Kisah Keberkahan Halimah setelah Menyusui Muhammad SAW
loading...
A
A
A
Saat masih bayi Nabi Muhammad SAW disusui Halimah as-Sadiyah . Pada mulanya, Halimah tidak tertarik untuk menyusui bayi yang yatim itu. Namun karena tidak mendapatkan bayi lain, Halimah pun akhirnya menerima. Keputusan Halimah ini membawa berkah yang berlimpah.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menyebutkan bahwa pada waktu itu bangsawan Arab selalu menyerahkan bayi-bayi mereka kepada perempuan dari pedalaman untuk disusui. Tujuannya agar bayi-bayi itu terhindar dari penyakit yang biasa menyebar di perkotaan dan agar fisiknya bisa tumbuh sehat di tengah-tengah hawa pedalaman yang segar.
"Juga agar bayi-bayi mereka terlatih berbahasa Arab yang fasih sejak kecil. Abdul Muththalib pun mencari perempuan pedalaman yang mau menyusui cucunya," tulisnya.
Martin Lings menyebutkan keistimewaan hidup di pedesaan di antaranya: memiliki udara segar untuk pernafasan, bahasa Arab yang fasih untuk lidah, dan kebebasan bagi jiwa.
Haekal menulis pada hari kedelapan sesudah dilahirkan bayi anak bangsawan Mekkah biasanya dikirim ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'ad.
Fuad Abdurahman dalam bukunya berjudul "Jalan Damai Rasulullah: Risalah Rahmat bagi Semua" menceritakan sebelum diserahkan kepada tukang susu itu secara bergantian Aminah dan Tsuwaibah menyusui Muhammad. Thuwaiba adalah budak perempuan Abu Lahab.
Di sisi lain, perempuan yang biasa menyusui bayi masyarakat perkotaan mulai berdatangan mencari bayi-bayi yang akan disusui dengan sejumlah imbalan, dan mencari bayi yang ayahnya orang kaya.
Begitu datang rombongan para wanita yang biasa menyusui bayi dari Bani Sa'ad ke Mekkah maka Abdul Muthalib memberi tahu Halimah binti Abu Du’aib dari Bani Saad ibn Bakar atau Halimah Sa'diyah tentang cucunya yang baru beberapa hari lahir.
Pada mulanya, Halimah enggan menerima bayi Muhammad karena yatim. Perempuan-perempuan dari pedalaman itu tentu mengharapkan upah yang memadai untuk jasa menyusui selama dua tahun. Oleh sebab itu biasanya mereka menghindari bayi dengan status yatim seperti Muhammad.
Halimah tidak berminat membawa bayi Muhammad, tetapi karena dia tidak mendapat bayi yang lain, maka dia akhirnya membawa bayi tersebut.
Saat Paceklik
Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib meriwayatkan, "Halimah As Sa'diyah bercerita, bersama suami dan anak yang masih kecil yang masih disusuinya, dia pergi meninggalkan kampung halamannya mencari bayi-bayi untuk disusui. Bersama kami, ada sejumlah wanita dari Bani Sa'ad bin Abu Bakar."
"Kepergian ini terjadi pada musim kemarau. Tanaman-tanaman mengering, hewan-hewan ternak mati, sampai tak sedikit pun ada yang yang tersisa bagi kami. Ia menuturkan, aku pergi dengan membawa unta yang sudah tua dan tidak bisa lagi mengeluarkan air susu setetes pun."
"Setiap malamnya kami tidak bisa tidur meski sesaat karena tangisan anak kami yang kelaparan. Lantaran air susuku tidak bisa mencukupi. Kantung susu unta kami juga tidak menghasilkan susu untuk anak kami. Kami berharap ada ada bantuan dan jalan keluar."
"Ketika tiba di Mekkah dan mencari bayi-bayi untuk kami susui, suatu hal di luar dugaan terjadi. Setiap wanita dalam rombongan kami ditawari menyusui Rasulullah SAW, tapi mereka semua enggan menerimanya saat diberi tahu kalau beliau anak yatim karena mereka mengharapkan kebaikan dari ayah si anak."
