Kisah Mualaf AS Hoda Boyer: Dari Al-Azhar ke Oak Park
loading...
A
A
A
Tampaknya ada upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikan lokasi-lokasi bersejarah. Dan harap Anda tahu, busana masyarakat Timur Tengah tak pernah berubah, mungkin sejak zaman Nabi Ibrahim.
Suasananya mirip sekali dengan museum hidup, bagaikan menggeser kehidupan ke masa lalu. Begitu romantis --seperti yang diimpikan oleh para ahli sejarah seni. Mengamati semua itu saya seperti mabuk kepayang, dan dengan mudah melupakan hal-hal yang lain.
Peta itu ada di dalam buku yang berjudul Fatimid Cairo. Ada sejumlah foto lama yang menggambarkan bangunan-bangunan yang hingga kini masih berdiri. Di buku itu juga ada peta yang dibuat ketika gedung-gedung itu baru dibangun. Peta itu menunjukkan bangunan mana yang masih ada dan juga gedung yang telah dibongkar.
Ada sebuah masjid dengan ornamen kayu yang indah, yang dibangun pada 1200-an. Karena keringnya udara, bangunan masjid itu jadi tahan lama.
Biasanya saya selalu sholat di masjid. Di Mesir kaum wanita mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Wanita dari kalangan kelas menengah biasanya datang ke masjid-masjid untuk mengerjakan sholat. Ada juga kaum wanita yang berjualan buah-buahan di warung-warung sekitar masjid. Di bulan Ramadhan, orang-orang tumpah ruah di jalanan. Dan kaum wanita boleh masuk ke mana saja.
Tidak demikian halnya dengan Sudan. Di negeri itu, pada 1981, saya tak diizinkan masuk ke masjid. Begitu pula di Kashmir, saya ditempatkan di ruang khusus wanita yang tampaknya sudah lima belas tahun tak pernah dipakai.
Debu berserakan di mana-mana. Memang, kaum wanita di negeri itu tak terbiasa datang ke masjid. Karenanya meskipun ada ruangan yang sengaja dibuat ketika masjid itu dibangun, tetap saja tak pernah digunakan. Karena ruangan untuk wanita itu tertutup dan agak jauh, Anda tak akan dapat mendengarkan Imam. Oleh sebab itu Anda tak seperti sedang sholat berjamaah. Kalau saja saya tak pernah tinggal lama di Mesir, mungkin saya tak akan begitu kecewa dengan pengalaman itu.
Rahmat yang Mengalir
Di Mesir, ada banyak masjid besar sebagaimana tertera dalam buku-buku seni. Tetapi lebih banyak lagi masjid-masjid kecil yang tersebar di wilayah-wilayah kumuh. Masjid semacam ini hampir tak pernah menarik perhatian para turis.
Bagi seorang Muslim, keindahan sebuah masjid tak semata-mata terletak pada bentuk arsitekturnya, tetapi juga pada perasaan berada di dalamnya. Ada perasaan tenang jika Anda masuk ke sebuah masjid. Ada rahmat yang selalu mengalir, karena masjid-masjid itu telah digunakan untuk shalat selama ribuan tahun lamanya. Masjid-masjid yang telah berubah menjadi museum tak akan menimbulkan perasaan semacam itu.
Amat jarang rasanya saya menemukan masjid yang tak saya sukai. Salah satu kesukaan saya adalah mengunjungi masjid-masjid yang tak banyak diperhatikan orang, bak perhiasan yang tersembunyi. Misalnya Masjid Mamluk yang dibangun pada 1350 dan hingga kini masih utuh. Masuklah dan coba sholat di dalamnya.
Pada saat pembangunannya, masjid-masjid itu banyak didukung pendanaannya. Di sekitar masjid dibangun toko-toko. Dan penghasilan dari toko-toko itu digunakan untuk menyokong keuangan masjid. Sebuah sistem yang amat bagus yang hingga kini masih berjalan.
