Kisah Mualaf AS Hoda Boyer: Dari Al-Azhar ke Oak Park

Sabtu, 12 November 2022 - 12:34 WIB
loading...
Kisah Mualaf AS Hoda Boyer: Dari Al-Azhar ke Oak Park
Masjid al-Azhar, setelah kembali ke AS Hoda Boyer rindu akan masjid di Arab. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Hoda Boyer meninggalkan Amerika Serikat untuk hidup di dunia Arab. Ia tenggelam dalam budaya dan agama bagaikan batu karang di lautan. Dipilihnya seorang lelaki sebagai pembimbing spiritualnya. Wanita-wanita Timur Tengah juga banyak mewarnai pemahamannya tentang masalah-masalah kewanitaan.

Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menjelaskan Hoda Boyer adalah seorang warga Amerika kulit putih, pejuang hak-hak wanita (feminis).

Tatkala ke Arab, tulis Steven Barbosa, dipeluknya seorang syekh pertama yang ditemuinya. Ia hidup di perkampungan miskin. Makan jeruk bersama-sama penjaga toko dan penjaga masjid, dan bertemu dengan keluarga Muslim di Spanyol.

Kini ia menjadi seorang penganut Sufi Naqsyabandiyah dan juga penyair. Memilih untuk menjanda karena cerai. Dia tinggal bersama dua orang anaknya yang Muslim di Oak Park, Illinois.

Berikut penuturan Hoda Boyer yang dinukil dari buku yang telah diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995) tersebut:



Sebenarnya, saya mempelajari Islam dengan maksud untuk menambah wawasan tentang sejarah seni. Tapi kemudian saya benar-benar jatuh cinta pada agama ini dengan segala romantikanya. Ketika itu, saya sangat tertarik pada sufisme, tetapi saya belum ingin menjadi seorang Muslim yang harus melakukan segala kerepotan berwudhu, sholat dan menutup aurat.

Saya berkenalan dengan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo. Sesudah saya mengutarakan maksud, ia katakan bahwa saya tak mungkin jadi sufi tanpa menjadi seorang Muslim. Kemudian saya bertemu dengan Mufti Besar Al-Azhar. Sekretarisnya bersedia memberikan les privat tentang Islam. Empat pekan kemudian, secara resmi saya memeluk Islam.

Saya mengucap syahadat di depan Mufti Besar. Hal yang pertama kali saya lakukan sesudah mengucap syahadat, tentu saja, memeluknya. Tapi ia berkata, 'berhubung kau sekarang seorang Muslimah, kau tak dapat lagi memelukku:' "Oh, baik. Saya mengerti," kata saya tersipu.

Ketika itu tahun 1978, sulit rasanya untuk menemukan seorang wanita asing yang tertarik pada Islam dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama ini.

Saya masih giat mencari seorang guru sufi. Saya pergi ke Damaskus, dan menemukan guru yang saya cari. Ketika bertemu dengannya saya merupakan pengikut berkebangsaan asing pertama di Damaskus.

Kini dia mempunyai sekitar 10.000 pengikut. Mereka berkebangsaan Eropa seperti Inggris, Jerman, Swiss, dan Italia. Dia juga mempunyai banyak pengikut di Malaysia dan Srilanka. Pengikutnya mula-mula hanya terdiri dari orang Turki dan Arab.

Saya juga mengunjungi makam Ibn Arabi. Tempat tinggal sang guru lebih di atas dari makam itu. Syeikh Nazim Al-Haqqani hidupnya amat sederhana. Saya dibawa ke rumahnya dan diterima di ruang tamu. Dia keluar, duduk, dan minum segelas air putih. Dia tersenyum dan dengan perlahan berucap, "La illaha illa Allah." Lantas dia mulai ngobrol dengan saya, dalam bahasa Inggris.



Selama beberapa pekan, saya tinggal bersama keluarganya. Suatu hari dia pergi ke Lebanon, sementara saya sendiri ke Inggris. Selama beberapa pekan tinggal bersama mereka, dia tak pernah memaksa saya untuk melakukan apa pun.

