Ini Penyebab Romawi dan Persia Tidak Tertarik Kuasai Jazirah Arab di Era Pra-Islam

Selasa, 20 September 2022 - 05:15 WIB
loading...
Ini Penyebab Romawi dan Persia Tidak Tertarik Kuasai Jazirah Arab di Era Pra-Islam
Pada masa pra-Islam Jazirah Arab hanyalah hamparan padang pasir yang tandus. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Negeri-negeri Jazirah Arab tidaklah menarik pada era pra-Islam. Romawi dan Persia yang selalu bertempur memperebutkan wilayah jajahan tak sedikitpun melirik negeri ini. Jazirah Arab hanyalah hamparan padang pasir yang tandus.

Buku "Sejarah Hidup Muhammad" karya Muhammad Husain Haekal disebutkan jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudra Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah.



Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer pula. "Wilayah ini sangat tandus. Itu sebabnya, semua penjajah merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak ada," tutur Haekal.

Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan.

Hidup di daerah itu sama sekali tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir, sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya. Beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain.

Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.

Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak.



Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.

Lalu-lintas Perdagangan
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran.

Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Romawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya.

Jazirah Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut.

Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja. Tetapi sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui.

Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat.

Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu.



Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat itu."

Menurut Haekal, lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur.

Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.

Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya.

Sedang mereka yang berani secara untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu.

Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu.

Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan - ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir.



Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan.

Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat.

Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.

Mulai Dikenal Dunia
Dr Jawwad Ali dalam buku berjudul al-Mufashshal fi Tarikh al-Arab Qabla al-Islam atau "Sejarah Arab Sebelum Islam" menambahkan bahwa pada era pra-Islam, Mekkah juga tidak begitu dikenal. Bahkan dalam manuskrip Raja Babilonia belum ditemukan nama Mekkah. Manuskrip raja tersebut menyebutkan daftar berbagai tempat yang telah dikuasai pasukannya, tapi tidak ada nama Mekkah.

Dari sejumlah nama yang disebutkan Raja Babilonia, hanya sampai ke Hijaz. Yatsrib adalah tempat terakhir yang pernah dijangkau kekuasaannya di wilayah Arab Barat.

Menurut Haekal, jazirah Arab tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Nabi Muhammad SAW lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.



Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus.

Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan.

Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas.

Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.

Sebelum dibangunnya bendungan ini, air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma'rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3140 seconds (0.1#10.140)