Berhenti di Perancis
Di bagian selatan Perancis, banyak gereja yang dihiasi dengan huruf-huruf besar gaya Romawi, yang tampak begitu jelas, dan dibingkai dengan hiasan kecil-kecil dan indah. Saya menemukan beberapa gereja yang juga dihiasi dengan tulisan Arab yang berbunyi: Bismillah-ar-Rahman-ar-Rahim. Saya terheran-heran dibuatnya.
Perjalanan Muslim ke Barat terhenti di Perancis. Tetapi sebelum itu Perancis bagian selatan sebenarnya wilayah yang sangat Islami. Saya tak tahu persis, apakah mereka telah dipaksa pindah ke agama Kristen atau apakah para seniman di sana hanya mengikuti tradisi yang tak dimengerti maknanya.
Kalau Anda tidak mengerti bahasa Arab, ornamen dalam gereja itu tampaknya seperti hiasan arabes biasa. Tetapi kalau Anda memahaminya, Anda pasti akan terkejut dengan makna hiasan yang ada dalam gereja-gereja itu.
Dan tentu saja, di Spanyol sejarah Islam telah berakhir karena masyarakat Muslim di sana telah dipaksa untuk masuk Kristen dan ini terus berlanjut selama beberapa waktu.
Ketika mengunjungi Cordoba, saya masuk ke Masjid Raya, yang di tengah-tengahnya dibangun sebuah gereja. Masjid itu benar-benar indah. Saya memasuki masjid besar itu di suatu siang. Tak banyak orang di dalamnya. Karena waktu sholat telah tiba, maka saya tunaikan kewajiban sholat saya.
Selesai sholat, di belakang saya berdiri seorang laki-laki Spanyol. Ketika itu saya pikir saya telah melakukan kesalahan. Tak tahunya pria itu mendekat dan berucap "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salaam;" jawab saya. Dia mengundang saya mampir ke rumahnya. Belakangan saya tahu bahwa dia salah satu penjaga masjid itu, yang dipekerjakan oleh Kantor Pariwisata setempat. Ia dan keluarganya adalah kripto-Muslim. Mereka telah menjadi Muslim sejak sebelum 1492.
Suasananya mirip sekali dengan museum hidup, bagaikan menggeser kehidupan ke masa lalu. Begitu romantis --seperti yang diimpikan oleh para ahli sejarah seni. Mengamati semua itu saya seperti mabuk kepayang, dan dengan mudah melupakan hal-hal yang lain.
Peta itu ada di dalam buku yang berjudul Fatimid Cairo. Ada sejumlah foto lama yang menggambarkan bangunan-bangunan yang hingga kini masih berdiri. Di buku itu juga ada peta yang dibuat ketika gedung-gedung itu baru dibangun. Peta itu menunjukkan bangunan mana yang masih ada dan juga gedung yang telah dibongkar.
Ada sebuah masjid dengan ornamen kayu yang indah, yang dibangun pada 1200-an. Karena keringnya udara, bangunan masjid itu jadi tahan lama.
Biasanya saya selalu sholat di masjid. Di Mesir kaum wanita mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Wanita dari kalangan kelas menengah biasanya datang ke masjid-masjid untuk mengerjakan sholat. Ada juga kaum wanita yang berjualan buah-buahan di warung-warung sekitar masjid. Di bulan Ramadhan, orang-orang tumpah ruah di jalanan. Dan kaum wanita boleh masuk ke mana saja.
Tidak demikian halnya dengan Sudan. Di negeri itu, pada 1981, saya tak diizinkan masuk ke masjid. Begitu pula di Kashmir, saya ditempatkan di ruang khusus wanita yang tampaknya sudah lima belas tahun tak pernah dipakai.
