Pentingnya Mewujudkan Khaer Ummah
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Satu hal yang banyak terlupakan adalah kenyataan bahwa umat ini terlahir dan ditakdirkan untuk memegang kepemimpinan manusia. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur'an : "Iinni jaa'iluka linnaas Imaama" (sesungguhnya Aku, Allah, menjadikan kamu, wahai Ibrahim, Pemimpin bagi manusia).
Tentu kepemimpinan yang dimaksud bukan sekadar kepemimpinan biasa (ordinary leadership) yang secara umum dipahami di masyarakat. Tapi kepemimpinan dengan ciri dan karakter yang Allah, Pencipta langit dan bumi, telah tentukan.
Kepemimpinan dalam pemahaman umum adalah kepemimpinan yang selain sekadar berorientasi kekuasaan. Juga pada umumnya diperebutkan dengan cara-cara yang kerap jauh dari nilai dan ajaran Islam. Bahkan tidak jarang kepemimpinan dengan pemahaman seperti itu bertujuan jangka pendek dan and untuk kepentingan sempit lainnya.
Kepemimpinan dalam Islam itu dimaknai sebagai kepemimpinan yang berwawasan, berdasar, dan berorientasi kesalehan (righteousness). Dalam bahasa Al-Qur'an dikenal dengan "imaman lil-muttaqiin" (pemimpin bagi orang-orang bertakwa).
Kutipan ayat ini tentunya selain bahwa kepemimpinan dalam Islam itu bertujuan untuk menghadirkan nilai-nilai kesalehan (ketakwaan) dalam masyarakat. Juga bahwa mereka yang berada pada posisi kepemimpinan itu harus membuktikan kesalehan (ketakwaan) itu. Tanpa kesalehan pemimpin justeru hanya akan menambah kerusakan moral bagi masyarakat luas.
Minimal ada dua hal penting yang mendasari kenapa umat ini penting untuk mengendalikan kepemimpinan yang berkarakter kesalehan (ketakwaan) itu.
Pertama, karena umat ini memang telah ditakdirkan menjadi umat dengan karakter wasathiyah (umat pertengahan). Karakter ini dimaknai salah satunya bahwa umat ini harus mampu menghadirkan ketauladanan bagi seluruh umat manusia. Pemimpin seharusnya memiliki ketauladanan itu.
Kedua, dan ini yang lebih spesifik, karena umat ini telah ditakdirkan untuk menjadi Umat dengan karakter imtiyaz atau an Ummah of excellence. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an (Ali Imran: 110). Dengan karakter Istimewa (excellence) itulah umat ini seharusnya mengendalikan kepemimpinan itu.
Jalan Menuju Khaeriyah (Best) Ummah
Tentu pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana agar umat ini mampu menjadi umat dengan karakter imtiyaz (excellence) tadi? Pada ayat itu sendiri disebutkan dua hal, yaitu: 1) amar ma'ruf dan nahi mungkar ditegakkan. 2) dengan keimanan yang solid kepada Allah.
Namun rincian dua hal itu akan saya bagi ke beberapa dalam poin penting untuk umat lakukan untuk bisa bangkit dan meraih posisi keutamaan (khaeriyah) tadi.
Pertama, umat perlu mereformasi wawasan keimanannya. Bukan mereformasi iman. Tapi cara pandang keimanan yang seringkali bersifat pasif dan cenderung defensif.
Hampir semua kata iman dalam Al-Qur'an itu berbentuk kata kerja "Aamanuu". Menunjukkan bahwa keimanan itu bukan sesuatu yang bersifat pasif. Tapi kata yang mengharuskan keaktifan dan pergerakan.
Karenanya iman itu selain menjadi fondasi dalam segala aspek kehidupan, juga harus menjadi mesin (engine) bagi perjalanan hidup. Orang beriman itu punya rasa percaya diri (self confidence), bahkan berani dan kuat menghadapi hiruk pikuk dunianya dengan imannya.
Sejarah membuktikan bahwa terbentuknya peradaban yang tinggi dengan karya dan inovasi yang dahsyat karena dorongan iman anak-anak Umat di masa lalu. Tengoklah sejarah, dari Madinah, Baghdad, hingga ke Eropa yang berpusat di Kordoba Spanyol.
Kedua, Urgensi menata hati. Hati itu adalah pusat kehidupan. Hatilah sebagai komando yang menentukan arah hidup. Hitam putihnya hidup seseorang ditentukan oleh hatinya (hadits).
Berbagai masalah yang menimpa Umat ini, perpecahan misalnya, karena masalah hati. Ada sesuatu yang salah dengan hati. Ukhuwah dan kesatuan Umat (wihdah) itu relevansinya yang terpenting ada pada hati. Sebab yang dikehendaki oleh Al-Qur'an itu adalah ta'liful quluub" (fa allafa baina quluubikum).
Jika hati bersih, sehat dan tertata secara baik maka apapun perbedaan yang ada di kalangan Umat ini akan menjadi mudah untuk dikelolah (managed). Perbedaan nasionalitas, suku atau ras, bahkan perbedaan opini keagamaan (penafsiran) atau madzhab tidak akan menjadi faktor perpecahan.
Artinya ukhuwah dan persatuan umat itu berakar pada koneksi hati (silaturrahim). Silaturrahim dimaknai sebagai sambungan atau koneksi rahmah (kasih sayang) yang pastinya berpusat pada hati orang-orang beriman.
Tentu urgensi menata hati bukan sekadar dimaksudkan untuk ukhuwah dan persatuan. Tapi juga berbagai penyelewengan (corruption) yang mungkin dilakukan oleh Umat ini, baik pada tatanan pribadi maupun kolektif, termasuk korupsi atau penyelewengan amanah publik disebabkan oleh hati yang kotor (rakus).