Dua hari berlalu, setiap wanita di rombongan tersebut sudah mendapatkan bayi untuk disusui. “Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga,” ujar Halimah kepada suaminya Harits ibn Abdul Uzza yang biasa dipanggil Abu Kabsyah:
“Baiklah” kata suaminya:”Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”
Air Susu yang Berkah
Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah as-Saman dijelaskan, sejak Halimah mengambil Muhammad yang masih bayi untuk disusui, dia membawa beliau pulang dengan menggunakan kendaraannya. Bayi itu diletakkan Halimah di pangkuannya untuk kemudian disusui.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menyebutkan bahwa pada waktu itu bangsawan Arab selalu menyerahkan bayi-bayi mereka kepada perempuan dari pedalaman untuk disusui. Tujuannya agar bayi-bayi itu terhindar dari penyakit yang biasa menyebar di perkotaan dan agar fisiknya bisa tumbuh sehat di tengah-tengah hawa pedalaman yang segar.
"Juga agar bayi-bayi mereka terlatih berbahasa Arab yang fasih sejak kecil. Abdul Muththalib pun mencari perempuan pedalaman yang mau menyusui cucunya," tulisnya.
Martin Lings menyebutkan keistimewaan hidup di pedesaan di antaranya: memiliki udara segar untuk pernafasan, bahasa Arab yang fasih untuk lidah, dan kebebasan bagi jiwa.
Haekal menulis pada hari kedelapan sesudah dilahirkan bayi anak bangsawan Mekkah biasanya dikirim ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'ad.
Fuad Abdurahman dalam bukunya berjudul "Jalan Damai Rasulullah: Risalah Rahmat bagi Semua" menceritakan sebelum diserahkan kepada tukang susu itu secara bergantian Aminah dan Tsuwaibah menyusui Muhammad. Thuwaiba adalah budak perempuan Abu Lahab.
Di sisi lain, perempuan yang biasa menyusui bayi masyarakat perkotaan mulai berdatangan mencari bayi-bayi yang akan disusui dengan sejumlah imbalan, dan mencari bayi yang ayahnya orang kaya.
Begitu datang rombongan para wanita yang biasa menyusui bayi dari Bani Sa'ad ke Mekkah maka Abdul Muthalib memberi tahu Halimah binti Abu Du’aib dari Bani Saad ibn Bakar atau Halimah Sa'diyah tentang cucunya yang baru beberapa hari lahir.
Pada mulanya, Halimah enggan menerima bayi Muhammad karena yatim. Perempuan-perempuan dari pedalaman itu tentu mengharapkan upah yang memadai untuk jasa menyusui selama dua tahun. Oleh sebab itu biasanya mereka menghindari bayi dengan status yatim seperti Muhammad.
Halimah tidak berminat membawa bayi Muhammad, tetapi karena dia tidak mendapat bayi yang lain, maka dia akhirnya membawa bayi tersebut.
Saat Paceklik
Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib meriwayatkan, "Halimah As Sa'diyah bercerita, bersama suami dan anak yang masih kecil yang masih disusuinya, dia pergi meninggalkan kampung halamannya mencari bayi-bayi untuk disusui. Bersama kami, ada sejumlah wanita dari Bani Sa'ad bin Abu Bakar."
"Kepergian ini terjadi pada musim kemarau. Tanaman-tanaman mengering, hewan-hewan ternak mati, sampai tak sedikit pun ada yang yang tersisa bagi kami. Ia menuturkan, aku pergi dengan membawa unta yang sudah tua dan tidak bisa lagi mengeluarkan air susu setetes pun."
"Setiap malamnya kami tidak bisa tidur meski sesaat karena tangisan anak kami yang kelaparan. Lantaran air susuku tidak bisa mencukupi. Kantung susu unta kami juga tidak menghasilkan susu untuk anak kami. Kami berharap ada ada bantuan dan jalan keluar."
"Ketika tiba di Mekkah dan mencari bayi-bayi untuk kami susui, suatu hal di luar dugaan terjadi. Setiap wanita dalam rombongan kami ditawari menyusui Rasulullah SAW, tapi mereka semua enggan menerimanya saat diberi tahu kalau beliau anak yatim karena mereka mengharapkan kebaikan dari ayah si anak."
Dua hari berlalu, setiap wanita di rombongan tersebut sudah mendapatkan bayi untuk disusui. “Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga,” ujar Halimah kepada suaminya Harits ibn Abdul Uzza yang biasa dipanggil Abu Kabsyah:
“Baiklah” kata suaminya:”Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”
Air Susu yang Berkah
Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah as-Saman dijelaskan, sejak Halimah mengambil Muhammad yang masih bayi untuk disusui, dia membawa beliau pulang dengan menggunakan kendaraannya. Bayi itu diletakkan Halimah di pangkuannya untuk kemudian disusui.