Ibnu Batutah ke Samudera Pasai Kagumi Sultan Mahmud Sholat Jumat Jalan Kaki

Jum'at, 23 September 2022 - 11:11 WIB
loading...
Ibnu Batutah ke Samudera Pasai Kagumi Sultan Mahmud Sholat Jumat Jalan Kaki
Ibnu Batutah sempat mampir ke Saudera Pasai selama 15 hari dalam perjalanannya ke China. Foto/Ilustrasi Ist
A A A
Pengembaraan Ibnu Batutah tercatat sepanjang 120.000 kilometer selama 30 tahun, 15 hari di antaranya di Samudera Pasai (kini Aceh). Tepatnya di sebuah Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13 hingga 15 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Mekkah selama 15 hari.

Mohamad Fadhilah Zein dalam bukunya berjudul "Islam di Yordania, Maroko dan Spanyol" menyebutkan kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fikih atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345).



Catatan Ibnu Batutah dalam perjalanan laut menuju China menyebutkan, ia mampir di wilayah Samudera Pasai. Dalam catatan perjalanannya itu, Ibnu Batutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah.

”Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan Mahmud merupakan penganut Mazhab Syafi'i yang giat menyelenggarakan pengajian dan mudzakarah tentang Islam.

Penjelajah termasyhur asal Maghrib itu sangat mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai saat itu. "Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk sholat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai sholat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” ujar Ibnu Batutah berkisah.

la juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama.

Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.

Ibnu Batutah juga sempat mengunjungi pedalaman Sumatera yang kala itu masih dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga ia menyaksikan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika pemimpinnya mati.



Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Batutah akhirnya melanjutkan perjalannya menuju Negeri Tirai Bambu China.

Catatan perjalanan Ibnu Batutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara. Berkat petualangan singkat Ibnu Batutah ini, kini Bangsa Indonesia sangat dikenal di mata masyarakat Maroko, sebagai bangsa yang ramah, santun, toleran dan cinta terhadap agama Islam yang moderat.

Taat Memelihara Tradisi Islam
Nama lengkap Ibnu Batutah adalah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/703 H dan wafat di kota kelahirannya pada tahun 1377 M/ 779 H.

Ibnu Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqih dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim).

Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pada usia sekitar 21 tahun 4 bulan, ia menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya berpetualang dan menjelajahi dunia. Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara selama 30 tahun.

Rihlah Ibnu Batutoh inilah salah satu buku legendaris yang mengisahkan perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M.

Sejatinya, kata Mohamad Fadhilah Zein, Rihlah bukanlah judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre (gaya sastra). Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara'ib al-Amshar wa 'Aja'ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko, Abu Inan.

Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Prancis, Inggris dan Jerman.



Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama pengembaraanya.

Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya hanya mengisahkan pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya terutama yang menyangkut kultur setempat.

Sangat Ramah
Masyarakat Maroko menjadi kenal Indonesia karena catatan Ibnu Batutah tersebut. Para ulama Maroko mengakui masyarakat Indonesia memang ramah. “Masyarakat muslim Indonesia sangat terpuji akhlaknya, mereka memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama,” ujar Dr Idris Hanafi, Dosen pakar hadis, sebagaimana dikutip Mohamad Fadhilah Zein.

Begitu juga tabiat masyarakat Maroko, yang terkenal dengan sikapnya yang sangat ramah dalam menghormati tamu, mereka menganggap tamu itu benar-benar seperti raja. Hal ini tentunya merupakan ciri khas orang Maroko dan sebagai aplikasi dari sebuah Hadis Rasul SAW.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, yaitu jaizahnya.”

Para sahabat bertanya: “Apakah jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?”

Beliau SAW bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya. Menjamu tamu yang disunnahkan secara muakkad atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari. Apabila lebih dari waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah padanya.” (Muttafaqun Alaih).

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2373 seconds (0.1#10.140)