Dia mengajar dengan memberi contoh. Saya banyak mengerjakan sholat sunah karena dia juga mengerjakannya, dan agaknya ini membuat dia dan keluarganya senang.

Istrinya juga seorang guru yang membimbing sekitar dua ratus wanita di Damaskus. Saya sungguh kagum dengan pengetahuan istrinya. Dia hafal Al-Quran, menguasai bahasa Turki, Arab, dan Rusia. Dia juga memahami hadis dengan baik.

Kalau menengok ke belakang saya benar-benar tak habis pikir. Bayangkan, seorang wanita asing yang nekat, yang tak tahu apa pun tentang budaya Muslim, begitu ngotot untuk menggeluti hal-hal di dalamnya. Tetapi, teryata mereka menerimanya dengan penuh kebaikan dan ketulusan. Mereka juga penuh simpati. Tak ada yang berlaku kasar, dan semua perintah dan ajaran disampaikan dengan cara lemah lembut dan bijaksana.

Saya katakan pada diri sendiri, saya bukan seorang pejuang kebebasan wanita lagi karena saya memang menginginkan pengalaman mistis semacam ini. Saya harus lakukan semua ini dan mungkin harus mengalami tekanan dan penderitaan.

Di Mesir, pria dan wanita masih bercampur, tetapi di negara-negara seperti Syria, wanita benar-benar dikesampingkan. Menyaksikan hal ini saya agak sakit hati. Mereka pikir tak ada hal-hal berarti yang dapat dilakukan oleh kaum wanita. Hanya kaum prialah yang dapat melakukan semuanya.

Dalam hal ini saya benar-benar merasa direndahkan! Ini tak pernah terbayangkan oleh saya dan takkan pernah terbayangkan kalau saja saya tidak mengunjungi sebuah masyarakat Islam.

Begitu saya paham bahasa Arab sedikit-sedikit, saya baru bisa merasakan nikmatnya berada di tengah-tengah kelompok wanita. Dalam masyarakat Islam, tak ada persaingan untuk berebut laki-laki. Buat saya ini merupakan sesuatu yang baru. Yang saya maksud, mereka benar-benar seperti saudara satu sama lain. Jika pun ada persaingan, tak lain adalah berlomba-lomba dalam ketakwaan dan keimanan.



Saya mengalami perasaan yang benar-benar indah. Saya juga merasa bahwa Islam telah berbuat sesuatu untuk saya: meyakinkan bahwa kaum wanita mempunyai peran yang amat penting, dan bersama-sama mereka merupakan saat-saat yang penting pula.

Ibadah Haji
Sekembalinya saya ke Mesir saya kehabisan uang, dan akhirnya saya mengajar bahasa Inggris. Sejak itu saya tak pernah punya masalah keuangan lagi.

Saya tinggal di lingkungan masyarakat miskin. Mereka tak punya gula, garam, kopi, teh, apalagi obat-obatan. Mereka hidup dalam kemiskinan materi. Hanya punya selembar pakaian, tetapi mereka punya naluri dan perasaan yang indah tentang bagaimana hidup yang seharusnya.

Mereka memiliki keanggunan dan keluwesan yang mungkin, Anda pikir, hanya ditemui dalam dongeng-dongeng negeri Baghdad. Kepedulian tentang nasib sesamanya benar-benar menakjubkan. Itulah hal-hal yang saya pikir tak pernah ada di mana pun.

Tahun 1980 saya menunaikan ibadah haji bersama sejumlah warga Mesir. Sejak itu saya rasa, dengan alasan apa pun, saya tak akan pernah bisa meninggalkan Islam. Ketika itu saya satu-satunya orang Amerika, karena itu para pemeriksa paspor mengira kebetulan saja ada satu paspor Amerika yang terselip di situ.

Saya hidup dan makan sebagaimana mereka makan. Sama sekali tak ada kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan mereka, karena saya terbiasa dengan kehidupan dan makanan yang serba sederhana, dan saya juga terbiasa dengan cuaca panas.