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Satu hal yang banyak terlupakan adalah kenyataan bahwa umat ini terlahir dan ditakdirkan untuk memegang kepemimpinan manusia. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur'an : "Iinni jaa'iluka linnaas Imaama" (sesungguhnya Aku, Allah, menjadikan kamu, wahai Ibrahim, Pemimpin bagi manusia).
Tentu kepemimpinan yang dimaksud bukan sekadar kepemimpinan biasa (ordinary leadership) yang secara umum dipahami di masyarakat. Tapi kepemimpinan dengan ciri dan karakter yang Allah, Pencipta langit dan bumi, telah tentukan.
Kepemimpinan dalam pemahaman umum adalah kepemimpinan yang selain sekadar berorientasi kekuasaan. Juga pada umumnya diperebutkan dengan cara-cara yang kerap jauh dari nilai dan ajaran Islam. Bahkan tidak jarang kepemimpinan dengan pemahaman seperti itu bertujuan jangka pendek dan and untuk kepentingan sempit lainnya.
Kepemimpinan dalam Islam itu dimaknai sebagai kepemimpinan yang berwawasan, berdasar, dan berorientasi kesalehan (righteousness). Dalam bahasa Al-Qur'an dikenal dengan "imaman lil-muttaqiin" (pemimpin bagi orang-orang bertakwa).
Kutipan ayat ini tentunya selain bahwa kepemimpinan dalam Islam itu bertujuan untuk menghadirkan nilai-nilai kesalehan (ketakwaan) dalam masyarakat. Juga bahwa mereka yang berada pada posisi kepemimpinan itu harus membuktikan kesalehan (ketakwaan) itu. Tanpa kesalehan pemimpin justeru hanya akan menambah kerusakan moral bagi masyarakat luas.
Minimal ada dua hal penting yang mendasari kenapa umat ini penting untuk mengendalikan kepemimpinan yang berkarakter kesalehan (ketakwaan) itu.
Pertama, karena umat ini memang telah ditakdirkan menjadi umat dengan karakter wasathiyah (umat pertengahan). Karakter ini dimaknai salah satunya bahwa umat ini harus mampu menghadirkan ketauladanan bagi seluruh umat manusia. Pemimpin seharusnya memiliki ketauladanan itu.
Kedua, dan ini yang lebih spesifik, karena umat ini telah ditakdirkan untuk menjadi Umat dengan karakter imtiyaz atau an Ummah of excellence. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an (Ali Imran: 110). Dengan karakter Istimewa (excellence) itulah umat ini seharusnya mengendalikan kepemimpinan itu.
Jalan Menuju Khaeriyah (Best) Ummah
Tentu pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana agar umat ini mampu menjadi umat dengan karakter imtiyaz (excellence) tadi? Pada ayat itu sendiri disebutkan dua hal, yaitu: 1) amar ma'ruf dan nahi mungkar ditegakkan. 2) dengan keimanan yang solid kepada Allah.
Namun rincian dua hal itu akan saya bagi ke beberapa dalam poin penting untuk umat lakukan untuk bisa bangkit dan meraih posisi keutamaan (khaeriyah) tadi.
Pertama, umat perlu mereformasi wawasan keimanannya. Bukan mereformasi iman. Tapi cara pandang keimanan yang seringkali bersifat pasif dan cenderung defensif.
Hampir semua kata iman dalam Al-Qur'an itu berbentuk kata kerja "Aamanuu". Menunjukkan bahwa keimanan itu bukan sesuatu yang bersifat pasif. Tapi kata yang mengharuskan keaktifan dan pergerakan.
Karenanya iman itu selain menjadi fondasi dalam segala aspek kehidupan, juga harus menjadi mesin (engine) bagi perjalanan hidup. Orang beriman itu punya rasa percaya diri (self confidence), bahkan berani dan kuat menghadapi hiruk pikuk dunianya dengan imannya.
Sejarah membuktikan bahwa terbentuknya peradaban yang tinggi dengan karya dan inovasi yang dahsyat karena dorongan iman anak-anak Umat di masa lalu. Tengoklah sejarah, dari Madinah, Baghdad, hingga ke Eropa yang berpusat di Kordoba Spanyol.
Kedua, Urgensi menata hati. Hati itu adalah pusat kehidupan. Hatilah sebagai komando yang menentukan arah hidup. Hitam putihnya hidup seseorang ditentukan oleh hatinya (hadits).
Berbagai masalah yang menimpa Umat ini, perpecahan misalnya, karena masalah hati. Ada sesuatu yang salah dengan hati. Ukhuwah dan kesatuan Umat (wihdah) itu relevansinya yang terpenting ada pada hati. Sebab yang dikehendaki oleh Al-Qur'an itu adalah ta'liful quluub" (fa allafa baina quluubikum).
Jika hati bersih, sehat dan tertata secara baik maka apapun perbedaan yang ada di kalangan Umat ini akan menjadi mudah untuk dikelolah (managed). Perbedaan nasionalitas, suku atau ras, bahkan perbedaan opini keagamaan (penafsiran) atau madzhab tidak akan menjadi faktor perpecahan.
Artinya ukhuwah dan persatuan umat itu berakar pada koneksi hati (silaturrahim). Silaturrahim dimaknai sebagai sambungan atau koneksi rahmah (kasih sayang) yang pastinya berpusat pada hati orang-orang beriman.
Tentu urgensi menata hati bukan sekadar dimaksudkan untuk ukhuwah dan persatuan. Tapi juga berbagai penyelewengan (corruption) yang mungkin dilakukan oleh Umat ini, baik pada tatanan pribadi maupun kolektif, termasuk korupsi atau penyelewengan amanah publik disebabkan oleh hati yang kotor (rakus).