Cara Pembagian Warisan Menurut Islam
loading...
A
A
A
Cara pembagian warisan menurut Islam sudah diatur dengan sangat sempurna dan detil. Pembagian warisan diatur dalam syariat Islam untuk menghindari kezaliman dan ketidakadilan. Bahkan, jika pada umumnya Al-Qur'an menjelaskan syariat hanya secara global kemudian rinciannya diatur oleh sunnah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam, namun khusus tentang harta warisan , hampir seluruhnya telah di jelaskan dan dirinci bagian perbagiannya dalam Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci dari mulai katagori ahli waris , porsi warisan, syarat-syarat ahli waris, hingga penghalang waris. Dalam kitab Tas-hiilul Faraa-idh yang ditulis Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, disebutkan bahwa siapa pun tidak berhak menentukan pembagian harta peninggalannya semaunya sendiri, sesuai dengan hawa nafsunya.
Ketentuan pembagiannya telah diatur oleh Allah Ta'ala, Rabb yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (QS. An-Nisa' : Ayat 7)
Bahkan saat pembagiannya pun, Al-Qur'an mengaturnya. Yakni semua kerabat harus hadir, dan dijelaskan secara baik-baik. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (QS. An-Nisa' : 8)
Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Jalla Jalaluhu pasti adil.
Dan pembagiannya sudah jelas kepada yang berhak menerimanya. Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting, yakni untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa' : 11)
Karena ilmu faraa-idh (ilmu waris) tersebut dibahas cukup detil, panjang, dan lengkap dalam Al-Qur'an, diperlukan mufassirin untuk menerangkannya. Maka ulama-ulama memberikan panduannya agar pembagiannya lebih dimengerti umat. Dengan tujuan menyampaikan ketentuan dari Allah Ta'ala soal waris ini kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
Ilmu faraa-idh ini termasuk fardhu kifayah untuk mempelajarinya. Artinya, apabila sudah ada orang yang ahli di bidang ini dan melaksanakannya, maka sunnah bagi yang lain untuk belajar ilmu ini.
Syaikh Shalih Utsaimin merinci penyebab diterimanya harta waris. Yakni karena hubungan pernikahan, keturunan, dan wala'. Wala' adalah hubungan kekerabatan atau hubungankeluargayang dibentuk secara syar’i karena seseorang memerdekakan budak. Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Wala adalah suatu hubungan kekerabatan seperti hubungan kekerabatan berdasarkan nasab”. Misalkan, budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris dari nasabnya, maka orang yang memerdekakan dan kerabatnya itulah menjadi ahli warisnya.
Berikut perinciam dan cara pembagian waris secara umumnya :
Dari Kerabat laki-laki :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Bapak
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Suami
11. Paman sekandung
12. Paman sebapak
13. Anak dari paman laki-laki sekandung
14. Anak dari paman laki-laki sebapak
15. Laki-laki yang memerdekakan budak
Sedangkan paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya, disepakati tidak mendapat harta waris.
Rincian Ahli waris perempuan :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek / ibunya ibu
5. Nenek / ibunya bapak
6. Nenek / ibunya kakek
7. Saudari sekandung
8. Saudari sebapak
9. Saudari seibu
10. Isteri
11. Wanita yang memerdekakan budak
Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya tidak mendapat harta waris. Dan disebut dinamakan “dzawil arham”.
Namun ada catatan, yakni bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.
Dan bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu. Masing-masing ada bagiannya, dan sudah diatur dalam syariat Islam. Yakni
Bagian Anak Laki-Laki :
1. Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
2. Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
3. Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
4. Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.
Bagian Suami :
1. Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
2 Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan
Bagian Anak Perempuan :
1. Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
2. Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki
Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.
Bagian Isteri
1. Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu
2. Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu
Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu
Penjelasan lengkap dan detil akan menjadi sebuah buku yang sangat tebal karena dijelaskan juga bagian ayah dan keturunannya, bagian kakek, bagian cucu perempuan dari anak laki-laki, bagian ibu dan keturunannya, bagian saudari sekandung, bagian saudari sebapak, bagian saudara seibu.