Banyak orang mengira saya keturunan Syria atau Turki. Di wilayah itu memang ada sekelompok suku yang para wanitanya bermata bening. Mata saya mirip sekali dengan mata mereka, karena itu saya dikira berasal dari wilayah itu. Ketika mereka tahu bahwa saya orang Amerika, persahabatan kami bertambah akrab.

Di Kakbah, ada perasaan damai dan kebersamaan yang luar biasa-tak ada duanya. Di depan makam Rasul, saya merasakan emosi, kebahagiaan, kegembiraan, dan cinta. Berjam-jam lamanya bersimbah air mata, merasakan kebahagiaan dan cinta yang mendalam.

Saya masih ingat semua itu, hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada kira-kira dua setengah juta orang di sana, dan semuanya mengalami perasaan yang sama. Perasaan cinta dan damai muncul pada setiap orang, tak peduli apakah Anda seorang Amerika, Saudi, Persia, kulit hitam, ataupun kulit putih. Jelasnya itu semua merupakan rahmat bagi setiap orang yang ingin bersama-sama menunaikan ibadah haji.

Baca juga: Mualaf Jerman Murad Hoffman Bicara tentang Pluralisme dalam Islam
https://kalam.sindonews.com/read/932019/786/mualaf-jerman-murad-hoffman-bicara-tentang-pluralisme-dalam-islam-1667545886



Negeri Dongeng
Di Mesir, saya seperti hidup dalam negeri dongeng. Saya selalu sholat di masjid yang begitu indah, dan tinggal di wilayah tua Kairo. Rasanya seperti ada dalam Kisah Seribu Satu Malam.

Berdiri di persimpangan jalan dan melihat sekeliling, ternyata selama tiga belas abad lamanya tak ada sesuatu pun yang berubah di sini. Suasananya masih sama ketika para pengrajin, seperti penenun, pandai besi, dan tukang sepatu, menggunakan alat dan metode yang sama dengan yang digunakan tujuh ratus tahun lalu.

Suatu kali saya pergi ke the American University Kairo, dan menemukan sebuah buku. Di dalamnya terdapat peta Kairo dimasa Dinasti Fathimiyyah --sebuah dinasti Syi'ah yang memerintah sekitar tahun 909 sampai 1171.

Peta itu menggambarkan pembagian wilayah dan jalan-jalan utama di Kairo di masa itu. Ternyata jalan-jalan itu hingga kini masih menggunakan nama yang sama.

Saya berjalan keliling kota. Di salah satu sudut peta tertera tulisan 'pembuat arang' dan lokasi itu ternyata masih ditempati pembuat arang. Di bagian lagi terdapat petunjuk adanya pengrajin tembaga, setelah saya periksa ternyata di lokasi itu masih ada pengrajin tembaga.

Tukang tenda juga masih ada di lokasi semula. Di situ orang-orang sedang membuat kain tenda, menjahit, dan memasukkannya ke dalam kantung-kantung.

Tampaknya ada upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikan lokasi-lokasi bersejarah. Dan harap Anda tahu, busana masyarakat Timur Tengah tak pernah berubah, mungkin sejak zaman Nabi Ibrahim.

Suasananya mirip sekali dengan museum hidup, bagaikan menggeser kehidupan ke masa lalu. Begitu romantis --seperti yang diimpikan oleh para ahli sejarah seni. Mengamati semua itu saya seperti mabuk kepayang, dan dengan mudah melupakan hal-hal yang lain.

Peta itu ada di dalam buku yang berjudul Fatimid Cairo. Ada sejumlah foto lama yang menggambarkan bangunan-bangunan yang hingga kini masih berdiri. Di buku itu juga ada peta yang dibuat ketika gedung-gedung itu baru dibangun. Peta itu menunjukkan bangunan mana yang masih ada dan juga gedung yang telah dibongkar.

Ada sebuah masjid dengan ornamen kayu yang indah, yang dibangun pada 1200-an. Karena keringnya udara, bangunan masjid itu jadi tahan lama.