Debu berserakan di mana-mana. Memang, kaum wanita di negeri itu tak terbiasa datang ke masjid. Karenanya meskipun ada ruangan yang sengaja dibuat ketika masjid itu dibangun, tetap saja tak pernah digunakan. Karena ruangan untuk wanita itu tertutup dan agak jauh, Anda tak akan dapat mendengarkan Imam. Oleh sebab itu Anda tak seperti sedang sholat berjamaah. Kalau saja saya tak pernah tinggal lama di Mesir, mungkin saya tak akan begitu kecewa dengan pengalaman itu.
Rahmat yang Mengalir
Di Mesir, ada banyak masjid besar sebagaimana tertera dalam buku-buku seni. Tetapi lebih banyak lagi masjid-masjid kecil yang tersebar di wilayah-wilayah kumuh. Masjid semacam ini hampir tak pernah menarik perhatian para turis.
Bagi seorang Muslim, keindahan sebuah masjid tak semata-mata terletak pada bentuk arsitekturnya, tetapi juga pada perasaan berada di dalamnya. Ada perasaan tenang jika Anda masuk ke sebuah masjid. Ada rahmat yang selalu mengalir, karena masjid-masjid itu telah digunakan untuk shalat selama ribuan tahun lamanya. Masjid-masjid yang telah berubah menjadi museum tak akan menimbulkan perasaan semacam itu.
Amat jarang rasanya saya menemukan masjid yang tak saya sukai. Salah satu kesukaan saya adalah mengunjungi masjid-masjid yang tak banyak diperhatikan orang, bak perhiasan yang tersembunyi. Misalnya Masjid Mamluk yang dibangun pada 1350 dan hingga kini masih utuh. Masuklah dan coba sholat di dalamnya.
Pada saat pembangunannya, masjid-masjid itu banyak didukung pendanaannya. Di sekitar masjid dibangun toko-toko. Dan penghasilan dari toko-toko itu digunakan untuk menyokong keuangan masjid. Sebuah sistem yang amat bagus yang hingga kini masih berjalan.
Berhenti di Perancis
Di bagian selatan Perancis, banyak gereja yang dihiasi dengan huruf-huruf besar gaya Romawi, yang tampak begitu jelas, dan dibingkai dengan hiasan kecil-kecil dan indah. Saya menemukan beberapa gereja yang juga dihiasi dengan tulisan Arab yang berbunyi: Bismillah-ar-Rahman-ar-Rahim. Saya terheran-heran dibuatnya.
Perjalanan Muslim ke Barat terhenti di Perancis. Tetapi sebelum itu Perancis bagian selatan sebenarnya wilayah yang sangat Islami. Saya tak tahu persis, apakah mereka telah dipaksa pindah ke agama Kristen atau apakah para seniman di sana hanya mengikuti tradisi yang tak dimengerti maknanya.
Kalau Anda tidak mengerti bahasa Arab, ornamen dalam gereja itu tampaknya seperti hiasan arabes biasa. Tetapi kalau Anda memahaminya, Anda pasti akan terkejut dengan makna hiasan yang ada dalam gereja-gereja itu.
Dan tentu saja, di Spanyol sejarah Islam telah berakhir karena masyarakat Muslim di sana telah dipaksa untuk masuk Kristen dan ini terus berlanjut selama beberapa waktu.
Ketika mengunjungi Cordoba, saya masuk ke Masjid Raya, yang di tengah-tengahnya dibangun sebuah gereja. Masjid itu benar-benar indah. Saya memasuki masjid besar itu di suatu siang. Tak banyak orang di dalamnya. Karena waktu sholat telah tiba, maka saya tunaikan kewajiban sholat saya.
Selesai sholat, di belakang saya berdiri seorang laki-laki Spanyol. Ketika itu saya pikir saya telah melakukan kesalahan. Tak tahunya pria itu mendekat dan berucap "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salaam;" jawab saya. Dia mengundang saya mampir ke rumahnya. Belakangan saya tahu bahwa dia salah satu penjaga masjid itu, yang dipekerjakan oleh Kantor Pariwisata setempat. Ia dan keluarganya adalah kripto-Muslim. Mereka telah menjadi Muslim sejak sebelum 1492.