Sedangkan yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan menurut hadis Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallama adalah penghambaan (hamba sahaya), pembunuhan (membunuh dengan tujuan akan mendapat warisan), dan perbedaan agama.
Wallahu A'lam
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci dari mulai katagori ahli waris , porsi warisan, syarat-syarat ahli waris, hingga penghalang waris. Dalam kitab Tas-hiilul Faraa-idh yang ditulis Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, disebutkan bahwa siapa pun tidak berhak menentukan pembagian harta peninggalannya semaunya sendiri, sesuai dengan hawa nafsunya.
Ketentuan pembagiannya telah diatur oleh Allah Ta'ala, Rabb yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
لِلرِّجَا لِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَا لِدٰنِ وَا لْاَ قْرَبُوْنَ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَا لِدٰنِ وَا لْاَ قْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (QS. An-Nisa' : Ayat 7)
Bahkan saat pembagiannya pun, Al-Qur'an mengaturnya. Yakni semua kerabat harus hadir, dan dijelaskan secara baik-baik. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
وَاِ ذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنُ فَا رْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (QS. An-Nisa' : 8)
Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Jalla Jalaluhu pasti adil.
Dan pembagiannya sudah jelas kepada yang berhak menerimanya. Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting, yakni untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa' : 11)
Karena ilmu faraa-idh (ilmu waris) tersebut dibahas cukup detil, panjang, dan lengkap dalam Al-Qur'an, diperlukan mufassirin untuk menerangkannya. Maka ulama-ulama memberikan panduannya agar pembagiannya lebih dimengerti umat. Dengan tujuan menyampaikan ketentuan dari Allah Ta'ala soal waris ini kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
Ilmu faraa-idh ini termasuk fardhu kifayah untuk mempelajarinya. Artinya, apabila sudah ada orang yang ahli di bidang ini dan melaksanakannya, maka sunnah bagi yang lain untuk belajar ilmu ini.
Syaikh Shalih Utsaimin merinci penyebab diterimanya harta waris. Yakni karena hubungan pernikahan, keturunan, dan wala'. Wala' adalah hubungan kekerabatan atau hubungankeluargayang dibentuk secara syar’i karena seseorang memerdekakan budak. Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Wala adalah suatu hubungan kekerabatan seperti hubungan kekerabatan berdasarkan nasab”. Misalkan, budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris dari nasabnya, maka orang yang memerdekakan dan kerabatnya itulah menjadi ahli warisnya.
Berikut perinciam dan cara pembagian waris secara umumnya :
Dari Kerabat laki-laki :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Bapak
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Suami
11. Paman sekandung
12. Paman sebapak
13. Anak dari paman laki-laki sekandung
14. Anak dari paman laki-laki sebapak
15. Laki-laki yang memerdekakan budak
Sedangkan paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya, disepakati tidak mendapat harta waris.
Rincian Ahli waris perempuan :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek / ibunya ibu
5. Nenek / ibunya bapak
6. Nenek / ibunya kakek
7. Saudari sekandung
8. Saudari sebapak
9. Saudari seibu
10. Isteri
11. Wanita yang memerdekakan budak
Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya tidak mendapat harta waris. Dan disebut dinamakan “dzawil arham”.
Namun ada catatan, yakni bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.
Dan bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu. Masing-masing ada bagiannya, dan sudah diatur dalam syariat Islam. Yakni
Bagian Anak Laki-Laki :
1. Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
2. Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
3. Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
4. Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.
Bagian Suami :
1. Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
2 Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan
Bagian Anak Perempuan :
1. Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
2. Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki
Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.
Bagian Isteri
1. Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu
2. Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu
Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu
Penjelasan lengkap dan detil akan menjadi sebuah buku yang sangat tebal karena dijelaskan juga bagian ayah dan keturunannya, bagian kakek, bagian cucu perempuan dari anak laki-laki, bagian ibu dan keturunannya, bagian saudari sekandung, bagian saudari sebapak, bagian saudara seibu.
Sedangkan yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan menurut hadis Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallama adalah penghambaan (hamba sahaya), pembunuhan (membunuh dengan tujuan akan mendapat warisan), dan perbedaan agama.
Baca Juga
Wallahu A'lam
(wid)