Biasanya saya selalu sholat di masjid. Di Mesir kaum wanita mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Wanita dari kalangan kelas menengah biasanya datang ke masjid-masjid untuk mengerjakan sholat. Ada juga kaum wanita yang berjualan buah-buahan di warung-warung sekitar masjid. Di bulan Ramadhan, orang-orang tumpah ruah di jalanan. Dan kaum wanita boleh masuk ke mana saja.

Tidak demikian halnya dengan Sudan. Di negeri itu, pada 1981, saya tak diizinkan masuk ke masjid. Begitu pula di Kashmir, saya ditempatkan di ruang khusus wanita yang tampaknya sudah lima belas tahun tak pernah dipakai.

Debu berserakan di mana-mana. Memang, kaum wanita di negeri itu tak terbiasa datang ke masjid. Karenanya meskipun ada ruangan yang sengaja dibuat ketika masjid itu dibangun, tetap saja tak pernah digunakan. Karena ruangan untuk wanita itu tertutup dan agak jauh, Anda tak akan dapat mendengarkan Imam. Oleh sebab itu Anda tak seperti sedang sholat berjamaah. Kalau saja saya tak pernah tinggal lama di Mesir, mungkin saya tak akan begitu kecewa dengan pengalaman itu.



Rahmat yang Mengalir
Di Mesir, ada banyak masjid besar sebagaimana tertera dalam buku-buku seni. Tetapi lebih banyak lagi masjid-masjid kecil yang tersebar di wilayah-wilayah kumuh. Masjid semacam ini hampir tak pernah menarik perhatian para turis.

Bagi seorang Muslim, keindahan sebuah masjid tak semata-mata terletak pada bentuk arsitekturnya, tetapi juga pada perasaan berada di dalamnya. Ada perasaan tenang jika Anda masuk ke sebuah masjid. Ada rahmat yang selalu mengalir, karena masjid-masjid itu telah digunakan untuk shalat selama ribuan tahun lamanya. Masjid-masjid yang telah berubah menjadi museum tak akan menimbulkan perasaan semacam itu.

Amat jarang rasanya saya menemukan masjid yang tak saya sukai. Salah satu kesukaan saya adalah mengunjungi masjid-masjid yang tak banyak diperhatikan orang, bak perhiasan yang tersembunyi. Misalnya Masjid Mamluk yang dibangun pada 1350 dan hingga kini masih utuh. Masuklah dan coba sholat di dalamnya.

Pada saat pembangunannya, masjid-masjid itu banyak didukung pendanaannya. Di sekitar masjid dibangun toko-toko. Dan penghasilan dari toko-toko itu digunakan untuk menyokong keuangan masjid. Sebuah sistem yang amat bagus yang hingga kini masih berjalan.



Berhenti di Perancis
Di bagian selatan Perancis, banyak gereja yang dihiasi dengan huruf-huruf besar gaya Romawi, yang tampak begitu jelas, dan dibingkai dengan hiasan kecil-kecil dan indah. Saya menemukan beberapa gereja yang juga dihiasi dengan tulisan Arab yang berbunyi: Bismillah-ar-Rahman-ar-Rahim. Saya terheran-heran dibuatnya.

Perjalanan Muslim ke Barat terhenti di Perancis. Tetapi sebelum itu Perancis bagian selatan sebenarnya wilayah yang sangat Islami. Saya tak tahu persis, apakah mereka telah dipaksa pindah ke agama Kristen atau apakah para seniman di sana hanya mengikuti tradisi yang tak dimengerti maknanya.

Kalau Anda tidak mengerti bahasa Arab, ornamen dalam gereja itu tampaknya seperti hiasan arabes biasa. Tetapi kalau Anda memahaminya, Anda pasti akan terkejut dengan makna hiasan yang ada dalam gereja-gereja itu.

Dan tentu saja, di Spanyol sejarah Islam telah berakhir karena masyarakat Muslim di sana telah dipaksa untuk masuk Kristen dan ini terus berlanjut selama beberapa waktu.

