatakan ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan.
Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu mau benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur'an serta mencamkan firman Allah dalam suratan-Nisa' ayat 82, yang artinya:
"... Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." ( QS anÂNisa' : 82)
Al-Albani menjelaskan ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikian, bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? La haula wala quwwata illa billah!
Menurut Al-Albani, karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam --khususnya dewasa ini -- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. "Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan," katanya.
Ringkasnya, kata al-Albani lagi, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkannya dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti yang difirmankan Allah:
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..." ( QS al-Anfal : 46)