Kisah Mualaf AS Hoda Boyer: Dari Al-Azhar ke Oak Park

Sabtu, 12 November 2022 - 12:34 WIB
loading...
A A A
Dalam hal ini saya benar-benar merasa direndahkan! Ini tak pernah terbayangkan oleh saya dan takkan pernah terbayangkan kalau saja saya tidak mengunjungi sebuah masyarakat Islam.

Begitu saya paham bahasa Arab sedikit-sedikit, saya baru bisa merasakan nikmatnya berada di tengah-tengah kelompok wanita. Dalam masyarakat Islam, tak ada persaingan untuk berebut laki-laki. Buat saya ini merupakan sesuatu yang baru. Yang saya maksud, mereka benar-benar seperti saudara satu sama lain. Jika pun ada persaingan, tak lain adalah berlomba-lomba dalam ketakwaan dan keimanan.



Saya mengalami perasaan yang benar-benar indah. Saya juga merasa bahwa Islam telah berbuat sesuatu untuk saya: meyakinkan bahwa kaum wanita mempunyai peran yang amat penting, dan bersama-sama mereka merupakan saat-saat yang penting pula.

Ibadah Haji
Sekembalinya saya ke Mesir saya kehabisan uang, dan akhirnya saya mengajar bahasa Inggris. Sejak itu saya tak pernah punya masalah keuangan lagi.

Saya tinggal di lingkungan masyarakat miskin. Mereka tak punya gula, garam, kopi, teh, apalagi obat-obatan. Mereka hidup dalam kemiskinan materi. Hanya punya selembar pakaian, tetapi mereka punya naluri dan perasaan yang indah tentang bagaimana hidup yang seharusnya.

Mereka memiliki keanggunan dan keluwesan yang mungkin, Anda pikir, hanya ditemui dalam dongeng-dongeng negeri Baghdad. Kepedulian tentang nasib sesamanya benar-benar menakjubkan. Itulah hal-hal yang saya pikir tak pernah ada di mana pun.

Tahun 1980 saya menunaikan ibadah haji bersama sejumlah warga Mesir. Sejak itu saya rasa, dengan alasan apa pun, saya tak akan pernah bisa meninggalkan Islam. Ketika itu saya satu-satunya orang Amerika, karena itu para pemeriksa paspor mengira kebetulan saja ada satu paspor Amerika yang terselip di situ.

Saya hidup dan makan sebagaimana mereka makan. Sama sekali tak ada kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan mereka, karena saya terbiasa dengan kehidupan dan makanan yang serba sederhana, dan saya juga terbiasa dengan cuaca panas.

Banyak orang mengira saya keturunan Syria atau Turki. Di wilayah itu memang ada sekelompok suku yang para wanitanya bermata bening. Mata saya mirip sekali dengan mata mereka, karena itu saya dikira berasal dari wilayah itu. Ketika mereka tahu bahwa saya orang Amerika, persahabatan kami bertambah akrab.

Di Kakbah, ada perasaan damai dan kebersamaan yang luar biasa-tak ada duanya. Di depan makam Rasul, saya merasakan emosi, kebahagiaan, kegembiraan, dan cinta. Berjam-jam lamanya bersimbah air mata, merasakan kebahagiaan dan cinta yang mendalam.

Saya masih ingat semua itu, hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada kira-kira dua setengah juta orang di sana, dan semuanya mengalami perasaan yang sama. Perasaan cinta dan damai muncul pada setiap orang, tak peduli apakah Anda seorang Amerika, Saudi, Persia, kulit hitam, ataupun kulit putih. Jelasnya itu semua merupakan rahmat bagi setiap orang yang ingin bersama-sama menunaikan ibadah haji.

Baca juga: Mualaf Jerman Murad Hoffman Bicara tentang Pluralisme dalam Islam
https://kalam.sindonews.com/read/932019/786/mualaf-jerman-murad-hoffman-bicara-tentang-pluralisme-dalam-islam-1667545886



Negeri Dongeng
Di Mesir, saya seperti hidup dalam negeri dongeng. Saya selalu sholat di masjid yang begitu indah, dan tinggal di wilayah tua Kairo. Rasanya seperti ada dalam Kisah Seribu Satu Malam.

Berdiri di persimpangan jalan dan melihat sekeliling, ternyata selama tiga belas abad lamanya tak ada sesuatu pun yang berubah di sini. Suasananya masih sama ketika para pengrajin, seperti penenun, pandai besi, dan tukang sepatu, menggunakan alat dan metode yang sama dengan yang digunakan tujuh ratus tahun lalu.

Suatu kali saya pergi ke the American University Kairo, dan menemukan sebuah buku. Di dalamnya terdapat peta Kairo dimasa Dinasti Fathimiyyah --sebuah dinasti Syi'ah yang memerintah sekitar tahun 909 sampai 1171.

Peta itu menggambarkan pembagian wilayah dan jalan-jalan utama di Kairo di masa itu. Ternyata jalan-jalan itu hingga kini masih menggunakan nama yang sama.

Saya berjalan keliling kota. Di salah satu sudut peta tertera tulisan 'pembuat arang' dan lokasi itu ternyata masih ditempati pembuat arang. Di bagian lagi terdapat petunjuk adanya pengrajin tembaga, setelah saya periksa ternyata di lokasi itu masih ada pengrajin tembaga.

Tukang tenda juga masih ada di lokasi semula. Di situ orang-orang sedang membuat kain tenda, menjahit, dan memasukkannya ke dalam kantung-kantung.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2760 seconds (0.1#10.140)