Ketika mengunjungi Cordoba, saya masuk ke Masjid Raya, yang di tengah-tengahnya dibangun sebuah gereja. Masjid itu benar-benar indah. Saya memasuki masjid besar itu di suatu siang. Tak banyak orang di dalamnya. Karena waktu sholat telah tiba, maka saya tunaikan kewajiban sholat saya.

Selesai sholat, di belakang saya berdiri seorang laki-laki Spanyol. Ketika itu saya pikir saya telah melakukan kesalahan. Tak tahunya pria itu mendekat dan berucap "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salaam;" jawab saya. Dia mengundang saya mampir ke rumahnya. Belakangan saya tahu bahwa dia salah satu penjaga masjid itu, yang dipekerjakan oleh Kantor Pariwisata setempat. Ia dan keluarganya adalah kripto-Muslim. Mereka telah menjadi Muslim sejak sebelum 1492.

Dia perlihatkan foto-foto keluarganya, kakek neneknya berbusana Muslim, mengenakan jubah dan serban. Ia benar-benar kagum dan tak percaya melihat seseorang sholat dalam masjid itu. Kini ada beberapa komunitas sufi tinggal di sana.

Pada bulan Ramadhan, mereka mengerjakan sholat sunnah dan juga aktivitas-aktkvitas lainnya. Lingkungan mereka memang kurang mendukung. Penjaga masjid itu bercerita kalau orang-orang tahu bahwa mereka Muslim, bisa-bisa mereka dianiaya.

"Dari luar kami berpura-pura menjadi pemeluk Kristen, malahan pergi ke gereja segala. Tetapi di dalam hati kami tetap berpegang teguh sebagai Muslim;" katanya.

Mereka menyimpan Al-Quran di tempat yang tersembunyi, dan tetap membacanya. Penanggalan Hijriyah untuk bulan Ramadhan telah ditandainya untuk keperluan selama 500 tahun.

Dia benar-benar tersentuh melihat seseorang melakukan sholat di masjid itu secara terang-terangan. Tetapi, saya pikir, ini kan masjid dan ketika waktu sholat tiba, saya pun segera sholat. Lantas apanya yang salah?

Ia katakan, keluarganya merasa seperti pelindung Islam di Cordoba; merekalah yang menjaga kebersihan masjid, membuka dan mengunci pintu-pintunya. Dan mereka memilih melakukan pekerjaan itu karena ingin menjadi Muslim secara bersungguh-sungguh, meskipun harus sembunyi-sembunyi.

Sebagaimana diketahui, di masa Inkuisisi siapa pun yang dicurigai akan dibunuh atas nama Kristus. Karenanya masa itu benar-benar tak aman, tetapi mereka tetap melindungi dan menjaga masjid sebagai bagian dari kewajiban mereka terhadap agama Islam.

Saya pikir ini merupakan contoh yang baik bagaimana keislaman seseorang dapat dirahasiakan dan tetap dipegang teguh selama bertahun-tahun, sambil menjaga tradisi dan masjid itu.



Melempar Tulang
Untuk dapat menarik masyarakat, sampai tingkat tertentu, sebuah agama haruslah dapat menyesuaikan diri dengan tradisi setempat. Jika tidak, mempengaruhi orang-orang untuk pindah agama tak akan berhasil dalam jangka panjang. Dalam hal ini, baik Kristen maupun Islam, telah mampu beradaptasi dengan tradisi animisme penduduk asli Afrika. Anda dapat menyaksikan hal ini di Sudan. Di sana masih ada tradisi melempar tulang untuk meramal masa depan.

Dan di Sudan, seorang wanita tak boleh kawin sebelum dia disunat. Ini merupakan tradisi yang mengerikan. Akibatnya mereka terserang infeksi. Bagi mereka, masa-masa menstruasi adalah penderitaan yang berkepanjangan. Tetapi, jangan salah paham, tradisi itu bukan tradisi Islam. Dan ternyata orang-orang Kristen di sana juga melakukannya.

Orang-orang Sudan merupakan Muslim yang baik. Bayangkan, mereka tetap berpuasa di bulan Ramadhan, meskipun udara panas sampai 120 derajat (Farenheit).

