Sejarah Paham Al-Mahdi: Mulanya Bersifat Politis Bukan Agama

Selasa, 18 Oktober 2022 - 17:05 WIB
loading...
A A A


Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara ummat Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema pembahasan tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta menghubungkan

Kemudian pengertian bahasa agama ini berubah menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan.

Sedangkan kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang yang telah diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided one, dengan cara yang menakjubkan dan sangat pribadi.

Dengan demikian, orang yang disebut Mahdi atau al-Mahdi, benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa lalu, nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan di masa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara eskatologis.

Menurut Istilah
Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh laki-laki dari keturunan Ahlul-Bait yang akan muncul di akhir zaman. Dia akan menegakkan agama dan keadilan dan diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih yang turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam sewaktu salat bersama-sama Nabi Isa a.s.

Demikianlah pengertian al-Mahdi yang dikenal secara umum di kalangan umat Islam. Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut paham Syi’ah ialah seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan datang memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi oleh kecurangan.

H.M. Rasyidi dalam buku berjudul "Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan" mengatakan kemunculan paham ini didorong oleh timbulnya keresahan dan kerawanan dalam berbagai bidang kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya protes-protes sosial yang sulit dihindarkan.



Dalam situasi yang demikian itulah timbul keinginan masyarakat luas yang mendambakan sosok pimpinan yang dapat mengayomi kepentingan dan ketenteraman mereka, dari berbagai tindakan kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang sedang memerintah.

Dari fenomena tersebut di atas munculah dalam gerakan politik Syi'ah pengkultusan pribadi Ali ibn Abi Talib dan keturunannya. Karena sikap pengkultusan ini, penulis Barat seperti Dozy menilai kaum Syi'ah dalam berbagai tradisinya banyak dipengaruhi oleh budaya Persia. Rakyat memandang raja memiliki hak-hak istimewa yang harus dipatuhi dan diikuti seperti halnya Tuhan.

"Demikian pula golongan Syi'ah memandang 'Ali dan keturunannya atau imam-imam mereka sebagai memiliki kemaksuman (suci dari dosa), sehingga ketundukan mereka kepada seorang imam tidak jauh berbeda dengan ketundukan mereka kepada seorang rasul," tulis Harun Nasution, dalam buku "Teologi Islam".

Dalam hubungan ini, Ihsan Ilahi Zahir dalam "As-Syi'ah wat-Tasyayyu'" berkesimpulan bahwa sikap pengkultusan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka, bermula sejak masuknya unsur-unsur Yahudi, Nasrani, dan Majusi ke dalam Islam. Akan tetapi, unsur yang paling dominan dalam tradisi Syi'ah tersebut adalah unsur kepersiaan, terutama dalam pengkultusan mereka terhadap para imam.

Fenomena tersebut, tampaknya juga mewarnai hadis-hadis Mahdiyyah, di mana dinyatakan bahwa pasti ada di antara keturunan Ali atau Ahlul-Bait yang akan bangkit untuk menegakkan kembali kejayaan Islam, setelah mereka mengalami kekalahan yang serius, terutama untuk menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan.

Dengan demikian, wajarlah apabila kaum Syi’ah sangat mendambakan hadirnya seorang Juru Selamat yang dapat membebaskan mereka dari berbagai kezaliman dan dapat mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa tunggal di dunia Islam.

Di kalangan Syi’ah Iran umpamanya, dalam paham kemahdiannya, nampak diwarnai oleh perasaan dendam dan cemburu terhadap penguasa Arab, sehingga tidak mustahil antarkedua bangsa itu akan selalu timbul perselisihan yang diikuti dengan tindak kekerasan dan reaksioner.



Perlakuan dinasti Umayyah terhadap bangsa Persia yang bertentangan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang diajarkan oleh Nabi, tampaknya merupakan faktor yang mendorong timbulnya rasa dendam bangsa Persia terhadap bangsa Arab hingga sekarang.

Di samping itu, perkawinan antara puteri Yazdajir III dengan Husain, cucu Rasulullah , juga merupakan faktor tersendiri yang mendorong sebagian besar di antara mereka lebih cenderung menjadi pengikut Syi’ah yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan berada di tangan keturunan Ali dengan Fatimah.

Oleh karena itu, lepasnya jabatan khalifah dari tangan Ahlul-Bait ke tangan pihak lain dipandang sebagai penyerobotan hak-hak Ahlul-Bait. Itulah sebabnya mereka ingin menjatuhkan Dinasti Umayyah dengan jalan kekerasan walaupun, karena kokohnya kekuasaan Umayyah, mereka selalu gagal dan bahkan mereka selalu mendapat tekanan, baik di masa Umayyah maupun Abbasiyyah .
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2563 seconds (0.1#10.140)