Ketika saya mengunjungi pelabuhan Sudan, saya pernah menyaksikan seseorang harus mengalami kematian gara-gara ngotot berpuasa di bulan Ramadhan. Dan seorang Imam kemudian berkata, 'Tidak, bukan itu yang dimaksud. Demi Tuhan, jika engkau merasa letih, minumlah. Maksud puasa di bulan Ramadhan sama sekali bukan untuk mencari mati." Memang orang-orang di sana benar-benar rela mengorbankan hidupnya untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

Di negara-negara dunia ketiga, banyak sekali orang dan juga binatang berkeliaran di jalanan. Sedangkan hidup orang Amerika telah diatur seperti dalam sebuah mesin besar, sehingga susah untuk menyesuaikan dengan hal-hal yang baru. Di sana tak ada tiang-tiang ataupun dekorasi bernafaskan Islam, seperti di masjid-masjid yang menakjubkan. Keindahan sebuah masjid rasanya dapat membuka hati Anda dan mengkhusyukkan sholat Anda.

Saya percaya betul bahwa bentuk fisik benda-benda di sekitar kita akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita. Dan ada bentuk sakral dari arsitektur.

Setiap masjid terdiri dari ruang-ruang kosong. Tak ada patung-patung yang diletakkan di hadapan orang-orang sholat. Tak ada altar, seperti pada gereja-gereja. Anda menghadapkan sholat Anda secara horisontal ke Kiblat di Mekkah, dan secara vertikal kepada Allah. Dan juga ke dalam hati Anda sendiri. Adalah menarik untuk memahami bahwa ruang-ruang kosong masjid itu, agar dipenuhi dengan rahmat Tuhan.



Rindu Masjid
Ada perasaan keislaman manakala Anda masuk ke dalam masjid, entah itu Taj Mahal atau Masjid Sultan Hasan, dan masjid-masjid itu memang ekspresi dari perasaan ini.

Karena saya tinggal jauh dari masjid, saya sholat di rumah. Saya rindu suasana sholat dalam masjid. Ada masjid dekat rumah tetapi masih baru. Kita tahu bahwa masjid Al-Azhar adalah sebuah masjid tua yang dibangun oleh Dinasti Fathimiyyah. Di dalamnya terdapat mihrab. Mereka "memperindah" mihrab itu dengan plastik berlapis batu pualam, yang sepintas tampak seperti ruangan kamar mandi murahan.

Hiasan yang mudah dicopot dan dibersihkan itu merupakan pengganti dari ornamen tua yang sudah hancur. Lapisan batu pualamnya imitasi dan kelihatan seperti linoleum. Sungguh sangat memprihatinkan.

Tetapi saya merindukan keindahan semacam itu. Dan tentu, saya merindukan ucapan selamat dari orang-orang, yang sambil menepuk-nepuk punggung saya berucap betapa indahnya menjadi seorang Muslim. Saya pikir akan selalu ada penguatan kembali.

Kembali ke kehidupan Amerika mirip dengan apa yang dikatakan Rasul ketika kembali dari sebuah peperangan --bahwa dia baru kembali dari jihad kecil dan menuju ke jihad yang lebih besar. Jihad yang lebih besar adalah melawan ego dan hawa nafsu kita.

Saya percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana dan Anda tak dapat hidup tanpa bimbingan Tuhan. Saya masih merasakan keberadaan Tuhan di Amerika, sama kuatnya ketika saya berada di Kairo, Damaskus, Delhi, dan di mana pun juga.

Masalah yang saya hadapi adalah berkaitan dengan gaya hidup seorang Muslim, terutama tata cara berpakaian, di tengah-tengah masyarakat perkotaan Amerika. Saya pikir para imigran Muslim akan lebih mudah berbusana Muslimah ketimbang saya yang jelas-jelas orang Amerika.

Bagi seorang Amerika seperti saya sulit rasanya untuk berbusana sebagaimana para imigran Muslim mengenakannya, karena masyarakat Amerika akan menganggap pakaian mereka sebagai bagian dari kebudayaan. Karena itu wajar saja mereka berpakaian demikian. Padahal sebenarnya mereka itu berpakaian secara Muslim.

Saat ini media massa dan pers tak berpihak kepada Muslim. Banyak pemberitaan tentang Muslim yang meledakkan pesawat. Islam selalu dikait-kaitkan dengan hal-hal yang negatif seperti terorisme dan semacamnya.

Seperti telah dikemukakan berulang-ulang, adalah lebih mudah untuk menjadi pemeluk Budha atau Hindu dan berpenampilan seperti halnya orang-orang Amerika kebanyakan. Tetapi tak demikian halnya untuk menjadi seorang Muslim. Karena sejarah Perang Salib dan pertentangan bangsa-bangsa Eropa dan Timur Tengah, maka sikap antipati terhadap Muslim begitu besar.

Meskipun sarat dengan kesan-kesan negatif, Islam toh tetap merupakan agama yang paling cepat perkembangannya di Eropa maupun di Amerika. Karena itu saya merasakannya sebagai sebuah gelombang masa depan. Dan saya bangga menjadi bagian dari gelombang itu.

Syeikh saya menekankan pentingnya selalu menjalankan syariat Islam, karena dengan cara itulah kita menghambakan diri kepada Tuhan. Percampuran antara pria dan wanita seperti kaum Yahudi, jelas sudah tak perlu lagi dipertanyakan hukumnya. Tetapi saya kira keluwesan masih dimungkinkan. Nah, saya lebih sering menutup rambut dengan topi daripada dengan kerudung. Dengan begitu saya tak terlalu menarik perhatian secara berlebihan.

Kemarin saya bertemu dengan seorang wanita di Dunkin' Donuts, yang sedang bersama-sama dengan suaminya. Wanita itu mengenakan baju panjang dan kerudung, menutup seluruh tubuhnya. Saya lihat dia tidak diganggu. Orang-orang tak lagi melotot kepadanya. Sama saja dengan seseorang yang mengenakan bikini dan masuk ke toko ini untuk beli donat.



Saya kagum dengan saudara-saudara wanita yang sanggup berbusana Muslimah, mereka sungguh hebat. Saya rasa, kalau Anda berpakaian dengan maksud untuk menarik perhatian banyak orang, maka Anda telah mengabaikan fungsi hijab. Karena itu saya berpakaian seperti ini, yang saya pikir merupakan sunnah bagi orang Amerika. Inilah yang saya sebut dress for success bagi Muslimah: karena saya mengenakan jas longgar, celana panjang, topi, dan scarf.

Saya biasa pergi berbelanja ke toko, dan pelayannya selalu bersikap ramah. Saya juga sering membawa serta anak-anak untuk ikut berbelanja. Pada suatu hari si pelayan tampak seperti terharu hendak menangis. Saya tak mengerti kenapa ia bersikap demikian. Kemudian kami ngobrol tentang kehidupan masing-masing.

Saya ceritakan padanya bahwa saya sudah bercerai dengan suami. "Aduh, sedih sekali," katanya. "Ah, tapi 'kan banyak ya pasangan yang cerai." Akhirnya ia bertanya, "Sudahkah kau memikirkan bekal bagi anak-anakmu. Sekadar berjaga-jaga."

"Berjaga-jaga karena apa?" tanya saya keheranan.

Ia tak mau menjawab. Setelah yakin tak ada seorang pun di sekitar kami, ia bertanya lagi, "Apakah kau terkena kanker?".

"Tidak," jawab saya. Akhirnya saya mengerti.

Saya jelaskan kepada pemilik toko itu bahwa saya menutup kepala karena saya seorang Muslim, dan itu merupakan ajaran agama, bukan karena kanker.

Itu mirip cerita komik yang sedih. Saya tetap mengenakan tutup kepala, tetapi menampakkan sedikit rambut saya. Sekadar menunjukkan bahwa saya masih punya rambut.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3170 seconds (0.1#10.140)